Tantangan Pemulihan Ekonomi Di Tengah Covid-19

Tantangan Pemulihan Ekonomi Di Tengah Covid-19

Teti Rohatiningsih, S.Sos.* Coronavirus Desease (Covid)-19 saat ini telah dinyatakan sebagai pandemi global. Berdasarkan data yang ditampilkan Worldometer, tanggal 26 Mei 2020, tercatat sebanyak 213 negara telah terserang wabah. Kasus positif Covid-19 secara global berjumlah 5.590.376 orang. Yang meninggal mencapai 347.915 orang. Sedangkan yang sembuh berjumlah 2.366.700 orang. Dari angka-angkat tersebut, kasus penderita sembuh menunjukkan trend meningkat. Di antara 213 negara, Amerika Serikat menempati urutan pertama dengan jumlah 1.706.226 kasus. Pada sisi lain, data yang disajikan pemerintah Indonesia tertanggal 26 Mei 2020 menyebutkan terdapat 216 negara telah terserang wabah. Menurut data tersebut, kasus positif global terkonfirmasi berjumlah 5.307.298 orang, dan yang meninggal 342.070 orang. Kasus positif di Indonesia sendiri ditemukan berjumlah 22.750 orang, yang sembuh 5.642 orang, dan meninggal 1.391 orang. Menurut Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, Covid-19 dapat menyebabkan seseorang mengalami gejala ringan seperti batuk, pilek, sakit tenggorokan, dan demam. Sebagian besar kasus bahkan dapat pulih tanpa harus mendapat perawatan khusus, dan 1 dari 6 orang kemungkinan menderita sakit parah. Orang berkategori usia lanjut, termasuk bagi yang memiliki riwayat medis sebelumnya semisal diabetes, tekanan darah tinggi, dan penyakit jantung menjadi lebih rentan mengalami perburukan. Penyebaran Covid-19 sendiri dapat terjadi melalui tetesan kecil (droplet) dari mulut atau hidung ketika seseorang batuk atau bersin. Droplet juga dapat menempel pada benda. Sehingga ketika seseorang memegang benda yang terkontaminasi droplet, kemudian ia menyentuh hidung, mulut atau mata, orang tersebut dapat terinfeksi. Inilah alasan mengapa seseorang perlu mencuci tangan setelah menyentuh sesuatu, apalagi benda yang disentuh berada di ruang publik. Penularan juga dapat terjadi ketika seseorang menghirup droplet dari penderita ketika ia melakukan kontak langsung. Karena penderita penyakit bisa tidak menunjukkan gejala, akhirnya menjadi alasan mengapa seseorang perlu menjaga jarak kurang lebih 1 meter dengan orang lain. Respon Dunia Terhadap Covid-19 Sejak dilanda Covid-19, masyarakat dunia akhirnya menjadi familiar dengan istilah social distancing, physical distancing dan lockdown, sebagai respon terhadap Covid-19 yang dianggap berbahaya karena sifat transmisinya yang cepat dan lebih mudah dibanding SARS yang pernah melanda dunia tahun 2003. Lebih jauh, virus ini bahkan dapat mengancam keselamatan nasional. Sehingga tiap-tiap negara akhirnya mengambil tindakan sebagai respon. Di Wuhan, Provinsi Hubei-China, tempat pertama kali ditemukannya Covid-19, pemerintah mengambil langkah me-lockdown Wuhan. Lockdown—yang dikenal di Indonesia sebagai Karantina Wilayah menurut terminologi Undang-Undang Kekarantinaan Kesehatan—diambil pemerintah China ketika kasus ini semakin mewabah. Filipina juga menerapkan lockdown sebagai respon. Bahkan bagi pelanggar ketentuan lockdown, akan dikenakan hukuman berupa denda dan kurungan. Di Italia, penerapan lockdown dikabarkan membawa hasil penurunan kurva harian, sebagaimana disampaikan oleh Kepala Institut Kesehatan Instituto Superiore di Sanità yang dikutip dari Reuters (6/4). Masih banyak lagi negara yang merespon Covid-19 dengan melakukan lockdown, misalnya India, Spanyol, Mongolia, dan lain sebagainya. Selama diberlakukannya lockdown, warga wajib mengisolasi diri di rumah. Dunia usaha, perkantoran, termasuk fasilitas publik ditutup sementara. Hal ini berdampak pada penurunan produksi yang berimbas penurunan pertumbuhan ekonomi masing-masing negara. Opsi lockdown sebenarnya bukan satu-satunya pilihan. Foreign Policy (23/3) memuat laporan bahwa Korea Selatan lebih memilih model pemeriksaan massal sebagai cara efektif mengatasi wabah. Islandia dan Taiwan juga tidak mengambil langkah lockdown dan memilih pemeriksaan massal dalam merespon virus. Covid-19 berdampak pada penurunan sektor produksi, dan membuat banyak perusahaan memilih merumahkan bahkan mem-PHK pekerja. Ini berarti angka pengangguran akhirnya meningkat dan berpotensi menjadi masalah sosial. Situasi inilah yang membuat banyak negara kemudian memilih melonggarkan lockdown di mana sektor produksi diharapkan dapat kembali naik dan lapangan kerja menjadi terbuka. Termasuk untuk menghindari ketegangan sosial yang dapat memicu krisis politik. World Economic Outlook bulan April melaporkan bahwa ekonomi global diproyeksikan berkontraksi tajam hingga -3% pada tahun 2020. Tantangan Pemulihan Ekonomi Banyak pihak mendesak agar Indonesia melakukan lockdown sebagaimana yang dilakukan negara-negara lain. Namun pemerintah lebih memilih mengambil langkah Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB). Langkah ini diambil setelah mempertimbangkan kondisi lingkungan strategis di Indonesia seperti geografis, demografis, karakter budaya, pendidikan, kedisiplinan dan kemampuan fiskal, tanpa mengabaikan pelajaran yang diambil dari cara negara lain menghadapi pandemi. Alasan lainnya karena pemerintah masih menginginkan aktivitas ekonomi masyarakat tetap berjalan dengan menjaga prinsip social distancing dan physical distancing. Ini berbeda dengan lockdown yang berarti menghentikan seluruh aktivitas masyarakat secara total, termasuk menghentikan pergerakan sarana transportasi publik dan privat. Bagi pemerintah, hingga saat ini masih belum ada formulasi kebijakan yang efektif dalam menanggulangi pandemi. Atas alasan tersebut, Indonesia tidak dapat serta merta mengikuti cara kerja negara lain begitu saja. Pemerintah berdalih, banyak negara melakukan lockdown, namun belum dapat menyelesaikan penyebaran virus di tengah situasi ekonominya yang lesu. Ekonomi Indonesia sendiri pada kuartal I-2020 tumbuh hanya sebesar 2,97% sebagaimana disampaikan Badan Pusat Statistik. Maka tidak heran dalam situasi tekanan ekonomi, beberapa negara mencoba menerapkan pelonggaran terhadap lockdown. Pelonggaran lockdown diambil atas pertimbangan karena terjadi penurunan angka pasien baru. Sedangkan negara lainnya mempertimbangkan faktor ekonomi, sekalipun trend pasien baru meningkat. Italia misalnya akhirnya memperbolehkan sebagian besar tempat usaha, termasuk bar dan salon buka kembali setelah lebih dua bulan tutup. Di Indonesia, rencana pelonggaran PSBB juga akan dilakukan. Opsi relaksasi itu tentu bisa diambil, namun sebaiknya ada syarat yang perlu diperhatikan sebagaimana yang dikemukakan oleh World Health Organization (WHO). Pertama, penularan penyakit terkendali. Kedua, sistem kesehatan dapat mendeteksi, menguji, mengisolasi, dan merawat setiap kasus dan melacak setiap kontak. Ketiga, resiko hotspot diminimalkan di tempat-tempat rentan, seperti panti jompo. Keempat, sekolah, tempat kerja, dan tempat-tempat penting lainnya telah menetapkan langkah-langkah pencegahan. Kelima, resiko imported case dapat dikelola. Keenam, masyarakat sepenuhnya dididik, dilibatkan, dan diberdayakan untuk hidup dibawah keadaan normal baru. Di Indonesia, keenam syarat tersebut masih belum terlihat. Maka rencana untuk pelonggaran sebaiknya dipertimbangkan kembali. Menggenjot pertumbuhan ekonomi memang penting, namun resiko tertular virus juga masih besar. Kecuali langkah-langkah pengendalian virus sudah terukur, sehingga masyarakat memiliki kepastian dan siap menjalani kehidupan new normal. Mengenai Covid-19, WHO menyampaikan bahwa virus ini tidak akan bisa hilang sekalipun kurva positifnya menurun. Berakhirnya virus juga belum dapat diprediksi. Artinya, memaksakan pelonggaran PSBB tanpa pengendalian virus yang terukur memiliki resiko terbukanya potensi gelombang kedua wabah Covid-19. Anthony Fauci, direktur National Institute of Allergy and Infectious Diseases, sebagaimana dikutip dari Business Insider (14/5) mengemukakan bahwa gelombang kedua infeksi Covid-19 tidak terhindarkan. Maka, jika pelonggaran PSBB dilakukan, dan resiko gelombang kedua infeksi virus terjadi, pelonggaran justru berakibat kontra-produktif dari maksud menaikkan pertumbuhan ekonomi, karena akan semakin banyak biaya dikeluarkan dalam menangani resiko. Untuk itu, sebelum benar-benar melaksanakan pelonggaran PSBB, prinsip-prinsip seperti kehati-hatian, cermat dan teliti dalam pengendalian penyebaran virus harus dapat dilakukan. Idealnya, fungsi PSBB adalah mengendalikan wabah. Namun, jika PSBB dilakukan tidak terukur, kebijakan akhirnya menjadi sia-sia. Ketika penanganan virus tidak terukur, apalagi muncul inisiatif pelonggaran PSBB, dikhawatirkan bukan pertumbuhan ekonomi nasional yang didapat, pelonggaran justru akan mengantarkan Indonesia mengeluarkan semakin banyak biaya, bersamaan dengan virus yang tidak kunjung terkendali. Pada sisi lain, masyarakat dituntut turut berpartisipasi dalam pengendalian wabah dan dapat berdisiplin dalam menjalankan protokol kesehatan, khususnya ditempat-tempat keramaian seperti pasar tradisional, pasar modern, sekolah, tempat peribadatan, taman publik, dan lain-lain, sehingga masyarakat dapat hidup berdampingan dengan upaya pemulihan ekonomi di tengah Covid-19. Sebab menurut banyak pemodelan, wabah covid-19 belum akan berakhir dalam waktu singkat, atau setidaknya selama belum ditemukannya vaksin. Pilihan terbaiknya adalah masyarakat secara aktif berpartisipasi dalam pengendalian virus dan membiasakan diri dengan kultur lingkungan baru selama situasi mewabahnya Covid-19. Jika semua telah dijalankan, kita baru dapat berbicara mengenai new normal sebagai exit strategy. *Penulis adalah seorang ibu rumah tangga, pemerhati sosial.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: