Dipukul karena Berisik dan Tak Mau Cium Kaki si Pemilik

Dipukul karena Berisik dan Tak Mau Cium Kaki si Pemilik

[caption id="attachment_94432" align="aligncenter" width="100%"] Suasana di Panti Asuhan Rizki Khairunnisa yang terletak di Batu Merah Batuampar, Senin (2/11). F. Johannes Saragih/Batam Pos[/caption] Anak-Anak di Titik Nol; Siklus Kekerasan yang Terungkap dari Panti Asuhan di Batam (2-Habis) Di Panti Asuhan Rizki Khairunnisa, Batam, kekerasan dan pelecehan seksual bahkan sudah dilakukan serta dialami anak-anak di bawah usia lima tahun. Yang sudah seusia pelajar SD pun belum bisa membaca, menulis, dan berhitung. WENNY C. PRHANDINA, Batam BEGITU pinset ditunjukkan kepadanya, dengan serta-merta Ba langsung menyentuh alisnya. Terlihat kalau alis bocah perempuan dua tahun itu memang tidak rata. "Ada indikasi pencabutan bulu menggunakan pinset tersebut," kata Kepala Subdirektorat IV Ditreskrimum Polda Kepulauan Riau AKBP Edi Santoso kepada Batam Pos (Jawa Pos Group). Edi turut mendampingi psikolog yang ditunjuk untuk memeriksa Ba. Pemeriksaan itu berlangsung tak lama setelah panti asuhan tempat Ba bernaung, Rizki Khairunnisa, Batam, digerebek polisi Oktober tahun lalu karena dugaan penyiksaan kepada anak asuh. Bantuan psikolog diperlukan karena Ba mengalami trauma psikis akibat seringnya dia dijadikan korban tindak kekerasan dan pelecehan seksual. Muaranya, Ba belum bisa berbicara. Pemeriksaan pun harus dilakukan dengan menunjukkan benda-benda. Selain pinset, ketika sebuah sapu ditunjukkan, Ba juga langsung menyentuh punggungnya. Lalu, ketika ditunjukkan foto Elvita, bocah itu bergidik ngeri dan mencoba menjauh. Dia tampak ketakutan. "Dia bilang, ’Puang, puang, puang.’ Puang itu bahasa Bugis untuk menyebut ibu," kata Edi. Elvita adalah pemilik panti asuhan bermasalah tersebut dan telah ditetapkan sebagai tersangka. Selama ini, dia bertempat tinggal di belakang bangunan panti itu di kawasan Batuampar, Batam. Hanya dipisahkan sebuah pintu. Di sana, dia tinggal bersama suami, ibu, adik, dan kakaknya. Di tempat-tempat penampungan baru, akhirnya terungkap bahwa yang dialami 18 anak di bawah usia 12 tahun "alumni" Rizki Khairunnisa ternyata jauh lebih mengerikan daripada yang diduga selama ini. Bukan hanya korban kekerasan, anak-anak itu juga korban pelecehan seksual yang menuntun mereka menjadi pelaku pula. Dari hasil visum, Ba juga terindikasi mengalami kekerasan fisik. Itu tampak dari gurat-gurat merah seperti bekas "cakar" di bibir kemaluan dan selangkangannya. Ternyata, semua anak panti tersebut juga mengetahui kondisi itu. Juga, ketika ditanyai siapa pelakunya, semua jari mengarah kepada satu anak. Namanya, Ab. Ironisnya, Ab baru berusia empat tahun. Bahkan, untuk jalan pun, dia belum bisa tegak. Kalau kemudian dia sampai bisa menjadi pelaku tindak kekerasan dan pelecehan seksual terhadap Ba, itu terjadi karena Ab selalu mendapat tugas memandikan Ba. Edi menjelaskan, setiap anak memang bertugas memandikan anak lain yang berusia lebih muda. Tim relawan sosial yang diutus untuk melakukan survei sebelum penggerebekan oleh polisi menuturkan, ketika mereka datang, ada sejumlah anak yang bermain pukul-pukulan dengan gagang sapu. Para pengasuh di LKSA Permate juga menuturkan, hampir semua anak bercerita pernah dipukul dengan gagang sapu. Terkadang dengan hanger atau gantungan baju. Muhammad Syaltut, psikolog Badan Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak, dan Keluarga Berencana (BPPPA-KB) Kota Batam pernah melakukan konseling kepada anak-anak tersebut sehari penuh. Mereka mengaku bahwa pemukulan itu hukuman lantaran berisik. "Atau karena mereka enggan mencium kaki puang (Elvita, Red) sebelum makan," katanya. Tumbuh dalam siklus kekerasan seperti itu tak pelak menimbulkan dampak psikis pada anak-anak malang tersebut. Mereka kehilangan rasa percaya diri dan berubah menjadi pribadi yang tertutup. Menurut Syaltut, pengaruh lanjutannya dijumpai pada tingkat kreativitas dan inteligensia mereka. "Trauma itu harus disembuhkan kalau ingin anak itu percaya diri kembali," katanya. *** Bayi itu menggerak-gerakkan kedua kakinya dengan cepat. Dia telungkup di dalam boks bayi. Kepalanya tersandar tanpa daya. Matanya terbuka, tapi seperti tak memandang. Dari kamar, Ana berlari kecil. Sembari mengajak berbincang, dia mengangkat bocah perempuan itu dari boks. Dibawanya melintasi ruang bermain, ke arah kamar mandi. Terdengar suara gemericik air. Tak berapa lama, Ana keluar sambil membopong si bocah. Handuk melingkar di perutnya. "Masih diare," kata Ana sambil mengelap air di badan Za, nama balita itu. Za, bersama tiga balita lain, yaitu Kh, Sy, dan Il, juga ”alumni” Panti Asuhan Rizki Khairunnisa. Ana merupakan perawat mereka di Panti Anak Yayasan Pembinaan Asuhan Bunda (YPAB), tempat baru mereka sejak dievakuasi Oktober lalu. Za diletakkan di atas kasur, lalu berguling-guling sampai lantai. Di atas lantai itulah, dia baru diam, tak bergerak-gerak. ”Tuh kan, sudah di bawah lagi. Dia ini berapa kali pun diletakkan di atas kasur, tetap bergeser lagi ke lantai,” kata Ana. Bukan hanya Za yang berlaku demikian. Il, yang berbadan lebih besar ketimbang Za, juga kerap bergeser ke lantai. Ana dan suaminya bergegas meletakkan mereka kembali ke kasur.     Sebab, lantai terlalu dingin bagi mereka. Panti Anak YPAB memang dilengkapi dengan mesin pendingin ruangan. "Sepertinya, dia memang sudah biasa tidur di lantai. Pantas masuk angin," tutur Ana. Soal tidur di lantai, tim evakuasi Panti Asuhan Rizki Khairunnisa terlebih dahulu mengetahuinya. Dua relawan sosial sempat melakukan survei beberapa hari sebelum evakuasi dilakukan. Ketika itulah mereka menemukan sejumlah anak tergeletak di lantai rumah. "Tanpa alas. Langsung tidur begitu saja," kata Syamsul Rumangkang, ketua DPD Gerakan Anti-Trafficking (GAT) Kepulauan Riau, lembaga sosial masyarakat yang bergabung dalam tim evakuasi. Kebiasaan tidur itu terbawa juga sampai Lembaga Kesejahteraan Sosial Anak (LKSA) Permate. Siti Nurhasanah, pengasuh di LKSA Permate, dibuat heran karena Sh dan Ra yang masih di bawah lima tahun selalu saja berguling ke lantai setiap kali tidur malam. Siti dan pengasuh-pengasuh lain di LKSA Permate membutuhkan waktu hampir satu bulan untuk mengubah kebiasaan anak-anak asal panti asuhan yang berlokasi di daerah Batuampar tersebut. *** Ruang itu gelap dan pengap. Bau pesing, apek, dan air liur memenuhi udara. Boks bayi berada di satu sisinya. Ada empat bayi yang berjajar di selembar kasur tipis lepek di lantai. Seorang pengasuh sibuk memindahkan botol susu dari satu mulut ke mulut lain. Tapi, bukan susu yang ada di botol itu. Melainkan air teh. ”Mana ada duit buat beli susu? Air teh aja lah,” kata pengasuh itu kepada salah seorang di antara dua relawan sosial yang berkunjung ke panti sebelum penggerebekan. Pengasuh itu bersungut-sungut. Setiap kali ada bayi berteriak, telapak tangannya langsung mendarat ke paha atau juga pantat si bayi. Tak dia hiraukan penyebab si bayi menangis. Seperti tak dihiraukannya ruam-ruam merah di leher seorang bayi laki-laki, tak dihiraukannya juga –maaf– kotoran manusia di atas kasur itu. Sampai tinja tersebut mengering. Di salah satu kamar di lantai dua, relawan tersebut juga melihat seorang bocah perempuan buang air besar. Kotoran itu dia tinggalkan begitu saja di lantai. Bocah tersebut kemudian kembali bermain dengan teman-teman seusianya. Mereka semua yang bermain di kamar itu seakan tak terusik dengan kotoran itu. Selama berada di Panti Asuhan Rizki Khairunnisa, setiap hari pada pukul 08.00 WIB anak-anak sudah mandi. Mereka mengenakan pakaian seragam. Menenteng tas. Lalu diantar dengan ”bus sekolah”. Tapi, yang dimaksud dengan bangunan sekolah anak-anak Panti Asuhan Rizki Khairunnisa itu bukanlah sebuah gedung dengan banyak ruang kelas. Melainkan sebuah masjid. TPA Rizki Khairunnisa, begitu tulisan yang tertera di sana. Anak-anak tersebut merasa bahwa sekolah itu mengaji. Bukannya duduk di kelas dan belajar membaca-menulis. Ataupun berhitung. Karena itu, ketika sampai di LKSA Permate, anak-anak yang seharusnya sudah duduk di bangku SD tersebut belum bisa apa-apa. ”Saya tanya sudah kelas berapa, mereka jawabnya iqra berapa. Mereka mengira mengaji itu sekolah,” terang Kepala LKSA Permate Suharmanto. Suharmanto akhirnya mengambil keputusan untuk menyekolahkan anak-anak tersebut. Dia memiliki sebuah yayasan pendidikan Islam terpadu. Dia memasukkan tujuh di antara sebelas anak titipan itu ke SD yang bernama Insan Harapan tersebut. Mereka –As, Ar, Ha, Ma, Ok, Fa, dan Da– duduk di kelas I. ”Supaya mereka mengenal juga baca-tulis dan berhitung. Sebab, usia mereka sudah besar-besar,” tuturnya lagi. Sementara itu, empat anak lain belum bersekolah. Sebab, mereka masih di bawah umur. Di antara tujuh anak yang bersekolah tersebut, kini hanya tiga yang masih tersisa di sana. Empat lainnya sudah dipindahkan ke Rumah Perlindungan Sosial Anak (RPSA) Bunga Rampai. Nah, di antara tiga anak yang masih bersekolah itu, Ok menunjukkan perkembangan yang paling signifikan. Dia sudah bisa membaca dan menulis. Nilai-nilainya juga menggembirakan. ”Anak ini memang cerdas. Cepat nangkapnya,” kata Siti Nurhasanah. Perkembangan itu tentu saja menggembirakan. Dari kehidupan yang serupa titik nol setelah dievakuasi dari Rizki Khairunnisa yang telah menorehkan luka demikian dalam, mereka kini telah menunjukkan tanda-tanda mulai melangkah. Kendati begitu, tidak berarti mereka telah sepenuhnya pulih dari trauma. Sebab, prosesnya lama. Minimal, anak-anak itu harus berada di RPSA terlebih dahulu selama enam bulan. Bahkan bisa saja lebih. ”Mereka harus dibikin enjoy, nyaman, aman, dan terlindungi. Sehingga tidak akan memiliki keinginan untuk melakukan tindakan tak sepatutnya seperti di tempat yang dulu lagi,” ujar Anita, ketua RPSA Bunga Rampai. (*/JPG/c11/ttg)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: