Tergerak karena Juga Berasal dari Keluarga Tak Mampu

Tergerak karena Juga Berasal dari Keluarga Tak Mampu

Piter Pureklolong, Pegawai Honorer yang Bangun Rumah-Rumah Baca di Kawasan Rumah Liar Lima rumah baca yang didirikan Piter Pureklolong di kawasan rumah liar di Batam juga berfungsi sebagai PAUD yang digratiskan untuk kalangan miskin. Untuk membantu pendanaan, membangun relasi sampai ke Singapura. ALFIAN LUMBAN GAOL, Batam [caption id="attachment_104043" align="aligncenter" width="960"]Anak PAUD sedang belajar di PAUD rumah liar Kampungair, Batamkota, Senin (25/4). F. Alfian Lumban Gaol/Batam Pos Anak PAUD sedang belajar di PAUD rumah liar Kampungair, Batamkota, Senin (25/4). F. Alfian Lumban Gaol/Batam Pos[/caption] DUA bangunan permanen itu tak luas. Berukuran sekitar 4 x 8 meter. Kalau kemudian terlihat menonjol, itu disebabkan keduanya berdiri di tengah kepungan bangunan semipermanen di sekitarnya. Ya, bangunan yang di depannya terpampang tulisan "Rumah Baca" tersebut memang berlokasi di kawasan Rumah Liar (Ruli) Kampung Air. Ruli adalah istilah khas di Batam, Kepulauan Riau, untuk menyebut kawasan yang bangunan-bangunannya berdiri tanpa basis legalitas. Pada Senin pagi lalu itu (25/4), salah satu ruangan tampak acak-acakan. ”Sebentar lagi mau masuk anak PAUD, makanya harus dirapikan dulu,” kata Agustina, guru pembimbing dan penjaga Rumah Baca Kampung Air, saat Batam Pos (Jawa Pos Group) berkunjung ke sana Senin lalu. Satu di antara dua bangunan tersebut memang difungsikan sebagai tempat pendidikan anak usia dini (PAUD) yang muridnya total mencapai 95 anak. Satunya lagi difungsikan sebagai perpustakaan. Senin lalu itu, para murid PAUD yang masuk pagi baru selesai belajar. Karena itulah, ruangan terlihat tak rapi. Tapi, bagaimanapun kondisinya, kehadiran PAUD dan bangunan yang didirikan Piter Pureklolong tersebut ibarat oase di tengah kerasnya hidup di Ruli Kampung Air. Perpustakaannya menyediakan sekitar seribu buku. Mulai buku pelajaran sampai filsafat. Orang tua juga hanya perlu membayar Rp 15 ribu per bulan untuk menyekolahkan anak mereka di PAUD. Sangat terjangkau untuk penghuni ruli yang kebanyakan bekerja serabutan. "Bahkan, kalau ada orang tua yang kesulitan dan tidak sanggup bayar, tidak apa-apa. Sebab, PAUD dan perpustakaan ini dibuat untuk pengabdian ke masyarakat," terang Agustina. Yang mengagumkan adalah Perpustakaan dan PAUD Kampung Air bukan satu-satunya yang didirikan Piter di lokasi yang bagi warga Batam kebanyakan dipandang sebelah mata. Padahal, sehari-hari Piter hanyalah pegawai honorer di Pemerintah Kota Batam yang otomatis penghasilannya terbatas. Empat rumah baca lainnya yang didirikan Piter itu, semuanya, berada di permukiman rumah liar. Yaitu di depan DC Mall, di sekitar TPA (tempat pembuangan akhir) Punggur, di Ruli Kampung Baru Sei Panas, dan di Teluk Lengung. Di Batam memang ada ratusan kawasan ruli dengan total rumah liarnya mencapai puluhan ribu. Semua rumah baca itu menerapkan aturan yang sama dengan yang di Kampung Air. Perpustakaannya bisa diakses siapa saja, sedangkan uang sekolah yang sekitar Rp 15 ribu itu untuk operasi saja. Itu pun kalau tidak mampu juga digratiskan. "Saya sangat bangga bisa membantu orang. Saudara-saudara kita yang di ruli berhak atas pendidikan yang layak, berhak untuk mendapatkan pengetahuan," tuturnya. Piter mengaku memang keluar tidak sedikit uang untuk membangun semua rumah baca itu. Tapi, dia memastikan bahwa pengeluarannya tersebut tak sampai mengganggu jatah untuk keluarga. Piter menyatakan tergerak membantu masyarakat strata bawah di kawasan ruli karena sebenarnya dirinya juga berasal dari keturunan orang kurang mampu. Rumah Baca Kampung Air merupakan yang pertama dia bangun, persisnya pada 2005. Ketika itu Piter melihat banyak anak di Kampung Air yang masih jauh dari dunia pendidikan dan buku. "Saya bikin rumah baca juga untuk merangsang minat anak-anak membaca buku," katanya. Ruli di Batam, kawasan yang dulu didesain untuk menyaingi Singapura yang selemparan batu dari sana, merebak karena banyaknya lahan tidur. Kepada Batam Pos Februari lalu, anggota DPR yang juga mantan Wali Kota Batam Nyat Kadir mengatakan, itu terjadi karena Badan Pengusahaan (BP) Batam tidak tegas. Menurut Nyat Kadir, lahan tidur di Batam semestinya ditarik setelah dua tahun tak dimanfaatkan. Meski memang ada lahan yang telantar karena sengketa. "Tetapi, itu kan hanya BP Batam yang tahu. Kalau menurut saya, tarik saja. Jangan takut digugat, kan ada ketentuannya," tutur dia. Batam merupakan salah satu kota dengan pertumbuhan terpesat di Indonesia. Mengutip Wikipedia, ketika dibangun pada 1970-an oleh Otorita Batam (saat ini bernama BP Batam), kota tersebut hanya dihuni sekitar 6.000 penduduk. Kini penduduknya menembus 1 juta lebih. Salah satu penyebab ledakan populasi itu adalah tingginya tingkat pendatang. Pendatang yang tak punya skill dan gagal bersaing mendapatkan sumber pendapatan memadai akhirnya terkonsentrasi di berbagai ruli. Kendati kerap digusur, ruli-ruli baru dengan cepat bermunculan lagi. Piter tak mau berkutat dengan peliknya persoalan lahan yang kemudian berubah menjadi ruli. Dia hanya ingin berbuat sesuatu agar anak-anak kawasan ruli tetap punya bekal untuk masa depan. Untuk rumah baca pertamanya di Kampung Air, pengadaan buku awalnya sepenuhnya menggunakan uang pribadi. Dia kemudian membangun relasi, baik ke organisasi maupun individu, sampai ke Singapura. "Makanya, dari Singapura banyak juga yang menyumbang buku di sini," katanya. "Terkadang kami bareng belanja ke toko buku dan mereka yang bayar. Tapi, kami yang pilih buku," imbuhnya. Ada juga bantuan dari lembaga swadaya masyarakat (LSM). Agustina, misalnya, mengaku tiap bulan mendapat dana penghargaan dari LSM Viva Wanita. Tapi, jumlahnya tak sampai Rp 1 juta. Sudah pasti uang sejumlah itu tak mencukupi untuk menutupi kebutuhan tiga anaknya. Tapi, toh Agustina mengaku bahagia bisa membantu berkiprah di Rumah Baca Kampung Air tersebut. "Kami di sini murni untuk mengabdi, sama dengan Pak Piter," katanya. Hanifa, seorang ibu anak PAUD di Kampung Air, mengaku bersyukur ada orang-orang yang peduli dengan pendidikan anak-anak dari keluarga miskin. Dia berharap PAUD dan perpustakaan tersebut bisa terus berkembang. "Kami sangat terbantu. Kalau di luar, PAUD itu biayanya ada yang sampai lebih dari Rp 100 ribu. Di sini kami tidak diwajibkan," ucapnya. Piter memang sudah berniat akan terus mengembangkan dan menambah rumah baca untuk warga tidak mampu. Dia berharap jangan sampai ada warga miskin yang tidak bisa membaca dan menulis. "Saya ingin kalau memang tidak sanggup sekolah tinggi, paling tidak anak-anak itu bisa membaca dan menulis," tutur dia. (*/JPG/c9/ttg)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: