Jokowi Tunda Revisi UU KPK

Jokowi Tunda Revisi UU KPK

[caption id="attachment_99697" align="aligncenter" width="840"]grafis-jokowi grafis-jokowi[/caption] Luhut : Usai Sosialisasi, Lanjut JAKARTA- Bola panas rencana revisi Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sementara bakal mendingin, namun tidak padam. Itu seiring keputusan pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) untuk menunda pembahasan revisi. Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengatakan, pemerintah menghargai dinamika politik di DPR terkait rencana revisi UU KPK. Karena itu, setelah berdiskusi dengan pimpinan DPR, dia menyatakan sebaiknya revisi tersebut tidak dibahas saat ini. ''Jadi ditunda,'' ujarnya dengan suara datar, usai bertemu pimpinan KPK di Istana Merdeka kemarin (22/2). Dalam pertemuan kemarin, presiden diantaranya didampingi Menkopolhukam Luhut Binsar Panjaitan dan Menkumham Yasonna Laoly. Adapun dari DPR hadir Ketua DPR Ade Komarudin, wakil ketua DPR Fadli Zon, Agus Hermanto, Fahri Hamzah, Taufik Kurniawan, serta pimpinan fraksi di DPR. "Tadi suasana pertemuannya santai," kata Jokowi. Meski santai, namun aroma tarik ulur masih terasa kuat, sehingga waktu pertemuan yang diawali makan siang pukul 12.30 pun molor. Biro Pers Istana Presiden sempat memberitahukan, presiden dan pimpinan DPR akan mengadakan konferensi pers pada pukul 13.00 atau 13.30, karena pembicaraan dilangsungkan bersamaan dengan makan siang, sehingga tidak ada pertemuan lanjutan usai makan siang. Namun kenyataannya, pembicaraan baru selesai sekitar pukul 15.00 WIB. Gairah untuk merevisi UU KPK memang masih terpancar kuat dari parlemen. Karena itu, meski ada pernyataan bahwa revisi UU KPK ditunda, Ketua DPR Ade Komarudin buru-buru mengatakan jika kesepakatan dengan pemerintah adalah menunda pembicaraan. "Tapi, tidak menghapus (revisi UU KPK) dari daftar Prolegnas 2016," ujarnya. Politikus Golkar yang biasa disapa Akom itu mengatakan, keputusan penundaan pembahasan revisi UU KPK diambil bukan karena tekanan pihak manapun. Namun, semata memberi waktu bagi pemerintah dan DPR untuk sosialisasi ke publik. "Kami tetap yakin empat poin yang diusulkan sesungguhnya sangat bagus untuk memperkuat KPK,"katanya. Empat poin yang dimaksud adalah pembentukan Dewan Pengawas KPK, aturan izin penyadapan kepada Dewan Pengawas KPK, kewenangan KPK untuk mengangkat penyidik independen, serta aturan Surat Perintah Peghentian Penyidikan (SP3). Menurut Akom, sejak awal pemerintah dan DPR memiliki niat untuk merevisi. Namun, yang terjadi adalah penyebaran informasi yang simpang siur kepada publik. seolah revisi itu bertujuan melemahkan KPK. padahal, lanjut politikus Partai Golkar itu, substansinya justru menguatkan. Bahkan, Akom mengklaim rencana sudah ada kesepahaman mengenai revisi tersebut dengan pimpinan KPK sebelumnya. "Tidak mungkin tidak bagus kalau tidak mendapatkan kesepahaman dari pimpinan KPK sebelumnya," lanjut mantan ketua Fraksi PArtai Golkar di DPR itu. Menkopolhukam Luhut Binsar Panjaitan menambahkan, presiden juga sudah menyatakan jika revisi memang diperlukan untuk memperkuat KPK. Namun, derasnya gelombang penolakan di masyarakat juga tak luput dari perhatian presiden. "Tadi presiden bilang dengan arif, ngapain kita memaksakan sesuatu yang belum waktunya untuk matang," ujarnya. Karena itu, kata Luhut, pemerintah akan mengundang seluruh pihak, baik yang pro maupun kontra revisi UU KPK untuk berdiskusi, terutama terkait empat poin yang menjadi bahasan utama revisi. "Sebab, selama ini masih ada perbedaan di masyarakat soal itu," jelasnya. Luhut mengatakan, pembahasan revisi UU KPK memang sempat memicu simpang siur di masyarakat. Misalnya, karena awalnya muncul beberapa poin seperti rencana pembatasan umur KPK hingga 12 tahun, penetapan batas dugaan korupsi minimal Rp 50 miliar untuk bisa diusut KPK, serta keharusan izin pengadilan untuk proses penyadapan. ''Padahal, pemerintah sudah menyatakan tidak mau yang itu, kita akan fokus pada empat poin saja,'' katanya. Luhut pun kembali menegaskan jika empat poin tersebut justru bakal menguatkan KPK. Terkait kewenangan SP3 dan keberadaan Dewan Pengawas yang dinilai melemahkan, Luhut membantah. "Berkali-kali saya katakan, tidak (memperlemah),'' ucapnya. Untuk SP3, Luhut menyebut jika kewenangan itu diberikan kepada komisioner KPK jika tersangka meninggal, paralyzed (lumpuh), atau jika ternyata ditemukan bukti baru dalam proses penyidikan. ''Itu (SP3) mereka yang berikan, bukan presiden atau siapa,'' jelasnya. Adapun untuk penyadapan yang harus izin Dewan Pengawas, Luhut juga mengklarifikasi. Dia menyebut, tidak benar jika KPK harus mendapat izin Dewan Pengawas sebelum melakukan penyadapan. ''Fungsinya post audit, lha bagaimana kalau tidak ada yang mengaudit,'' ujarnya. Post audit adalah  istilah auditor untuk pemeriksaan kemudian, yakni pemeriksaan yang dilakukan setelah kegiatan selesai. Karena itu, Luhut meyakini jika sosialisasi dan diskusi sudah dilakukan, publik bakal memahami perlunya revisi untuk memperkuat KPK. Dalam waktu dekat, dirinya bersama Menkumham Yasonna Laoly akan mengundang tokoh-tokoh seperti para rektor, aktivis antikorupsi seperti ICW, dan lain-lain. ''Nanti kita adu argumentasi,'' ucapnya. KPK Apresiasi Penundaan Wajah puas terpancar dari pimpinan KPK setelah mendengar adanya keputusan Presiden menunda pembahasan revisi UU KPK. "Terima kasih, kami sangat mengapresiasi," ucap Wakil Ketua KPK Laode M. Syarif saat menerima kunjungan rombongan komisi III DPR. Komisioner KPK lainnya, Alexader Marwata mengungkapkan pimpinan KPK telah memberikan masukan pada presiden terkait hal-hal yang penting bagi lembaga tersebut. Misalnya terkait penyadapan yang selama ini sudah dilakukan audit. Disampaikan juga mengenai SP3 yang selama ini tetap bisa dilakukan KPK ketika seorang tersangka sakit berat dan meninggal. Dalam kasus tertentu KPK juga pernah melimpahkan perkara ke Kejaksaan dan lembaga adhyaksa itu yang mengeluarkan SP3. ''Jadi masih ada cara untuk melakukan SP3 tapi yang tidak langsung dilakukan KPK,'' terangnya. Ketua KPK Agus Raharjo menambahkan, revisi UU KPK sepenuhnya ada di tangan presiden dan DPR. ''Sejak awal kami berharap revisi sebaiknya dilakukan saat IPK (Indeks Persepsi Korupsi) kita diangka 50,'' ungkapnya. Pengamat Sebut Revisi Tak Mendesak Mantan anggota tim pansel KPK Yenti Ganarsih menuturkan, dia pernah mengingatkan bahwa revisi itu belum mendesak sekali untuk dilakukan. Dia juga menawarkan untuk ditinjau kembali urgensi revisi tersebut apabila nanti tetap akan dilakukan. Juga, dipikirkan benarbenar persoalan yang ada di setiap pembuatan UU. Di antaranya, penerimaan masyarakat, untung ruginya merevisi UU tersebut. harus dilihat apakah ada masalah dengan KPK sehingga revisi itu perlu dilakukan. Sebaliknya, jangan juga muncul pemikiran bahwa penundaan tersebut karena ada gertakan dari ketua KPK. ’’Itu nggak benar juga, pembuatan undang-undang kok berdasarkan gertakan,’’ tuturnya. Yang perlu diperhatikan adalah masukan-masukan yang konstruktif, bukan berdasarkan emosi. Berbahaya juga apabila terlalu memperhatikan gerakan yang pokoknya mendorong atau pokoknya menolak. Sebab, UU harus diupayakan bersifat permanen. "Istilah kami, jangan sampai ada panic regulation," lanjut Doktor bidang pencucian uang itu. GERAKAN penolakan revisi UU KPK yang dilakukan masyarakat makin masif. Tak hanya oleh mahasiswa dan penggiat anti korupsi dari lembaga swadaya masyarakat. Namun juga melibatkan beragam profesi, dari artis sampai guru besar. Fenomena itulah yang setidaknya tercermin dari serangkaian kegiatan di Jakarta, kemarin (22/2). Misalnya, grup band Slank yang menyuarakan penolakan revisi UU KPK dengan menggelar konser mini di pelataran Gedung KPK. Band yang menyatakan dukungan terhadap pencalonan Jokowi - Jusuf Kalla itu seolah menagih komitmen presiden dalam pemberantasan korupsi. Kaka, salah satu personel Slank mengatakan, dirinya tetap berkomitmen mendukung kerja KPK. "Kami tetap anti korupsi dan terus mendukung KPK," teriak Kaka. Beberapa lagu sempat dilantunkan Slank bersama dengan para pegawai dan pimpinan KPK.  (owi/byu/dyn/gun)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: