Dindikpora Harus "Buru" Anak Putus Sekolah di Banjarnegara

Dindikpora Harus

Dindikpora Harus Buru Anak Putus Sekolah di Banjarnegara BANJARNEGARA – DPRD Banjarnegara meminta agar Dinas Pendidikan dan Olahraga (Dindikpora) terus mengintai keberadaan anak putus sekolah. Sabab berkaca pada pelaksanaan ujian nasional tingkat SMP sederajat, sedikitnya ada 89 peserta yang absen baik saat pelaksanaan maupun saat UN susulan. Wakil ketua komisi IV DPRD Banjarnegara Djarkasi, meminta an agar Dindikpora terus "memburu" anak putus sekolah. Terlebih saat ini di Kabupaten Banjarnegara telah memiliki Perda terkait wajib belajar sembilan tahun. “Khusus bagi mereka yang tetap tidak mengikuti ujian susulan, dinas harus mendorong mereka agar ikut jekar paket. Kalau tidak seperti ini, IPM (Indeks Pembangunan Manusia) di Banjarnegara di bidang pendidikan tidak bisa naik,” ujarnya, kemarin. Apalgi saat ini, Dindikpora telah melakukan kerjasama dengan tiga ormas Islam di tingkat kecamatan. Nantinya, anak yang tidak sekolah atau putus sekolah cepat terdeteksi, sehingga bisa segera dilakukan penanganan. “Selain ketiga Ormas itu, juga ada tim pengawas, Kasi Kesra di tingkat kecamatan maupun dea untuk melakukan pemantauan,” ungkap dia. Khusus bagi anak putus sekolah yang berada di luar daerah, Djarkasi juga meminta agar keberadaannya didata. Saat pulang ke kampung halaman, diarahkan untuk mengikuti kejar paket. “Terutama peserta yang kemarin tidak mengikuti UN dan UN susulan harus didorong ikut paket B. jangan sampai putus sekolah,” tandasnya Dindikpora Banjarnegara mencatat, saat ini angka putus sekolah di tingkat SMP sebanyak 2.665 anak. Dari jumlah tersebut, Kecamatan Punggelan, Pandanarum, dan Purwonegoro merupakan kecamatan yang tertinggi angka putus sekolah. “Daftar anak putus sekolah ini memang tersebar di berbagai kecamatan. Namun untuk kecamatan yang jumlah angka putus sekolahnya tinggi, akan menjadi fokus kami untuk melakukan pemantauan terkait percepatan wajib belajar Sembilan tahun,” kata Kepala Dindikpora Banjarnegara Noor Tamami Menurutnya, kondisi geografis yang berbukit-bukit tersebut menjadi salah satu penyebab anak putus sekolah. Mengingat jarak tempat tinggal anak dengan sekolah tingkat pertama cukup jauh. Terlebih jika kondisi ekonomi keluarga tersebut tergolong kurang mampu. “Makanya, kami ingin ada kelas jauh. Nanti untuk guru pengajarnya mengambil dari sekolah terdekat, dan akan mendapat honor tambahan. Intinya kami ingin melakukan jemput bola,” kata dia. Jika permasalahan ekonomi, kata Noor Tamami, nantinya akan diberikan beasiswa dengan memanfaatkan Kartu Indonesia Pintar (KIP). Tetapi untuk kendala psikologi, pihaknya terus melakukan sosialisasi dengan menggandeng berbagai pihak. Seperti ormas islam, serta dharma wanita. “Kewajiban menuntaskan wajib belajar ini merupakan tanggung jawab pemerintah, orangtua anak serta masyarakat. Makanya dalam hal ini kami menggandeng berbagai elemen masyarakat. Yang nantinya aka nada desa pintar,” imbuhnya. (uje)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: