Satu Dekade Berlumur Lumpur, Lapindo Brantas Tetap Ingin Buka Sumur Baru

Satu Dekade Berlumur Lumpur, Lapindo Brantas Tetap Ingin Buka Sumur Baru

lapindo SIDOARJO – Jangan pernah melupakan hari ini. Tepat sepuluh tahun lalu, tragedi tak terbayangkan itu menerjang. Di area sekitar pengeboran Lapindo Brantas, Sidoarjo, tersembur lumpur panas. Menenggelamkan enam desa. Ribuan warga tercerai berai. Kehilangan kampung halamannya. Selang satu dasawarsa, ada kemarahan warga yang belum surut. Percik api emosi masih belum teredam. Sebab, belum semua kewajiban Lapindo, pihak yang paling bertanggung jawab atas tragedi ini, terpenuhi. Contohnya, di dalam peta area terdampak (PAT). Wilayah yang kini sudah berubah menjadi tanggul setinggi 11 meter itu masih menyisakan masalah. Belum 100 persen korban bencana mendapatkan kompensasi. Dari catatan Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (BPLS), masih ada 84 berkas yang belum lunas. Nilainya tidak kecil. Mencapai Rp 49,7 miliar. Pengusaha juga terpuruk. Sebanyak 26 pebisnis menanggung rugi. Asetnya tersapu lumpur. Total kerugiannya hingga Rp 800 miliar. Sayangnya, hingga kini rekening mereka masih kosong. Tak ada pembayaran kompensasi. Pemkab Sidoarjo pun juga menjadi korban. Sejumlah balai desa, kantor kecamatan, serta tanah kas desa turut amblas. Rumah ibadah seperti musala dan masjid serta gedung sekolah juga tertimbun urukan cairan hitam pekat. Sampai kini, proses ganti rugi aset-aset publik itu menggantung. Meski memiliki tanggungan segunung, Lapindo tetap menjalankan operasi perusahaan. Seperti biasa. Bahkan perusahaan migas milik keluarga Bakrie itu berencana membuka sumur baru di Tanggulangin. Tepatnya di Desa Banjarasri, Kedungbanteng, dan Kalidawir. Tujuannya untuk mendukung proyek pemerintah yang menjadikan Sidoarjo sebagai proyel percontohan City Gas. Vice President Corporate Relations Lapindo Brantas Inc Hesti Armiwulan mengatakan, saat ini sudah ada 10.300 jaringan gas (jargas) yang dipasang Lapindo. Yakni di wilayah Ngingas dan Wedoro. Gas itu untuk mencukupi kebutuhan pemukiman dan industri rumah tangga. Dosen Universitas Surabaya (Ubaya) itu mengatakan, jargas juga sudah terpasang di Tanggulangin. Tiga tahun lalu Lapindo memasang piranti itu ke rumah warga. Jumlahnya 3.850 sambungan. Namun belum berfungsi. Hingga kini. Menurut Hesti, stok gas Lapindo sebenarnya sudah tersedia. Tinggal dialirkan ke rumah warga. Menjurut dia, itu persoalan bukan pada sambungan milik Lapindo. "Tapi Lapindo tidak berhak mengalirkan. Pertagas (anak usaha Pertamina, Red) yang berhak mengalirkan," ucapnya. Nah, untuk menjadi city gas, Sidoarjo berencana menambah jargas. Jumlahnya. Mencapai 80 ribu sambungan. Rencana itu, kata Hesti, harus didukung dengan kesiapan gas. Salah satunya dengan eksplorasi. "Kami akan mengembangkan sumur di Tanggulangin," jelasnya. Mantan Anggota Komnas HAM itu mengatakan, eksplorasi merupakan jalan satu-satunya. Sebab, ketika 80 ribu sambungan itu direalisasikan,  kapasitas produksi Lapindo tidak mencukupi. "Kami harus menambah gas. Caranya ya mengebor," paparnya. Masih banyak rencana yang lain. Misalnya, menjadikan lahan tanggul untuk wisata alam. Konsepnya meniru Taman Nasional Yellowstone di Amerika Serikat. Perempuan berjilbab itu mengatakan,  rencana itu memang ada. Namun pihaknya masih harus berkoordinasi dengan BPLS. Karena, hingga kini, BPLS merupakan institusi yang mempunyai otoritas di tanggul lumpur. "Kami harus berkoordinasi dulu," jelasnya. Lapindo bisa berencana. Namun suara warga tetap perlu mendapatkan perhatian. Arif, warga desa Banjarasri, mengatakan, sikap warga tetap sama. Menolak rencana pembukaan sumur baru. Menurut dia, trauma bencana lumpur masih menghantui warga Tanggulangin. "Kami tetap menolak pengeboran," tuturnya. Arif menambahkan, sekarang warga sudah tidak bisa dikadali. Menurut dia, penambahan jaringan gas hanyalah kedok. "Lapindo hanya ingin mengebor," ucapnya. Anggota Komisi D DPRD Sidoarjo Mahmud Untung mengatakan, Pemkab harus mendengarkan suara hati warga. Jika masyarakat menolak, pemkab harus berada di garda terdepan melarang Lapindo mengebor. "Pemkab adalah pelayan warganya," jelasnya. Politisi PAN itu mengatakan, banyak kejanggalan dari pengajuan pengeboran Lapindo itu. Misalnya data seismik. Sampai saat ini data yang diajukan sudah kadaluarsa. Diajukan sejak tahun 2003. Sebelum lumpur menyembur. "Kini pasti kondisi bawah tanahnya berubah," ucapnya. Yang tak kalah penting yaitu bagi hasil gas. Sejak Lapindo beroperasi, tak sepeser pun pemkab menerima dana bagi hasil. "Lantas dananya mengalir ke mana. Ini harus diselidiki," jelasnya. Sementara itu, Peneliti ITS Amien Widodo mengatakan, dalam setiap pengeboran, seluruh persyaratan harus lengkap. Salah satunya data seismik. Data itu berguna untuk melihat apa yang ada di dalam tanah. "Data seismik harus selalu di-update," paparnya. Anggota tim peneliti bentukan gubernur itu mengatakan, dia sudah meninjau di tiga sumur yang diajukan Lapindo. Tim menemukan land subsidence atau penurunan tanah. Selain itu, ada kemungkinan kondisi di dalam tanah sudah rusak. Akibat bencana lumpur 2006 silam. Lebih lanjut, Amien mengimbau seluruh pembangunan harus memperhatikan warga. Paradigma menjadikan penduduk sebagai obyek harus ditanggalkan. "Warga harus menjadi subyek," paparnya. Di sisi lain, pembayaran ganti rugi warga korban lumpur Lapindo masih belum tuntas. Total ada 84 berkas warga dengan nilai Rp 49,7 miliar yang belum dibayar oleh PT Minarak Lapindo Jaya (MLJ), anak usaha Lapindi Brantas Inc yang dibentuk khusus menangani kompensasi. Itu lantaran masih belum ada kesepakatan antara warga dan PT MLJ. Humas Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (BPLS) Khusnul Khuluq mengatakan, total berkas yang diterima BPLS berdasarkan audit oleh Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) ada 3.331 berkas. Nilai yang harus dibayar seluruhnya Rp 767,5 miliar. Proses pembayaran uang ganti rugi pun sudah dilaksanakan sejak tahun lalu hingga akhir Desember. Namun, ganti rugi warga yang sudah terselesaikan 3.237 berkas dengan nilai Rp 717,7 miliar. “Di data kami masih ada 84 berkas yang belum dibayar ganti ruginya,” katanya. Khusnul mengatakan, pihaknya sebenarnya sudah memanggil warga untuk proses pembayaran ganti rugi tahun lalu. Namun, ada 63 berkas yang masih bermasalah pada saat validasi. Salah satu masalahnya, lantaran tidak ada kesepakatan tentang fungsi tanah antara warga dan PT MLJ. Misalnya, warga menunjukkan sertifikat tanah kering. Namun PT MLJ menganggap tanah tersebut sudah beralih fungsi menjadi tanah basah. “Sampai sekarang kami belum mendapatkan rekomendasi dari PT MLJ,” jelasnya. Sementara, 21 berkas lainnya, warga tidak hadir pada saat penandatanganan nominatif. Alasannya pun beragam. Rata-rata berada di luar kota. Sementara, penandatanganan nominatif tidak bisa diwakilkan. Itu sebabnya, hingga saat ini pembayaran ganti rugi tidak bisa dilakukan. Khusnul menuturkan, pihak BPLS hingga kini masih menunggu sisa pembayaran uang ganti rugi. Meski sudah tutup anggaran 2015, pihak BPLS tetap mengusulkan pembayaran 84 berkas tersebut. “Kami juga akan menanyakan ke pihak PT MLJ,” ujarnya. Setelah BPLS menerima rekomendasi dari PT MLJ terkait dengan hasil validasi 63 berkas, proses pembayaran uang ganti rugi akan dilakukan. Pihak BPLS siap menjembatani warga yang ingin menyelesaikan pembayaran uang ganti rugi. Sementara, untuk 21 berkas lainnya, pihaknya juga telah melakukan pemanggilan ulang. Namun, pemilik tanah masih belum bisa hadir. “Berkas sudah kami teliti dan semuanya sudah oke. Karena penandatanganan nominatif tidak bisa diwakili, kemungkinan memakai berita acara,” jelasnya. Sementara, untuk ganti rugi perusahaan, pihaknya masih menunggu kesepakatan dari pengusaha dan PT MLJ. Saat ini, masih proses konsolidasi dengan bupati sebagai dewan pengarah. Para pengusaha juga sudah melapor ke bupati. “Kalau sudah ada deal dengan PT MLJ dan pengusaha, kami siap membantu,” tandasnya. Kemarin (28/5), puluhan warga yang masuk di dalam Peta Area Terdampak (PAT) juga melakukan aksi demonstrasi. Mereka masih terus menuntut hak ganti rugi yang hingga kini masih belum dibayar oleh PT MLJ. Ya, satu dekade peristiwa pilu itu menjadi momen tepat untuk bersuara. Puluhan warga berkumpul di depan titik 71 Desa Ketapang, Kecamatan Tanggulangin. Para korban lumpur yang rumah dan tanahnya masuk dalam PAT tersebut hendak melakukan aksi jalan kaki menuju titik 21 desa Siring, Kecamatan Porong. Para demonstran mengenakan baju busana muslim mulai bergerak sekitar pukul 09.00 WIB. Dua orang menunggangi kuda sebagai simbol permintaan pengakuan data. “Kuda artinya Pengakuan Data,” ujar Abdul Fattah, Koordinator Demonstrasi. Setelah berjalan berarakan, mereka berhenti di pintu masuk titik 21. Di sana, mereka menegaskan bahwa data yang belum terbayar ada sekitar 150 berkas. Bukan 83 berkas yang selama ini di data Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (BPLS). (aph/ayu/aji/sof)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: