GBHN Akan Dihidupkan Kembali

GBHN Akan Dihidupkan Kembali

    JAKARTA-  Rapat Kerja Nasional (Rakernas) pertama Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) resmi dibuka Ketua Umum Megawati Soekarno Putri didampingi Presiden Joko Widodo di JIExpo, Kemayoran, Jakarta kemarin (10/1). Dalam Rakernas kali ini, PDIP menggagas sistem pembangunan nasional semesta berencana dengan membentuk kembali haluan Negara. Dalam sambutannya, Megawati mengatakan, gagasan tersebut muncul setelah PDIP melihat adanya reduksi makna praktek demokrasi langsung. Pemilihan langsung yang awalnya digunakan sebagai cara mendekatkan rakyat dengan calon pemimpinnya justru berubah menjadi sekedar pertarungan visi misi lima tahunan. "Ganti orang, ganti visi misi. Ganti pemimpin, ganti pula visi misinya. Saya sering berseloroh, produk pemilihan langsung itu pemimpin visi misi lima tahunan," kata Megawati yang kemarin mengenakan blazer merah dan celana panjang hitam di atas podium. Visi misi tersebut, lanjut Mega, kemudian diperburuk dengan adanya ketidakselarasan program, baik antar daerah satu dengan daerah lainnya maupun dengan pemerintah pusat. "Saya melihat Indonesia itu seperti sebuah lukisan, namun tidak utuh. Seperti tersusun dari beberapa puzzle," imbuhnya. Untuk itu, anak Presiden Soekarno tersebut menilai, sudah saatnya visi misi personal dan kedaerahan tersebut diharmoniskan menjadi sebuah konsep pembangunan nasional jangka panjang. Bahkan bukan hanya dalam kurun waktu 10, 15 atau 25 tahun, tapi hingga seratus tahun ke depan. "Sudah saat bangsa ini memiliki sebuah haluan pembangunan nasional jangka panjang," ujarnya. Tidak hanya di bidang ekonomi, politik, sosial dan pendidikan, melainkan di bidang kebudayaan dan spiritual. Dan dasar yang digunakan dalam menyusun konsep tersebut adalah kebutuhan dan kepribadian rakyat Indonesia sendiri. Sehingga perencanaan pembangunan nasional itu tidak menghilangkan nilai-nilai kearifan lokal dan potensi masing-masing daerah. Soal caranya, Mega menyebut ada dua cara yang bisa dilakukan. Pertama dengan pengembalian fungsi dan wewenang MPR RI untuk mengeluarkan Ketetapan MPR terkait pola pembangunan yang mengikat semua pihak. Kedua, dengan merintis penguatan Undang-undang tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional, menjadi Undang-Undang tentang Pembangunan Semesta. Dia menyayangkan, konsep yang sempat digagas Soekarno tersebut justru digunakan di luar negeri. Saat melakukan kunjungan ke kota Shenzen, Tiongkok, dia mengaku malu mendengarkan secara langsung jika keberhasilan kota tersebut diilhami dari konsep yang digagas Soekarno. Presiden Jokowi yang datang menggunakan kemeja batik memberikan dukungan penuh atas konsep yang tengah digodok PDIP dalam kongres kali ini. Menurut mantan walikota Solo itu, perencanaan program jangka menengah dan panjang memang sudah seharusnya dipikirkan secara serius sejak sekarang. "Apa yang kita kerjakan 10, 25, 50 hingga 100 tahun ke depan harus mulai dirancang," kata presiden dengan logat terbata-bata. Hal itu, lanjutnya, diperlukan agar semua pemimpin di tingkat pusat hingga daerah  memiliki panduan, ke mana negara akan dibangun. Sementara itu, Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) Zulkifli Hasan menyambut baik rencana PDIP tersebut.  Pembahasan mengenai sistem ketatanegaraan pembangunan semesta yang mempunyai misi hingga puluhan tahun ke depan sebagai hal positif. "Agar lebih baik. Seperti Bung Karno, tidak hanya 5 tahunan," terangnya usai menghadiri pembukaan Rakernas. Terkait konsekuensi dilakukannya amademen UUD 45, Zul mengaku tidak masalah. Saat ini, pihaknya baru akan menunggu. Sebab untuk melakukannya dibutuhkan dukungan dua per tiga anggota DPR. Senada, wakil ketua DPR RI Fahri Hamzah juga mengapresiasi usulan tersebut. Haluan negara jika melihat beberapa negara di dunia yang mulai goncang dan kehilangan orientasi dan falsafah bernegaranya. Terkait adanya amademen UUD 45 yang kelima, Fahri menegaskan dukungannya. "Kita baru amademen empat kali, negara-negara maju seperti Amerika sudah puluhan kali," kata politisi PKS tersebut. Dukungan juga datang dari Ketua Umum Partai Nasional Demokrat (Nasdem), Surya Paloh. Menurut Paloh, bukanlah hal salah, jika kebijakan yang sempat ditiadakan dihidupkan kembali, apabila itu dirasakan dibutuhkan. "GBHN meletakkan dasar perencanaan pembangunan jangka panjang, fungsi, serta tugas yang dijalankan pemimpin pemerintahan,"  kata Paloh. Sementara itu, pengamat politik dari Lingkar Madani Ray Rangkuti mengatakan, pengaktifan kembali GBHN akan berbenturan dengan sistem presidensial yang dianut Indonesia. Sebab membuat presiden tidak bias keluar dari haluan dan visi GBHN. "Semuanya, presiden jadi bekerja sesuai arahan GBHN," ujarnya saat dihubungi tadi malam. Implikasinya, lanjut Ray, tanggung jawab presiden akan tertuju pada pembuat GBHN, sementara kepada masyarakat akan berkurang. Sementara jika PDIP mengusulkan dengan jalan membuat Undang-undang, maka hal itu akan berbenturan dengan hal-hal teknis lainnya. "Siapa yang membuat, statusnya apa, apakah mengikat kepada presiden sesudahnya. Letak GBHN di mana,"  jelasnya. Pernyataan berbeda dikatakan Kepala Pusat Studi Politik Universitas Padjajaran, Muradi. Meski terkesan sebagai sikap politik yang sedikit "banci", membangkitkan kembali kewenangan MPR dalam GBHN bukanlah hal yang buruk.     Sebab, sistem politik yang tidak memberikan waktu lebih dari 10 tahun mempersulit laju pembangunan. "Jadi sudah dibuat program, belum selesai bikin baru lagi. Maju mundur terus, tidak maju-maju," kata Muradi tadi malam kepada Jawa Pos. Padahal, idealnya pembangunan bisa dirasakan dalam empat kali pemilu.  Apalagi, Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) atau daerah tidak bersifat mengikat. "Apa yang bisa menjamin keberlanjutan, salah satu yang mengikat adalah GBHN," tuturnya. Terkait soal terbelenggunya kewenangan Presiden, Muradi menilai itu tidak terlalu signifikan. Pasalnya, ikatan antara presiden dengan pemegang GBHN sifatnya sebatas memberikan laporan tahunan. Namun di luar itu semua, cara yang paling baik adalah dengan membangun kekuatan politik yang kuat. Tapi berbasis kerja yang baik dan membuat kebijakan pro publik. "Jadi tinggal dipersiapkan saja kader penggantinya," pungkasnya.  (far)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: