Berburu di Pasar Loak, Bermimpi Kelola Perpustakaan Desa

Berburu di Pasar Loak, Bermimpi Kelola Perpustakaan Desa

Ani Yuliarti, Kolektor Biografi Buku Tokoh-Tokoh Dunia Mengoleksi apapun bisa sangat mengasyikkan, apalagi jika upaya memperolehnya tidaklah mudah. Guru Bahasa Indonesia SMP Negeri 3 Bantarsari, Ani Yuliarti, memilih buku-buku biografi sebagai koleksi untuk memperluas pengetahuan dan wacana. Abdul Aziz Rasjid, Cilacap Buku-buku itu, dia tata rapi di lemari buku di ruang tamu kediamannya, mulai biografi dari seorang presiden, filsuf, penulis, tokoh politik sampai para pahlawan yang melegenda. "Ketertarikan saya, saat mulai mengoleksi biografi tentang Presiden Republik Indonesia. Awalnya usai membaca buku Soekarno Penyambung Lidah Rakyat yang ditulis Cindy Adams. Lalu biografi Gus Dur yang ditulis Greg Barton, yang terakhir tiga seri memoar Mohammad Hatta, Untuk Negeriku," kata Ani. Ibu dari Nafeeza Ziani Mahanipuna (2) ini mengakui, untuk melampiaskan hobinya, dia selalu berkunjung ke toko buku dan pasar loak saat jalan-jalan di akhir pekan atau liburan sekolah. Biografi Soekarno Penyambung Lidah Rakyat, adalah salah satu buku yang dia dapat di toko buku loak di Pasar Pereng, Purwokerto. Yang terakhir kali dia beli di toko buku, adalah riwayat hidup Pengeran Diponegoro berjudul Kuasa Ramalan yang ditulis Peter Carey.         Sedang biografi terbitan terlama dalam koleksinya adalah buku terjemahan Djenggis Khan Karya Harold Lamb tahun 1964 yang masih ditulis dalam ejaan lama. "Di loakan transaksi penawarannya luwes, jadi bisa mendapat buku dengan harga yang murah. Biografi Soekarno, saya hanya beli Rp 30.000. Kalau buku baru yang Pangeran Diponegoro, saya beli Rp 250.000," ujar wanita 28 tahun ini. Kecintaannya pada buku,membuat Ani  bermimpi suatu saat bisa mengelola perpustakaan umum di desa tempat dia tinggal. Karena budaya literasi di desanya, Binangun kecamatan Bantarsari, dinilainya memang masih minim. Salah satu faktornya adalah minimnya akses masyarakat terhadap buku atau surat kabar. "Kalau koleksi buku saat ini 300-an. Kebanyakan buku sastra, psikologi dan filsafat. Ada keinginan bikin perpustakaan," ungkapnya. Sebagai pengoleksi buku,  hal paling menarik saat membaca buku berarti memahami realitas sejarah yang tentu pula memuat gambaran dari  kondisi sosial, politik, ekonomi maupun kebudayaan. Selain itu mengetahui aktualisasi kognitif seorang tokoh menghadapi masalah-masalah sosialnya, cita-cita dan perjuangannya dan meletakkan nasib sendiri sebagai bagian dari nasib besar masyarakat pada sebuah masa. Dari biografi, ia menyebut, menjadi tahu riwayat unik sekaligus semangat pantang menyerah dari perjalanan hidup seorang tokoh. "Misalnya riwayat Gus Dur, ia mengalami persoalan gangguan penglihatan karena vespanya ditubruk mobil di lingkungan Pesantren Denanyar. Saat itu, retina matanya kirinya terlepas dan dia harus beristirahat. Tapi Gus Dur malah sibuk membaca buku, menulis, dan menyampaikan makalah-makalah seminar. Akhirnya Gus Dur harus berpindah ke Jakarta karena mesti operasi mata dan memeriksa kesehatannya secara teratur. Siapa yang sangka, pindahnya Gus Dur ke Jakarta adalah langkah yang kemudian membuat ia menjadi Presiden RI ke IV," urai Ani. Saat ini, di dunia kepenulisan Ani sedang mengagumi sosok wartawan The New Yorker, Truman Capote. Dia sedang berburu buku jurnalistik Capote yang berjudul In Cold Blood yang sebelumnya terbit berseri di majalah The New Yorker sekitar tahun 1960-an. Buku tersebut menjadi ketertarikannya, karena Capote sebagai wartawan mengikuti kasus pembunuhan keluarga Clutterm di kota kecul Holcomb, Kansas selama 6 tahun. Sebagai wartawan Capote sampai membangun akses kedekatan luarbiasa terhadap Richard Hickock dan Perry Smith, pembunuh yang kemudian dijatuhi hukuman mati. (*)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: