Uber dan GrabCar Jadi Koperasi

Uber dan GrabCar Jadi Koperasi

wajah benner- menkominfo-JAKARTA – Pengusaha kendaraan berbasis online, Uber dan GrabCar, bisa bernapas lega. Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) memastikan tidak memblokir dua situs yang digunakan untuk memfasilitasi layanan angkutan itu. Sebagai gantinya, ada kesepakatan untuk mengurus izin dalam bentuk badan usaha koperasi bagi layanan transportasi tersebut. Menkominfo Rudiantara menuturkan, di satu sisi, ada UU yang harus ditegakkan. Di sisi lain, ada aspirasi masyarakat yang menginginkan layanan transportasi umum yang lebih nyaman serta terjangkau dari sisi biaya. ’’Aplikasi online itu suatu keniscayaan. Bagaimanapun, akan datang, tidak bisa distop,’’ terangnya di Kantor Presiden kemarin (15/3). Aplikasi itu seharusnya justru dimanfaatkan untuk proses yang lebih efisien. Rudi menyatakan, pihaknya baru saja bertemu dengan Kemenhub beserta pengelola transportasi berbasis aplikasi. Dishub DKI Jakarta juga dilibatkan dalam pertemuan tersebut. Pihaknya berkomitmen menyelesaikan persoalan sesuai dengan tatanan tanpa menghilangkan sistem berbasis aplikasi tersebut. Pemerintah pun memberikan jalan agar dua penyedia layanan over the top (OTT) itu bisa terus beroperasi. Salah satu jalan yang ditawarkan adalah pembentukan payung hukum yang akan mengatur usaha OTT tersebut. Rencananya, peraturan dikeluarkan akhir bulan ini. Dengan demikian, dua penyedia OTT tersebut akan dibantu untuk menyelesaikan kewajiban masing-masing sehingga bisa beroperasi sesuai dengan ketentuan. Keduanya diarahkan untuk menjadi badan usaha tetap yang wajib membayar pajak. Akhirnya, Uber dan GrabCar memilih untuk menjadi koperasi. Mereka akan bergerak sebagai penyedia rent car. Dengan demikian, mereka tetap bisa menggunakan pelat hitam untuk beroperasi. ’’Rencananya, izinnya dalam bentuk koperasi. Tadi saya menelepon menteri koperasi. Setahu saya, rent car tidak pakai pelat kuning,’’ ungkap pria yang akrab disapa Rudi itu. Saat ini pengemudi Uber di Indonesia memiliki koperasi sendiri. Sayang, Uber belum memiliki perusahaan di Indonesia. Hal itulah yang akan diwajibkan dalam peraturan OTT yang segera digarap Kominfo. Sementara itu, GrabCar justru sebaliknya. Usaha tersebut sudah memiliki perusahaan tetap di Indonesia, tetapi belum memiliki koperasi sebagai izin usaha. Sementara itu, selain memudahkan masyarakat, transportasi berbasis aplikasi selama ini dinilai lebih terjangkau dari sisi tarif. Jawa Pos beberapa kali membandingkannya dengan rute dan kondisi traffic lalu lintas yang sama. Misalnya, perjalanan dari Kebayoran Lama ke kawasan Mangga Besar yang biayanya bisa terpaut Rp 25 ribu–Rp 30 ribu. Dengan GrabTaxi, tarif yang dibayar sekitar Rp 50 ribu, sedangkan dengan taksi biasa mencapai Rp 70 ribu. Persoalan keamanan penumpang yang selama ini dijadikan alasan untuk menjegal transportasi berbasis aplikasi, tampaknya, juga kurang tepat. Sebab, selama ini, penumpang justru bisa lebih mengenali driver yang mengantar mereka. Bukan hanya nama, tetapi juga nomor telepon driver yang bersangkutan. ’’Untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan, biasanya penumpang itu capture pesanan dan dikirim ke temannya. Jadi, si teman pemesan GrabCar ini tahu pemesan naik kendaraan apa dengan driver siapa dan nomor teleponnya berapa,’’ ujar Agung Prasetyo, salah seorang pengemudi GrabCar asal Lenteng Agung. Ramadan Tobing, 24, adalah salah seorang pengguna yang menginginkan transportasi online tetap ada. Sebagai pekerja media di salah satu majalah anak muda, mobilitasnya untuk datang ke acara anak muda sangat tinggi. Ramadan pun memilih GrabCar untuk mengantarnya ke mana-mana. ’’Tarif mereka flat dibanding taksi konvensional. Apalagi di Jakarta yang macetnya tidak bisa diprediksi. Itu sangat menguntungkan,’’ tuturnya. Selain itu, GrabCar yang menggunakan mobil pribadi dinilai lebih nyaman. Malahan kadang bisa menambah percaya diri dan pride kalau turun di mal daripada naik taksi. Poin penting lainnya adalah sikap para pengemudi. Meski tidak sedikit yang meminta diberi nilai bagus, sistem penilaian langsung membuat penumpang lebih aman. Driver GrabCar tidak berani macam-macam seperti berputar-putar atau bertindak tidak sopan. Kalau itu terjadi, pengguna bisa memberikan nilai 1 bintang dan besoknya driver yang bersangkutan bisa disanksi. Perbedaan tarif yang mencolok antara taksi konvensional dan taksi online juga dirasakan Wawan, warga Bojongsari, Depok. Dalam tempo yang hampir berdekatan, dia merasakan perbedaan tarif yang signifikan antara Blue Bird dan Uber. Saat perjalanan dari rumahnya ke Bandara Soekarno-Hatta dengan taksi Blue Bird, tagihan argonya Rp 180 ribu. Kemudian, saat pulang dari bandara ke rumahnya dengan naik Uber, dengan melewati rute yang sama dengan saat berangkat, tarifnya hanya Rp 125.500. Ada selisih sekitar Rp 50 ribu. ’’Urusan bayar tol, antara Blue Bird dan Uber sama-sama bayar sendiri,’’ ungkap bapak satu anak tersebut. Di tempat terpisah, Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK) Indonesia menilai, kebijakan pemblokiran aplikasi pemesanan angkutan oleh Kementerian Perhubungan sangat tidak tepat. Mereka menilai, transportasi berbasis aplikasi saat ini masih diperlukan masyarakat karena sistem transportasi di Indonesia belum optimal. PSHK berharap pemerintah membenahi kerangka hukum untuk memfasilitasi transportasi berbasis aplikasi. Dengan begitu, tidak terjadi lagi kontroversi seperti saat ini. Indonesia bisa mencontoh inisiatif beberapa negara seperti Negara Bagian California (Amerika Serikat), Negara Bagian New South Wales (Australia), Kota Canberra (Australia), dan Edmonton (Kanada) serta Malaysia. ’’Negara-negara itu telah mengakomodasi pengaturan transportasi berbasis aplikasi,’’ ujar peneliti PSHK Faiz Aziz. Dia berharap pemblokiran GrabCar dan Uber segera dibatalkan. Selain itu, pemerintah diminta merevisi UU No 22/2009 yang memberikan ruang bagi transportasi berbasis aplikasi. Sementara itu, Ketua I Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (Gaikindo) Jongkie D. Sugiarto menilai, munculnya taksi online yang melibatkan masyarakat secara luas bisa berdampak positif bagi penjualan otomotif di Indonesia. ’’Layanan itu menggunakan mobil sebagai moda utama. Otomatis mendongkrak penjualan mobil, baik yang baru maupun bekas,’’ ujarnya. (byu/mia/gun/wir/dim/wan/c5/kim/acd)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: