Dapat Hibah Rp 20 Miliar dari Kemendikbud, DPR RI Akan Panggil Tanoto dan Sampoerna Foundation

Dapat Hibah Rp 20 Miliar dari Kemendikbud, DPR RI Akan Panggil Tanoto dan Sampoerna Foundation

ILUSTRASI Mendikbud Nadiem Makarim JAKARTA - Tanoto Foundation dan Sampoerna Foundation secara mengejutkan memperoleh dana hibah Rp20 miliar per tahun dari Kementerian dan Kebudayaan (Kemendikbud). Dua entitas itu memperoleh kucuran dana karena masuk dalam Program Organisasi Penggerak (POP). Komisi X DPR RI akan memanggil kedua yayasan tersebut. "Kami segera akan memanggil kedua yayasan tersebut," ujar Ketua Komisi X DPR RI Syaiful Huda di Jakarta, Kamis (23/7). Dia mempertanyakan Tanoto Foundation dan Sampoerna Foundation sebagai mitra Organisasi Penggerak. Menurutnya, jika kedua yayasan perusahaan tercantum dalam POP, maka otomatis akan mendapatkan dana dari pemerintah. Program ini sebenarnya merupakan upaya melibatkan entitas-entitas masyarakat yang bergerak di bidang pendidikan dalam meningkatkan kapasitas tenaga pendidik di Indonesia. Untuk mendukung program itu, Kemendikbud mengalokasikan anggaran hampir Rp559 miliar. Anggaran tersebut dibagikan guna membiayai pelatihan yang dilaksanakan organisasi masyarakat terpilih. Dari data tersebut, lanjut Huda, diketahui Sampoerna Foundation dan Tanoto Foundation termasuk di antara 156 organisasi yang lolos sebagai Organisasi Penggerak. Mereka masuk Organisasi Penggerak dengan Kategori Gajah. Untuk kategori ini organisasi penggerak bisa mendapatkan alokasi anggaran hingga Rp20 miliar per tahun. Sasaran lebih dari 100 sekolah. Baik jenjang PAUD/SD/SMP. "Organisasi yang terpilih dibagi kategori III. Yaitu Gajah, Macan, dan Kijang. Untuk Gajah dialokasikan anggaran maksimal Rp20 miliar per tahun. Kemudian Macan Rp5 miliar per tahun. Terakhir Kijang Rp1 miliar per tahun," ucapnya. Huda juga mendesak Kemendikbud membuka kriteria seleksi POP ke publik. "Selain Tanoto Foundation dan Putera Sampoerna Foundation, juga banyak entitas baru di dunia pendidikan lolos seleksi program. Padahal tidak jelas rekam jejaknya," terang Huda. Akibatnya, lembaga Pendidikan (LP) Ma’arif PBNU dan Majelis Pendidikan Dasar-Menengah PP Muhammadiyah mundur dari kepesertaan program itu. Menurutnya, publik perlu tahu alasan mengapa satu entitas pendidikan lolos dan entitas lainnya tidak," tukasnya. Hasil seleksi POP, kata Huda, banyak mendapat respons negatif publik. Buktinya lembaga pendidikan milik PBNU dan PP Muhammadiyah mundur dari program tersebut. "Kita tahu LP Ma’arif PBNU dan Majelis Pendidikan PP Muhammadiyah merupakan dua entitas dengan rekam jejak panjang di dunia pendidikan Indonesia. Pengunduran diri NU dan Muhammadiyah dari program ini menunjukkan jika ada ketidakberesan dalam proses rekruitmen POP," urainya. Dia mengatakan Kemendikbud tidak bisa memandang remeh mundurnya LP Ma’rif PBNU dan Majelis Pendidikan Muhammadiyah dari POP. "Bayangkan saja lembaga pendidikan NU dan Muhammadiyah itu mempunyai jaringan sekolah yang jelas. Tenaga pendidik yang banyak, hingga jutaan peserta didik. Jika mereka mundur lalu, POP mau menyasar siapa," tuturnya. Kemendikbud, terang Huda, tidak bisa beralasan jika proses seleksi diserahkan kepada pihak ketiga. Sehingga mereka tidak bisa ikut campur. Menurutnya Kemendikbud tetap harus melakukan kontrol terhadap mekanisme seleksi. Termasuk proses verifikasi di lapangan. "Pendidikan merupakan salah satu pilar kehidupan bangsa. Keberadaannya telah eksis sejak sebelum kemerdekaan. Kita akan dengan mudah bisa membedakan mana entitas pendidikan yang telah berpengalaman, mana entitas pendidikan yang baru eksis dalam empat lima tahun terakhir," tandasanya. Politisi PKB itu menjelaskan seleksi POP seharusnya memiliki keberpihakan kepada ormas yang punya rekam jejak panjang di dunia pendidikan. Hal senada disampaikan Wakil Sekretaris Jenderal Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) Satriwan Salim. Menurutnya dana POP lebih baik digunakan untuk membantu pelaksanaan pendidikan jarak jauh (PJJ) di tengah pandemi COVID-19. "Dari pada membantu yayasan perusahaan, lebih baik dana Organisasi Penggerak yang mencapai setengah triliun itu digunakan membantu pelaksanaan PJJ," ujar Satriwan Salim. Dia menjelaskan lebih dari 46.000 sekolah tidak bisa melakukan PJJ karena infrastruktur yang tidak memadai. Tak hanya di daerah tertinggal, terluar dan terdepan (3T). Tetapi juga di Jabodetabek. Dia mengaku terkejut Tanoto Foundation dan Sampoerna Foundation lolos program untuk kategori gajah. "Kami menduga ada potensi kepentingan karena Dirjen GTK Kemendikbud pernah menjadi salah satu dekan di bawah salah satu yayasan perusahaan tersebut. Begitu juga di Tanoto Foundation," paparnya. Menurutnya, jangan sampai publik menilai ada konflik kepentingan terkait penetapan dua organisasi perusahaan tersebut. Dia menilai anggaran lebih dari setengah triliun itu akan sia-sia. Pasalnya apa yang bisa digerakkan saat pandemi COVID-19. "Saat ini semuanya berlangsung secara online. Akan sia-sia jika memberikan dana ke organisasi kemasyarakatan saat pandemi begini," imbuh dia. Dia menilai lebih baik anggaran itu digunakan untuk membantu pelaksanaan PJJ. Karena masih banyak anak yang tidak bisa belajar karena pandemi COVID-19. Terpisah, Wakil Ketua MPR RI Hidayat Nur Wahid mengingatkan agar jangan mengabaikan peran Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah sebagai penggerak pendidikan di Indonesia. Dia menyebut perlu ada kritik terhadap POP Kemendikbud yang lemah dalam proses verifikasi dan validasi. Akibatnya, muncul penolakan dari Muhammadiyah dan NU. Hidayat menyebut dua organisasi massa terbesar di Indonesia itu telah berjasa dalam menggerakkan dan mengelola pendidikan di Indonesia. "Kemendikbud harus mendengarkan masukan dari masyarakat. Termasuk Muhammadiyah dan NU. Terutama yang menyatakan bahwa program dengan total anggaran Rp595 Miliar tersebut seharusnya melibatkan lembaga yang kredibel dan telah terbukti berkontribusi memajukan pendidikan di Indonesia. Anggaran penggerak pendidikan jangan hanya sekedar hibah. Apalagi untuk pihak swasta yang belum jelas kontribusinya di bidang pendidikan. Pemerintah harusnya lebih hati-hati soal pemakaian APBN,” tegasnya. Hidayat menegaskan mundurnya Muhammadiyah dan NU dari program tersebut harus menjadi evaluasi serius. Dugaan ada yang tidak beres dalam proses dan pengambilan keputusannya, juga perlu dicermati. (rh/fin)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: