Draf RKUHP Baru Dinilai Merugikan Kaum Disabilitas

Draf RKUHP Baru Dinilai Merugikan Kaum Disabilitas

Ilustrasi KUHP JAKARTA - Koalisi Organisasi Penyandang Disabilitas Pemantau RKUHP menyesalkan rencana pemerintah dan DPR yang akan segera memasukan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) sebagai RUU prioritas dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2021. Hal ini dinilai merugikan kelompok organisasi penyandang disabilitas, yang selama proses pembahasan RKUHP selama ini belum pernah dilibatkan. https://radarbanyumas.co.id/cuma-tambah-pasal-karet-penilaian-tii-soal-pasal-45c-dapat-restu-presiden-revisi-tetap-terbatas/ “Organisasi Penyandang Disabilitas tidak pernah diundang atau dijelaskan mengenai pasal-pasal dalam RKUHP yang erat dengan kepentingan penyandang disabilitas. Bentuk pelibatan sulit tercapai karena pembahasan RKUHP tidak berjalan transparan dan inklusif,” kata Direktur Eksekutif Yayasan Peduli Sindroma Down Indonesia (Yapesdi) Agus Hidayat dalam keterangannya, Minggu (13/6). Agus menyampaikan, dokumen-dokumen RKUHP yang tersebar dalam bentuk yang tidak aksesibel, karena sulit untuk dibaca oleh penyandang disabilitas dengan hambatan penglihatan. Selain itu, forum yang dilaksanakan sebagai bentuk sosialisasi RKUHP juga tidak pernah melibatkan juru bahasa isyarat, sehingga sulit dipahami oleh penyandang disabilitas dengan hambatan pendengaran. “Padahal ada beberapa pasal dalam RKUHP yang bahkan menyebut kata disabilitas secara langsung. Namun karena tidak pernah melibatkan organisasi penyandang disabilitas, maka rumusannya berdampak kepada potensi stigma yang tinggi bagi penyandang disabilitas, dan kemudian menghadirkan ketidakadilan dalam hukum pidana di Indonesia,” ungkap Agus. “Draft RKUHP kontraproduktif dengan serangkaian upaya Pemerintah dalam penghormatan, pelindungan, dan pemenuhan hak-hak penyandang disabilitas saat ini,” sambungnya. Sementara itu, Direktur Eksekutif ICJR Erasmus Napitupulu menuturkan, pasal krusial pada RKUHP yang berpotensi menebalkan stigma bagi penyandang disabilitas ada pada Pasal 38. Pasal itu berbunyi, setiap orang yang pada waktu melakukan Tindak Pidana menderita disabilitas mental dan/atau disabilitas intelektual pidananya dapat dikurangi dan dikenai tindakan. “Pasal itu berpotensi menstigma penyandang disabilitas mental dan intelektual karena pada dasarnya tidak setiap saat penyandang disabilitas mental dan intelektual dalam kondisi tidak cakap hukum, atau tidak dapat mempertanggungjawabkan perbuatannya. Anggapan bahwa penyandang disabilitas mental dan intelektual selalu tidak cakap hukum berdampak besar kepada hilangnya hak-hak lain,” ucap Erasmus. Dia menuturkan, penyamarataan berdasarkan identitas disabilitas inilah yang berpotensi menebalkan stigma, dan hilangnya hak penyandang disabilitas. Menurut Erasmus, jika ada seseorang yang setelah melalui penilaian psikologi secara personal dan dinyatakan tidak dapat mempertanggungjawabkan perbuatannya, maka sudah seharusnya lepas dari tuntutan, bukan pengurangan pidana seperti tertera dalam Pasal 38. Selain itu, lanjut Erasmus, ada juga Pasal 103 ayat (2) huruf a yang menyebutkan bahwa tindakan yang dapat dikenakan kepada setiap orang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 dan Pasal 39 berupa diantaranya, rehabilitasi. Dalam perkembangan saat ini, berdasarkan Pasal 21 UU Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas, layanan yang dikenal bukan hanya rehabilitasi, tetap juga ada habilitasi. “Kedua layanan itu tujuannya hampir sama, tetapi sasaran yang berbeda. Rehabilitasi ditujukan kepada seseorang yang sebelumnya merupakan non penyandang disabilitas, sehingga rehabilitasi dilakukan untuk mengembalikan kemampuan dalam kondisi yang berbeda. Sedangkan habilitasi ditujukan kepada seseorang yang sedari awal atau lahir adalah penyandang disabilitas, sehingga perlu dilatih untuk dapat hidup secara mandiri,” papar Erasmus. Pasal lain yang perlu direvisi dalam RKHUP yakni Pasal 106 ayat (1) huruf b, yang menyebutkan bahwa, tindakan rehabilitasi dikenakan kepada terdakwa yang menderita disabilitas mental dan/atau disabilitas intelektual. Penggunaan kata menderita, menunjukan penyandang disabilitas adalah korban atau seseorang yang patut dikasihani. “Padahal cara pandang itu sudah harus ditinggalkan, dan beralih ke cara pandang HAM yang melihat disabilitas sebagai bagian dari keragaman manusia dan muncul, karena dampak dari tidak aksesibelnya lingkungan dan interaksi di tengah masyarat. Penggunaan kata menderita adalah bukti nyata bahwa kelompok organisasi penyandang disabilitas tidak pernah dilibatkan, sehingga RKUHP tidak sensitif terhadap kebutuhan dan kepentingan penyandang disabilitas,” pungkas Erasmus. Oleh karena itu, Erasmus menyarankan segera membuka ruang pelibatan bagi penyandang disabilitas untuk menyampaikan masukannya terhadap Draft RKUHP, sebelum RKUHP resmi dimasukan dalam Prolegnas kembali. “Mengakomodasi masukan-masukan tersebut kedalam perubahan RKUHP, sehingga tidak hanya sekadar didengar dan ditampung dan menyebarluaskan melalui laman resmi Pemerintah dan DPR dokumen Draft RKUHP yang aksesibel bagi penyandang disabilitas dengan hambatan penglihatan, dan menghadirkan juru bahasa isyarat dalam semua forum yang membahas perihal RKUHP,” pungkasnya. (muh/kus/JP)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: