Bertahan dengan Teko Tembaga Warisan si Pendiri
[caption id="attachment_102274" align="aligncenter" width="100%"] Generasi ke-4 Willy (kaos hitam) bersama ayahnya Akiong pemilik kedai kopi Ake yang berdiri tahun 1921, di Tanjung Pandan Belitung, 9/3. Foto; Agus Wahyudi / JAWA POS[/caption] Ngopi dan Menyusuri "Lorong Waktu" di Warung Ake di Belitung Selama seabad lebih, Warung Kopi Ake berhasil mempertahankan cita rasa yang membuat mereka ramai jadi jujukan. Baik pengunjung lokal maupun wisatawan. Dari masa ke masa tak pernah mau membuka cabang. M. Hilmi Setiawan, Belitung MEMASUKI warung kopi itu tak ubahnya memasuki lorong waktu. Serasa langsung dilempar satu abad lebih. Ke masa ketika para meneer Belanda dan staf kantor gubermen wira-wiri di sana untuk menghabiskan jam makan siang. Ceret tembaga itu, keramik tempat menyimpan air itu, foto itu, seperti berebut bercerita. Tentang hari-hari, pada 1911, ketika warung di Tanjung Pandan, Belitung, tersebut baru didirikan. Tentang mengapa kavling tempat warung itu berada disebut kavling bahagia. Dan semua kisah tersebut bisa dinikmati sembari menyesap segelas kopi hitam. "Awalnya dulu kakek saya, Abok, jualannya di kantor Belanda yang ada di sana itu," kata Ahkiong, pengelola Warung Ake, demikian nama warung tersebut, sembari menunjuk ke sebuah gedung tua di seberang jalan. Selama sekitar satu jam Jawa Pos (grup Radar Banyumas) bertandang ke sana pada Kamis (10/3) tengah hari lalu itu, Ahkiong bercerita sembari berdiri. Tangan pria yang punya nama lain Hendra Wijaya tersebut tak berhenti meracik. Sebab, tamu memang mengalir hampir tiada henti. Kopi hitam alias Kopi O yang paling dicari. Tapi, tak sedikit pula yang memesan kopi susu, teh susu, teh panas, dan es teh. Mereka bukan hanya warga sekitar. Tapi juga para wisatawan yang sehari sebelumnya "berburu" gerhana matahari total, seperti juga rombongan Dwidayatour dan Citilink yang bertandang ke sana berbarengan dengan Jawa Pos. Belitung merupakan satu di antara sebelas kota di tanah air yang beruntung dilintasi fenomena alam langka tersebut. Sejarah panjang Waroeng Kopi Ake yang terentang selama 105 tahun, barangkali, adalah daya tarik utama mengapa warung yang dikelola secara turun-temurun itu tak pernah sepi pengunjung. Mulai pukul 6 pagi sampai 12 malam. "Kadang bahkan lebih kalau pas ada pengunjung yang belum selesai ngopi," kata Ahkiong. Ake diambil dari nama ayah Ahkiong. Dia putra Abok, satu di antara ribuan pendatang dari Tiongkok yang didatangkan Belanda ke pulau kaya timah tersebut. Saat para kompatriotnya bekerja di tambang, Abok memilih membuka warung kopi. Tak lama setelah berdiri, warung dipindah ke lokasinya yang sekarang. Dari dulu sampai kini Waroeng Kopi Ake tak sendirian di sana. Ada sejumlah warung tempat mengisi perut lainnya. Selain urusan makan-minum, dulunya berbagai jenis hiburan pun tersedia di sana. Mulai main catur sampai bola sodok. Jadi, perut kenyang, hati pun senang. Itulah sebabnya, kavling itu disebut kavling bahagia. Sampai kini. Sebuah foto yang tergantung di dinding warung memperlihatkan rupa tempat itu dulu. Bangunan dua lantai dengan dinding terbuat dari kayu dan atap seng. Lantai 1 dipakai untuk membuka kedai kopi. Lantai di atasnya dijadikan tempat tinggal. Satu abad kemudian, lantainya tetap dua. Bedanya, bagian atasnya kini hanya digunakan sebagai tempat istirahat. Yang juga berbeda dindingnya. Kini sudah bersulih menjadi batu bata. Ahkiong, 60, yang merupakan generasi ketiga pengelola warung, juga mulai mewariskan bisnis menyeduh kopi itu ke anak pertamanya yang bernama Willy Martem, 34. Tapi, selebihnya adalah "keabadian". Ceret -warga setempat menyebutnya ketel- untuk memasak air masih menggunakan warisan Abok. Terbuat dari tembaga, wujudnya masih tampak gagah. Total ada tiga buah ceret yang masih digunakan sampai sekarang. Ahkiong menjelaskan, kalaupun ada kerusakan, hanya sebatas bocor di salah satu sudutnya. "Itu pun tinggal dibawa ke tukang solder untuk ditambal," ucapnya. Air untuk dimasak tersebut diambil dari tempat penyimpanan yang juga warisan sejak generasi pertama. Bahannya berupa keramik. Tingginya sekitar 1 meter. Di salah satu bagiannya terbubuhkan tulisan: The Brownlow British Health Filter. "Dulu ada saringan airnya, tetapi sudah rusak. Tidak ada lagi yang menjual komponennya," ungkap Ahkiong. Saat mencicipi air dari tempat penyimpanan itu, rasanya begitu segar. Tidak terlalu dingin. Air dari tempat penyimpanan tersebut biasanya untuk membuat es teh. Atau langsung disuguhkan untuk mereka yang ingin minum air putih saja. Yang juga tak berubah adalah cita rasa. Ini bisa dibilang harga mati. Karena itu pula, para pengelolanya, dari masa ke masa, tak pernah mau membuka cabang di tempat lain. Sejatinya, mengamati Ahkiong saat meracik kopi tampak biasa saja. Tak berbeda dengan warung kopi lain, terutama tentu yang di Belitung. Bubuk kopi robusta yang didatangkan dari Palembang ditaruh di saringan berupa kain berongga tipis. Bubuk yang ada di saringan kain itu lantas diguyur dengan air mendidik dari teko tua. Kalau yang dipesan kopi susu, terlebih dulu dituangkan susu kental manis di dasar gelas. Tapi, cara sama, di tangan yang berbeda, rasanya juga bakal tak sama. Dan racikan Waroeng Kopi Ake itu terbukti telah bertahan satu abad lebih menarik minat pengunjung. "Dari dulu sampai kini, rasanya tetap sama. Karena itu, tiap pagi, kalau pas tidak mengantarkan tamu, saya pasti ke sini," kata Escape Jolly, seorang tour guide berusia paro baya. Padahal, warung kopi adalah salah satu identitas Belitung. Otomatis jumlahnya seabrek di sana. Ahli sejarah Belitung Salim Yan Albert Hoogstad menerangkan, minum kopi di warung memang sudah menjadi bagian budaya di pulau tersebut. "Warung kopi kini akhirnya juga jadi salah satu andalan penarik wisatawan," katanya. Belitung terbagi dalam dua kabupaten. Belitung dengan ibu kota Tanjung Pandan dan Belitung Timur yang beribu kota di Manggar. Manggar sampai kini dikenal sebagai Kota 1.001 Kedai Kopi. Tapi, terang Salim, ada perbedaan karakteristik penikmat kopi di Tanjung Pandan dan Manggar. Kalau di Belitung penikmat kopi berasal dari kalangan yang lebih beragam, di Manggar mayoritas pengunjung warung kopi adalah pekerja tambang timah. Warung kopi menjadi tempat bagi mereka mengobrolkan segala hal. Mulai pekerjaan sampai nomor togel. "Tapi, ketika timah redup seperti sekarang, pengunjung warung kopi di Manggar juga ikut menyusut," ujarnya. Saat ini seluruh varian kopi dan teh susu di Waroeng Kopi Ake dibanderol Rp 8.000 per porsi. Dalam satu hari, rata-rata mereka bisa menjual seratus porsi. Saat ramai-ramainya musim pelesir, seperti ketika terjadi gerhana lalu, Waroeng Kopi Ake bisa menghabiskan sampai 2 kg bubuk kopi Robusta. Misalnya pada Kamis siang lalu itu, arus pengunjung baru agak reda sekitar pukul 14.00 WIB. Beberapa kursi terlihat kosong. Tapi, tunggu saat matahari mulai menyisir ke barat, lalu tenggelam di peraduan. Waroeng Kopi Ake bakal langsung hidup lagi. Apalagi, saat ini kavling bahagia sudah ditata bagus. Dilengkapi kursi-kursi besi untuk nongkrong yang menjadi favorit pengunjung. Karena langsung menghadap ke Tugu Batu Satam, tetenger Kabupaten Belitung. Kopi O pun jadi terasa nikmat sekali. Apalagi seraya menyusuri lorong waktu. (*/c9/ttg)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: