Minimal Bersepeda 12 Ribu Mil Setiap Tahunnya
[caption id="attachment_98114" align="aligncenter" width="100%"] BOLZANO, ITALY - JULY 23: Parma's Coach Francesco Guidolin rides a bicycle during a day off at the "Passo dello Stelvio" on July 23, 2009 in Bolzano, Italy. (Photo by Claudio Villa/Getty Images)[/caption] Francesco Guidolin dan Kegilaan Cycling-nya Sebagai pelatih, sepak bola tentu sudah jadi bagian dari profesi Francesco Guidolin. Namun, dengan bersepeda, Guidolin merasa sudah menemukan kegairahan hidupnya. ##### FRANCESCO Guidolin membawa istrinya Michela Guidolin hijrah dari Italia ke Wales. Adakah bagian terbesar dalam hidupnya yang tertinggal? Ya, dia belum membawa dua sepedanya yang bermerk Pinarello. Satunya tipe Prince, dan yang lain Paris. ’’Secepatnya sepeda saya akan datang ke sini. Saya jadi tidak sabar untuk bersepeda di sini. Karena bagi saya, sepak bola bukan sekedar hobi, sepak bola itu gairah terbesar saya,’’ ujar Guidolin, dalam wawancaranya dengan South Wales Evening Post. Guidolin memang gila bersepeda. Di mana pun dia melatih, sepeda pasti ada dalam bagiannya. Virus gowes itu sudah “meracuni” kehidupan pelatih berusia 60 tahun tersebut setelah dia pensiun sebagai pemain sepak bola pada tahun 1986-an. Setiap tahun, pria kelahiran Castelfranco Veneto itu tidak melewatkan dua ajang balapan ternama dunia, Giro d’Italia dan Tour de France. Kalau di Giro d’Italia dia sering didapuk menjadi komentator, sedangkan dalam Tour de France dia mengaku masih rutin mengikutinya. Meski hanya satu atau dua stages. Mantan pelatih AS Monaco itu juga sudah punyai apartemen di Cote d’Azur yang selalu menjadi jujugan-nya jika mengikuti Tour de France. Apartemen itu dibelinya ketika dia menjadi entraineur Monaco 2005-2006 silam. Dengan sedikit bercanda, Guidolin menyebut dirinya sebagai salah satu raja tanjakan. Walaupun tidak setangguh Alberto Contador sebagai Raja Tanjakan di Tour de France, menaklukkan Monte Zocolan sudah membuat Guidolin bangga. Seperti diketahui, Monte Zocolan merupakan salah satu tanjakan yang paling disegani di dunia. ’’Saya tidak ingat kapan, karena waktu masih muda saya sering ikut perlombaan-perlombaan. Kalau sekarang ya saya setidaknya punya patokan untuk bersepeda 12 ribu mil per tahunnya,’’ ungkapnya. Menurutnya, bersepeda sudah sangat membantu karirnya. Terutama di dalam mereduksi tekanan di lapangan. Dalam sebuah laporan yang dilansir dari Wales Online, pelatih yang pernah membawa Vicenza menjuarai Coppa Italia 1996-1997 itu pernah meninggalkan timnya demi bersepeda. Semuanya terjadi pada musim panas 1998 silam. Guidolin ketika itu berstatus sebagai allenatore Udinese. Sebagai bagian dari persiapan sebelum Serie A, Udinese melakukan pemusatan latihan di sebuah kota bernama Arta Terme. Kota yang masih masuk dalam bagian dari provinsi Udine itu terletak di kaki Pegunungan Alpen. Dasar Guidolin yang gatal kakinya jika melihat banyak tanjakan, maka dia pun meninggalkan pemainnya untuk bersepeda dengan teman lamanya. Mengaku sebagai pembalap sepeda gunung tangguh, Guidolin punya filosofi yang menghubungkannya dengan karir melatih. Untuk memenangi sebuah perlombaan, seorang pembalap sepeda gunung tidak perlu sprint sejak garis start. Yang perlu dilakukan hanya menjaga kecepatannya tetap stabil sambil memelihara stamina. Lalu, apa hubungannya dengan sepak bola? Guidolin pernah melakukannya ketika masih melatih Zebrette – julukan Udinese. Di musim 2010-2011, Udinese menelan empat kali kekalahan dalam empat laga pertamanya. Tapi, perlahan namun pasti Antonio Di Natale dkk bangkit dan secara perlahan mendaki klasemen. Udinese menyalip klub-klub rival lainnya yang kehabisan energi setelah sprint pada awal musim. Di akhir musim, Udinese pun finish di peringkat keempat. Lantas, bisakah filosofi sepeda gunungnya itu dia tularkan kepada The Swans – julukan Swansea? Sebelum kedatangan pelatih pengidola sosok Contador itu, Swansea masih tercecer di peringkat ke-17 klasemen sementara Premier League. Setelah dia memegang kendali Swansea yang ditinggalkan Garry Monk per 18 Januari lalu, dua strip langsung didaki. Berkat kemenangan Premier League pertamanya atas Everton 2-1 di Goodison Park (24/1) posisi Swansea membaik. Premier League mungkin lebih susah ditaklukkan ketimbang Monte Zocolan. Sehingga, masih panjang jalan Swansea jika memimpikan top four seperti awal-awal musim. Ditantang jurnalis Wales, Guidolin hanya tersenyum. ’’Saya tidak perlu mengatakannya, tunggu di akhir musim,’’ tegasnya. (ren/acd)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: