Pemilik Bank Kolaps Wajib Suntik Modal

Pemilik Bank Kolaps Wajib Suntik Modal

[caption id="attachment_101580" align="aligncenter" width="100%"]grafis-bank grafis-bank[/caption] Pemerintah dan Parlemen Sepakati Protokol Krisis JAKARTA- Protokol krisis yang disusun lebih dari satu dekade silam itu akhirnya tuntas dibahas. DPR bersama pemerintah telah menyepakati seluruh poin penting dalam RUU Pencegahan dan Penanganan Krisis Sistem Keuangan (PPKSK) atau dahulu lebih dikenal dengan nama Jaring Pengaman Sistem Keuangan (JPSK). Undang-undang tersebut merupakan senjata penting bagi otoritas pengendali ekonomi di republik ini jika kelak krisis menerjang. Dengan payung hukum itu, penanganan krisis tanpa protokol sekuat undang-undang sebagaimana terjadi pada badai ekonomi 2008 tak akan terulang. Pemufakatan atas RUU PPKSK dicapai dalam pembahasan antara Komisi XI (Keuangan dan Perbankan) DPR dan menteri keuangan. RUU tersebut direncanakan disetujui dalam sidang paripurna DPR 18 Maret. Ketua Komisi XI DPR Ahmadi Noor Supit mengatakan, RUU PPKSK menekankan pada mekanisme bailin atau suntikan dana oleh pemegang saham pengendali apabila suatu bank berada di tubir kejatuhan. Itu adalah kebalikan mekanisme bailout alias injeksi modal dari pihak lain atau pemerintah. Legislator Fraksi Partai Golkar tersebut menambahkan, RUU tersebut juga mencoret opsi digunakannya dana APBN untuk menginjeksi modal bank gagal. "UU ini tidak mengizinkan menggunakan APBN. Namun, kalau persoalan krisis kemudian presiden menggunakan UU lain, atau kewenangan lain seperti perppu, itu urusan presiden," ujarnya di gedung parlemen kemarin. RUU JPSK disusun pemerintah sejak 2005. Protokol yang mengatur mekanisme fasilitas pembiayaan darurat untuk meneguhkan peran Bank Indonesia (BI) sebagai lender of last resort serta penyelamatan di saat krisis tersebut telah melalui jalan panjang. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) JPSK pernah dirilis pada September 2008 untuk menghadapi krisis kala itu. Namun, dua setengah bulan kemudian DPR menolak menyetujuinya menjadi undang-undang. Hal tersebut sekaligus menimbulkan komplikasi pada dasar hukum penanganan krisis ketika itu, termasuk keputusan bailout terhadap Bank Century (kini Bank Mutiara). RUU JPSK lantas diajukan lagi oleh pemerintah. Namun, hingga periode pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY)-Jusuf Kalla berakhir pada 2009, RUU tersebut gagal disepakati. Pada masa pemerintahan SBY-Boediono, pembahasan RUU JPSK juga gagal mendapat persetujuan parlemen. Menkeu Bambang P.S. Brodjonegoro menyatakan, pihaknya mengaku puas dengan kesepakatan dalam RUU PPKSK. Menurut dia, bentuk kesepakatan tersebut sudah cukup optimal. Proses menuju titik temu sudah melalui berbagai pertimbangan, baik teknis maupun politis. Isi RUU tersebut telah disesuaikan dengan tren global saat ini yang berbeda dengan krisis 2008. Jika pada masa itu kebijakan bailout menjadi opsi utama, semangat global saat ini mengarah ke bailin. "Di 2016, karena kita ada di G20 (grup negara di daftar teratas kue ekonomi terbesar, Red), praktis kata bailout tidak pernah diucapkan. Semuanya bicara mengenai bailin," katanya. Dalam mekanisme bailin, yang lebih ditekankan adalah penguatan sektor keuangan itu sendiri. "Kita (lebih baik, Red) mencegah daripada mengobati," katanya. Anggota Dewan Komisioner Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) Destry Damayanti lantas menjelaskan mekanisme penyelamatan bank saat terjadi krisis. Apabila ada bank sakit, BI tetap menjadi  "dokter" yang pertama. Bank sentral akan menilai adakah masalah likuiditas (modal cukup tapi tak punya dana segar) atau solvabilitas (modal tak cukup menutupi kewajiban). "Jika masalahnya adalah likuidias, harus ke BI. Nanti BI berikan bantuan," tuturnya. Jika permasalahan bank belum bisa terselesaikan, alur selanjutnya masuk ke Otoritas Jasa Keuangan (OJK). OJK akan meminta pemilik bank menyelesaikan permasalahan dengan menyuntikkan modal sendiri (bailin). OJK juga berkoordinasi dengan Lembaga Penjamin Simpanan (LPS). Dengan begitu, LPS mampu menganalisis sejak dini berbagai kemungkinan yang bisa terjadi. Jika tetap demam, bank yang bersangkutan masuk kategori bank gagal. "Lalu, bank gagal akan dibedah," kata Destry. LPS akan menghitung aset bank gagal tersebut. "Nanti kalau dia kewajibannya Rp 100 miliar tapi asetnya Rp 80 miliar, LPS kasih suntikan modal," jelas Destry. Jika masih belum bisa diselamatkan dan stabilitas sistem keuangan juga amburadul akibat krisis atau dana LPS tidak mencukupi, lembaga itu berhak meminta adanya pertemuan dengan anggota Koordinasi Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK). Anggota KSSK meliputi Kemenkeu, BI, dan OJK. Dari situ, setiap anggota akan memberikan tanggapan. Tanggapan tersebut akan dijadikan rekomendasi yang diberikan kepada presiden. Apabila presiden merasa harus melakukan suntikan modal dengan menggunakan APBN, opsi selanjutnya adalah peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perppu). Ditemui di tempat yang sama, Kepala Eksekutif LPS Fauzi Ichsan menegaskan bahwa hingga kini CAR (rasio kecukupan modal) perbankan di Indonesia cukup sehat. Yakni, 21 persen hingga 22 persen. Itu jauh di atas indikator kesehatan bank yang 8 persen. "Belum ada risiko krisis perbankan. Belum ada risiko bank sistemik yang gagal. Masih jauh lah," ujarnya. Bank yang telah ditutup LPS didominasi bank perkreditan rakyat (BPR) yang memiliki modal minim. Ketua Dewan Komisioner OJK Muliaman D. Hadad menambahkan, sebagai langkah awal pelaksanaan RUU PPKSK, OJK akan membuat daftar bank yang masuk kategori sistemik atau biasa disebut domestic systemically important banks (D-SIBs). "Ini bertujuan mengelompokkan bank yang bisa berdampak terhadap stabilitas sistem keuangan. Nanti ada kriteria standar apa saja yang sudah kami tetapkan," ujarnya. Bank yang masuk kategori sistemik, antara lain, bank dengan skala operasi yang besar, bermodal besar, hingga anak usaha yang melakukan operasi di bidang lain. Skala bank juga bukan satu-satunya indikator. "Tapi, juga interkoneksinya dengan lembaga keuangan lain. Juga uniqueness-nya, apakah ada penggantinya atau tidak. Nanti jadi satu set kriteria yang akan kami hasilkan," urainya. Daftar tersebut akan dievaluasi setiap enam bulan sekali. Dia juga menyebut hingga kini ada sekitar 20 bank yang tergolong bank sistemik. Namun, dia belum memerinci lebih detail kriteria-kriteria yang ditentukan. Sesuai amanat UU PPKSK, OJK wajib merampungkan daftar bank yang masuk D-SIBs dalam waktu tiga bulan. (dee/ken/c10/sof)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: