Perpres Terorisme Ambigu
JAKARTA – Peraturan Presiden tentang Pencegahan dan Penanggulangan Terorisme yang telah diteken Presiden Joko Widodo menuai kritik. Aturan yang ingin melibatkan masyarakat dalam pelaporan ini dianggap sia-sia. Anggota Komisi I DPR RI Sukamta mengatakan, tanpa perpres yang baru tersebut, Indonesia sudah memiliki Undang-Undang Terorisme. Sudah ada UU Terorisme yang dipergunakan untuk memberantas teroris. “Apakah Perpres ini benar-benar menyasar pencegahan tindakan terorisme atau punya motif lain. Ini yang menjadi catatan pertama dari Fraksi PKS DPR RI,” ujarnya. https://radarbanyumas.co.id/presiden-didesak-rumuskan-rancangan-perpres-pembatasan-tni-dalam-upaya-pemberantasan-terorisme/ Menurutrnya, Perpres tersebut justru berbahaya. Hal ini mengenai multitafsir ekstremisme versi pemerintah. Hal ini juga menyangkut keadilan hukum dan iklim demokrasi. “Pemerintah membuat tafsir sendiri mengenai ekstremisme yang tidak jelas bentuk dan ukurannya. Sehingga dalam tataran teknis menjadi multitafsir,” terangnya, Rabu (20/1). Ia mencontohkan, misalnya, ada laporan dari masyarakat tentang kejadian ekstremisme kepada kepolisian. Yakni terhadap orang atau kelompok dengan keyakinan tertentu yang dianggap mendukung ekstremisme. Polisi pun akan menafsirkan laporan secara subjektif. Sebelumnya, Direktur Eksekutif Sudut Demokrasi Riset dan Analisis (SUDRA), Fadhli Harahab, mengatakan salah satu klausul Perpres menyebut pemerintah akan melatih masyarakat soal pelaporan terhadap dugaan adanya ekstremisme. Menurutnya, ada kemungkinan dampak negatif yang bisa saja muncul dari rencana tersebut. "Bahaya kalau pemerintah tidak bisa mendefinisikan dan menjelaskan kepada masyarakat. Bias pemaknaan itu bisa saja menimbulkan paham yang menyudutkan golongan tertentu. Bisa jadi orang yang kritis terhadap pemerintah dilaporakan dengan tuduhan tersebut," kata Fadhli. Pemerintah harus bisa menjelaskan pemaknaan ekstremisme secara gamblang. Tujuannya, agar tidak menimbulkan bias makna bagi masyarakat. ia juga meragukan mekanisme pelaporan dari masyarakat. Pengetahuan masyarakat soal wawasan intelejen terbilang minim. Hingga bisa mengakibatkan kesalahan fatal dalam pelaporan. "Saya pikir kalau itu terjadi, bukan tidak mungkin justru akan mengakibatkan konflik sosial yang baru,” terangnya. Sementara itu, Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko mengatakan penerbitan Perpres Nomor 7 tahun 2021 tentang Rencana Aksi Nasional Pencegahan dan Penanggulangan Ekstremisme harus dilihat secara rasional. Perpres itu mengatur pelatihan kepada masyarakat tentang aksi pencegahan dan penanggulangan ekstremisme. "Mungkin ada berbagai pihak yang curiga macam-macam. Kita mesti rasional lah. Untuk itu kita harus menggunakan rasio, kecukupan, antara jumlah penduduk dengan jumlah polisi," ujar Moeldoko. Dia mengatakan jumlah polisi di Indonesia yakni sekitar 470.000 personel, sementara jumlah penduduk mencapai 270 juta jiwa sehingga jika dihitung, satu polisi harus mengelola kurang lebih 500 orang masyarakat. Pertimbangan lainnya, yakni pasca-reformasi ada kekhawatiran berbicara mengenai kewaspadaan. Padahal kewaspadaan itu menjadi sangat penting. "Karena kalau kita tidak waspada, kita menjadi bangsa yang teledor, lalai. Kita ada ancaman, karena kita tidak waspada, ya tenang-tenang saja," jelasnya. Berikutnya terkait persoalan kamtibmas yang tidak bisa hanya ditangani oleh kepolisian, negara, pemerintah dan pemda, maka perlu pelibatan seluruh masyarakat Indonesia. “Jadi ini sebenarnya, keberhasilan perpres ini menjadi keberhasilan dari civil society organization. Ya antaranya, Wahid Foundation mengatakan sangat clear bahwa ini perjuangan sangat panjang, dan sangat mengapresiasi atas lahirnya perpres ini," kata dia. Moeldoko mengajak publik memahami dengan baik bahwa dalam situasi yang seperti saat ini, keterlibatan seluruh masyarakat, perlu disambut bersama. "Dan ini salah satu tugas negara, tugas konstitusional. Karena negara melindungi segenap bangsa. Melindungi seluruh masyarakat Indonesia dari berbagai ancaman," kata dia. (khf/fin)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: