Pernah Minder, Bangkit dengan Prestasi
JAKARTA - Sorak-sorai penonton bergemuruh di dalam Ecopark Convention Ancol kemarin. Orang-orang larut dalam euforia kemenangan. Kemarin, Dian David Mickael Jacobs sukses menyumbang sekeping emas dari nomor tunggal putra TT10 Asian Para Games 2018. Perjuangan David mempertahankan gelar juara multievent paralimpik Asia itu tidak mudah. Butuh empat set bagi atlet 41 tahun tersebut untuk mengandaskan wakil Tiongkok Hao Lian di final. Alhasil, skor 3-1 (11-4,7-11,11-6,17-15) memungkasi pertandingan yang berlangsung 50 menit itu. Raut wajah David begitu emosional. Dia berbaring di tengah lapangan sembari berteriak kencang. Tanpa komando, seluruh ofisial merangsek masuk ke lapangan memeluk atlet kelahiran Makassar itu. Dari bangku penonton, ibu, istri, anak, serta sanak saudaranya bertepuk tangan dan saling berpelukan bahagia. Baca: Sapto Yogo, Warga Ajibarang Raih Emas Asian Para Games Berpeluang Tambah Medali Tak lama, David berjalan menghampiri ibunya, Neelce Jacobs. Kedua tangan Neelce spontan memegang kepala putranya itu. Kemudian, mencium kening serta kedua pipin anaknya itu. David pun lantas membalas dengan pelukan erat. Neelce merasa bangga. David kecil yang dulu sering di-bully oleh teman-temannya itu, kini menjadi seorang juara. Perempuan 81 tahun itu bercerita, David lahir dengan bobot di atas rata-rata bayi pada umumnya. Hal tersebut membuatnya harus melalui proses vakum untuk menurunkan berat badan. Tapi di luar dugaan. Proses tersebut justru menghambat perkembangan saraf tangan kanan David. Sehingga membuat fungsi tangan kanannya hanya 15 persen. "Sejak balita sampai SD kelas 1 sudah 200 kali David menjalani terapi," terang Neelce kemarin. David merasa minder dengan kekurangannya itu. Tahun 1983 David beserta keluarganya pindah ke Semarang dari Makassar. Mengikuti pekerjaan ayahnya sebagai pegawai bank milik negara yang selalu berpindah. Dia bersekolah di SD Don Bosko Semarang. Saat itu justru menjadi masa-masa tersulitnya. Teman-temannya di sekolah sering mengejek kekurangan fisiknya. "Sebagai orang tua, saya hanya bisa memberi motivasi dan menyuruhnya berdoa supaya diberikan ketenangan dan kekuatan," kata Heelce. Baca: Sapto Yogo Sering Bolos karena Takut dan Malu Saat SMP Seiring berjalannya waktu, David menemukan panggungnya untuk berprestasi. Berawal dari meja pingpong di rumah dinas keluarganya. Di situ, dia bersama sang kakak menghabiskan waktu setiap sore untuk bermain pingpong. Kemampuan David semakin terasah karena sering berlatih. Dia juga mampu mengimbangi, bahkan, menang dari teman sebayanya yang normal. Saat berusia 11 tahun, ayahnya mendaftarkan David masuk klub PTP Semarang. Di klub profesional itu dirinya lebih mengasah kemampuannya. Baru tiga bulan bergabung, David mampu menyabet juara tenis meja tingkat SD se-Jawa Tengah. Tahun 1990, David dan keluarganya kembali pindah ke Jakarta hingga sekarang. Di ibu kota, namanya makin melambung seiring keikutsertaannya di kejuaraan umum lokal tingkat kota hingga provinsi. "Selama 10 tahun saya berkompetisi mengikuti kejuaraan umum dengan orang-orang normal sejak tahun 2000 sampai 2009," terang David. Hasilnya, dia menjadi jawara tunggal putra tenis meja di Pekan Olahraga Nasional 2004 Palembang. Berkat prestasi tersebut, David ditawari pekerjaan sebagai pegawai honorer dan diangkat sebagai pegawai negeri sipil di Dinas Pemuda dan Olahraga DKI Jakarta tahun 2008. Dua tahun berselang, bapak dua anak tersebut memutuskan untuk bergabung dengan Komite Paralimpik Nasional (NPC). Sejak saat itu, prestasinya makin moncer. Hingga saat ini, David tercatat sebagai peraih perunggu Paralimpiade 2012 London dan kampiun back-to-back Asian Para Games 2014 dan 2018. (han)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: