Pesantren Suluk Banjarnegara yang Diisi Santri Manula, Berdiri Sejak 1901

Pesantren Suluk Banjarnegara yang Diisi Santri Manula, Berdiri Sejak 1901

BERSANTAI: Suasana Pesantren Suluk yang berisi santri-santri berusia lanjut di pondok pesantren Al Fatah, di Kelurahan Parakancanggah, Banjarnegara/PUJI HARTONO/RADARMAS Umumnya, pondok pesantren itu dihuni santri yang tengah mendalami ilmu agama. Tidak heran, jika usianya pun rata-rata dari 12 tahun hingga 20 tahun. Namun, pemahaman itu bisa berubah jika seseorang melihat suasana pondok pesantren Al Fatah, di Kelurahan Parakancanggah, Banjarnegara. PUJI HARTONO, Banjarnegara Pada Selasa (7/6), di pelataran masjid di kawasan Pondok Pesantren Al Fatah dipadati pria lanjut usia yang tengah duduk santai. Dengan mengenakan sarung kotak-kota dan kopiah hitam, beberapa diantaranya sibuk antre mengisi air panas ke dalam teremosnya masing-masing. “Air panas ini akan digunakan untuk membuat minuman saat buka puasa dan sahur,” ujar Juwani, salah satu santri suluk di Pondok Pesantren Al Fatah. Kakek 62 tahun ini mengaku rutin menjadi santri suluk yang dilakukan tiga kali dalam setahun. Yakni bulan Muharram, Rajab, serta bulan Ramadan. Meski tidur seadanya, namun Juwani tidak pernah merasa sakit atau kedinginan. “Tidurnya hanya beralaskan tikar. Tetapi karena yang mondok di sini banyak, jadinya terasa hangat,” tutur pria asal Selomerto itu. Saat azan dikumandangkan, para santri bergegas dari tempat tidurnya menuju masjid. Meski geraknya pelan, namun tetap semangat untuk menjalankan ibadah. Rupanya, pondok suluk tidak hanya diikuti santriwan. Namun juga santriwati. Ny Maroji salah satunya. Perempuan yang sudah memiliki tujuh cucu ini selalu mengikuti pesantren suluk. Baginya, dengan menjadi santri dapat menambah waktu beribadah terutama dzikir. “Setiap hari semua yang mondok dzikir hingga dini hari. Biasanya pesantren dilakukan selama 20 hari,” terangnya. Pengasuh Pondok Pesantren Suluk, Muhammad Najib menjelaskan, para santri datang tidak hanya dari Banjarnegara tetapi juga dari daerah lain. Seperti Wanasaba, Kabupaten Purbalingga hingga Kabupaten Temanggung. “Pondok pesantren ini sudah ada sejak 1901. Sekarang sudah generasi ke empat,” kata dia. Di pesantren, lanjutnya, para santri terus dibimbing untuk melakukan taubat. Bahkan selama berada di pesantren, mereka tidak boleh memakan makanan bernyawa. Termasuk juga didalam bumbu. “Jadi dari mandi, shalat, dzikir semuanya diarahkan untuk melakukan taubat,” terangnya lagi. Najib mengaku, meski para santri sudah manula, namun tidak ada kesulitan saat membimbing. Menurutnya, kedatangannya ke pondok pesantren merupakan kesadaran sendiri. Sehingga saat menjalankan ibadah semuanya taat. “Memang kalau pesantren yang santrinya remaja kadang harus ngoprak-ngoprak. Tetapi kalau orang-orang tua ini malah nurut,” imbuhnya. (*/sus)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: