Dua Buronan Kelas Kakap Ditangkap di AS, IPW: Sejauh Ini Para Jenderal Masih Slow Saja

Dua Buronan Kelas Kakap Ditangkap di AS,  IPW: Sejauh Ini Para Jenderal Masih Slow Saja

Neta S Pane JAKARTA – Indonesia Police Watch (IPW) kembali mendapatkan kabar yang cukup mengejutkan. Yakni tertangkapnya dua buronan kelas kakap di Amerika Serikat (AS) oleh kepolisian setempat. Sayangnya kabar ini tidak begitu menggegerkan, terlebih Polri bersikap slow respon terhadap informasi yang didapat. ”Ada dua buronan tapi pihak Polri masih slow-slow saja menyikapinya. Tidak heboh seperti saat memburu Joko Tjandra. Padahal kedua buronan ini lebih merugikan banyak orang dan jumlah uang yang dikemplangnya lebih besar,” ungkap Ketua Presidium IPW Neta S. Pane kepada Fajar Indonesia Network (FIN) Senin (3/8). Ya, informasi yang diperoleh IPW dari AS menyebutkan bahwa ada dua buronan Indonesia yang masuk dalam Red Notice yang sudah diketahui keberadaannya di AS dan sudah berhasil ditangkap pihak imigrasi AS (ICE). ”Ini ada apa,” tandasnya. Kedua buronan itu, jelas-jelas masuk Red Notice sejak tahun 2018. ”Kami sedang koordinasikan untuk bisa dibawa pulang ke Indonesia. Doakan bisa kita lakukan segera ya, sebab masih ada hambatan dari pihak AS disini,” ungkap sumber IPW. Kedua buronan kakap itu adalah Indra Budiman dan Sai Ngo NG. Kasus Indra Budiman adalah kasus penipuan dan money laundering terkait penjualan Condotel Swiss Bell di Kuta Bali. Sedangkan Sai Ngo NG terlibat kasus korupsi pengajuan 82 KUR fiktif ke Bank Jatim Cabang Woltermonginsidi Jakarta. Kedua kasus itu terjadi pada Mei 2015. Dalam kasus Indra Budiman, rekannya Christopher Andreas Lie berhasil ditangkap oleh Subdit Fiskal Moneter dan Devisa Ditreskrimsus Polda Metro Jaya pada Mei 2015. Kasus ini terungkap setelah keduanya diketahui menipu 1.157 orang dengan kerugian Rp 800 miliar. Pelaku dan rekannya Indra Budiman melakukan penipuan dengan membuat perusahaan konsultan properti yang menjual apartemen dan condotel dengan harga Rp1 miliar lebih. Ada 12 properti yang mereka jual. PT Royal Premier Internasional bentukan keduanya menawarkan properti dikemas dengan program investasi emas dan asuransi. ”Iming-iming yang dilancarkan adalah balik modal di tahun ke-10 hingga ke-15. Nasabah juga mereka janjikan keuntungan, cash back sebesar dua persen, dan mendapatkan hadiah kendaraan mewah,” ungkap Neta yang dipertegas dalam keterangan resminya. Dalam kasus ini, lanjut Neta, Christopher melakukan kontrak pembelian dengan developer atas nama korban, namun tidak membayarkan uang customer sepenuhnya. Korban tersebar di Jakarta, Bandung, Bali dan Jogjakarta. Sebagian uang digunakan untuk trading dan investasi, sebagian lagi untuk membeli rumah, tanah dan kendaraan pribadi. Saat Christofer tertangkap, Indra berhasil kabur ke Korea Selatan dan kemudian ke AS hingga tertangkap. ”Kita upayakan barter dgn buronan AS yang sudah ditangkap oleh Polda Bali minggu lalu,” kata Neta menegaskan sumber IPW tersebut. ”Sayangnya, hingga saat ini jenderal-jenderal Mabes Polri belum merespon penangkapan dua buronan kakap di AS. Rupanya para jenderal Mabes Polri masih terpukau dengan penangkapan Joko Tjandra,” pungkas Neta. Terpisah, Direktur Legal Culture Institute (LeCI) M Rizqi Azmi mengatakan penangkapan Joko Tjandra menjadi momentum penting membongkar kasus korupsi Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) dan Bank Bali. ”Ini adalah momen penting yang harus dimanfaatkan Kapolri dan Jaksa Agung membongkar kasus korupsi kelas kakap BLBI dan Bank Bali yang selama ini selalu menemui jalan buntu secara hukum dan politik di DPR,” kata Rizqi. Ia menyatakan Joko Tjandra adalah salah satu kunci untuk membongkar pelaku-pelaku lainnya dan mengambil kembali aset negara yang telah dirampas dan dicuri oleh white collar crime. Terhadap Djoko Tjandra, kata dia, Polri dan Kejaksaan Agung harus bertindak tegas dalam eksekusi kasus lama dan penegakan terhadap kasus tindak pidana yang baru saja dilakukannya sebagai residivis. Ia mengemukakan Joko Tjandra sebagai seseorang koruptor berdasarkan putusan Mahkamah Agung (MA) pada 2009 harus menjalani hukumannya yang setimpal, mulai dari segala itikad buruknya sewaktu masih menjadi buronan. ”Serta kejahatan baru yang merupakan tindak pidana dalam pemalsuan surat (termasuk penyuapan birokrasi), penipuan, kejahatan lintas negara ditambah dengan pemberatan pidana sebagai residivis sampai dengan permufakatan jahat dengan oknum aparat penegak hukum dan birokrat,” tuturnya. Ia menjelaskan secara delik pidana, Djoko Tjandra sebagai koruptor yang melarikan diri dapat diberikan pemberatan hukuman sesuai Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi. Kemudian dijerat dengan Pasal 263 ayat 1 juncto Pasal 378 KUHP dengan ancaman 6 tahun penjara dikaitkan dengan pemalsuan dan penipuan berupa penerbitan surat berharga yang dapat menimbulkan kerugian. ”Dalam yurisprudensi tetap perlakuannya disebut intelectuele valsheid atau pemalsuan secara intelektual yang menimbulkan kerugian bagi kepentingan masyarakat,” ucap Rizqi. Sementara terkait residivis dan itikad buruk yang berkenaan dengan pasal di atas dapat dikenakan juga ketentuan Pasal 486 KUHP dengan penambahan sepertiga hukuman terutama terkait kasus tindak pidana baru Joko Tjandra yang belum lewat lima tahun. (fin/ful)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: