PGRI Mundur dari Program Organisasi Penggerak (POP) Kemendikbud, Program Organisasi Penggerak Dinilai Banyak K

PGRI Mundur dari Program Organisasi Penggerak (POP) Kemendikbud, Program Organisasi Penggerak Dinilai Banyak K

Ketua Umum Pengurus Besar PGRI, Unifah Rosyidi JAKARTA - Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) menyatakan mundur dari Program Organisasi Penggerak (POP) Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud). Dengan demikian, langkah itu menyusul Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah yang sebelumnya mengambil keputusan serupa. Ketua Umum Pengurus Besar PGRI, Unifah Rosyidi mengatakan, bahwa keputusan ini berdasarkan pertimbangan yang matang dengan menyerap aspirasi dari anggota dan pengurus dari daerah melalui rapat koordinasi bersama pengurus PGRI Provinsi seluruh Indonesia, perangkat kelengkapan organisasi, badan penyelenggara pendidikan dan satuan pendidikan PGRI. Beberapa pertimbangan keputusan PGRI tersebut, bahwa alokasi anggaran untuk POP yang mencapai setengah triliun lebih rupiah itu, harusnya bermanfaat apabila untuk membantu siswa, guru atau honorer, penyediaan infrastruktur di daerah khususnya di daerah 3T demi menunjang pembelajaran jarak jauh (PJJ) karena pandemi Covid-19. "PGRI menilai anggaran negara sekitar Rp 500 miliar yang dialokasikan untuk POP, lebih baik digunakan untuk menangani permasalahan pendidikan yang terdampak Covid-19," kata Unifah di Jakarta, Jumat (24/7). https://radarbanyumas.co.id/pjj-sulit-diterapkan-di-daerah-terpencil/ Selain itu, PGRI memandang pemerintah perlu berhati-hati dalam menggunakan anggaran POP. Mengingat waktu pelaksanaan yang sangat singkat, PGRI berpendapat program tersebut tidak dapat dilaksanakan secara efektif dan efisien. "Mengingat waktu pelaksanaan yang sangat singkat, kami berpendapat bahwa program tersebut tidak dapat dilaksanakan secara efektif dan efisien, serta menghindari berbagai akibat yang tidak diinginkan di kemudian hari," ujarnya. Terlebih pihaknya menilai, bahwa seleksi kriteria pemilihan dan penetapan peserta program organisasi penggerak tidak jelas. "PGRI memandang bahwa perlunya prioritas program yang dibutuhkan dalam meningkatkan kompetensi dan kinerja guru melalui penataan pengembangan dan mekanisme keprofesian guru berkelanjutan," imbuhnya. https://radarbanyumas.co.id/kemendikbud-meluncurkan-program-guru-penggerak/ PGRI berharap, Kemendikbud memberikan perhatian yang serius dan sungguh-sungguh pada pemenuhan kekosongan guru akibat tidak ada rekruitmen selama 10 tahun terakhir, memprioritaskan penuntasan penerbitan SK guru honorer yang telah lulus seleksi PPPK sejak awal 2019, membuka rekruitmen guru baru dengan memberikan kesempatan kepada honorer yang memenuhi syarat, dan perhatian terhadap kesejahteraan honorer yang selama ini mengisi kekurangan guru dan terdampak pandemi. "Dengan pertimbangan di atas, kami mengharapkan kiranya program POP untuk tahun ini ditunda dulu," tegasnya. Senada, Anggota Dewan Pengawas Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI), Retno Listyarti menilai, bahwa Program Organisasi Penggerak (POP) menuai kontroversi. Untuk itu, ia pun meminta POP tahun ini dibatalkan. "Saya menyarankan, agar program ini dievaluasi atau dibatalkan sebelum dananya terlanjut dicairkan. Ini jangan-jangan buang-buang uang negara," katanya. Retno menuturkan, POP yang didanai dari APBN sebesar Rp 567 miliar sangat menuai kontroversi. Pertama, mundurnya tiga organisasi besar, yakni Muhammadiyah, Nahdlatul Ulama, dan PGRI. Kedua, lolosnya Yayasan Bhakti Tanoto (Tanoto Foundation) dan Yayasan Putera Sampoerna, yang mana merupakan yayasan milik perusahaan raksasa. "Ketiga, pelatihan yang diberikan juga dinilai sama-sama tidak jelas. Pada POP, kata Retno, banyak pelatihan yang tak relevan dengan tujuannya," ujarnya. Parahnya lagi, lanjut Retno, ditemukannya salah satu poin pelatihan yang dinilai sanagat tidak relevan. Ia menemukan, ada program Bahasa Inggris untuk bayi. Padahal, program ini untuk peningkatan keterampilan guru dan kepala sekolah. Dalam dokumen hasil evaluasi proposal POP yang dirilis Direktorat Jenderal Guru dan Tenaga Kependidikan Kemendikbud, memang ditemukan organisasi yang lolos dengan mengajukan proposal berjudul "Baby Method English". "Lolosnya proposal semacam itu menandakan adanya ketidakberesan dalam proses seleksi. Ini menunjukkan ketidakmampuan, memang tidak profesional dalam melakukan seleksi. Saya melihat seleksi ini asal-asalan," tegasnya. Kejanggalan juga tercatat pada total 156 organisasi masyarakat (ormas) yang lolos POP. Jika dijabarkan, sebanyak 28 ormas di antaranya masuk kategori Gajah, 43 ormas kategori Macan, dan 1.112 ormas kategori Kijang. Namun, apabila dikalkulasikan, anggaran yang dibutuhkan seluruhnya mencapai Rp800 miliar. "Sedangkan anggaran dari Kemendikbud hanya Rp595 miliar. Ini patut jadi pertanyaan, ini perlu penjelasan Kemendikbud," kata Wakil Sekretaris Jenderal FSGI, Fahriza Tanjung, dalam diskusi daring. Menurut Fahriza, berbagai kejanggalan ini harus segera dituntaskan Kemendikbud. Jika tidak, program tersebut malah dimanfaatkan pihak tertentu untuk melakukan tindakan koruptif. Untuk itu, ia meminta KPK dan Bahkan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) melakukan pengawasan dan pemeriksaan guna menelisik anggaran untuk POP tersebut. "Kami minta KPK dilibatkan dalam penggunaan dan pelaproan anggaran. Kami juga minta BPK untuk memeriksa dan mengawasi anggaran POP di lingkungan Kemendikbud," tegasnya. Sebelumnya, Direktur Jenderal Guru dan Tenaga Kependidikan Kemendikbud, Iwan Syahril menjelaskan, bahwa dalam POP memiliki tiga skema pembiayaan. Tiga skema tersebut adalah murni Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), pembiayaan mandiri, dan dana pendamping (matching fund). "Pembiayaan POP dapat dilakukan secara mandiri atau berbarengan dengan anggaran yang diberikan pemerintah. Organisasi dapat menanggung penuh atau sebagian biaya program yang diajukan," kata Iwan. Iwan menambahkan, Kemendikbud tetap melakukan pengukuran keberhasilan program melalui asesmen dengan tiga instrumen. Pertama, asesmen kompetensi minimum dan survei karakter (SD/SMP). Kedua, instrumen capaian pertumbuhan dan perkembangan anak (PAUD). "Ketiga, pengukuran peningkatan motivasi, pengetahuan, dan praktik mengajar guru dan kepala sekolah," ujarnya. Selain itu, kata Iwan, proses seleksi yayasan atau organisasi yang memilih skema pembiayaan mandiri dan matching fund juga dilakukan dengan kriteria yang sama dengan para peserta lain yang menerima anggaran negara. "Dengan menggandeng organisasi atau yayasan yang fokus di bidang pendidikan, Kemendikbud ingin meningkatkan kontribusi finansial di bidang yang menyentuh seluruh masyarakat Indonesia," pungkasnya. (der/fin)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: