KPU Usul Tersangka Dilarang Ikut Pilkada

KPU Usul Tersangka Dilarang Ikut Pilkada

    JAKARTA- Kasus sengketa rencana pelantikan Bupati dan Wakil Bupati Simalungun, Sumatera Utara memberikan pembelajaran bagi penyelenggara pemilu. Komisi Pemilihan Umum (KPU) berencana menyiapkan aturan guna melarang tersangka mencalonkan diri dalam Pilkada. Komisioner KPU, Hadar Nafis Gumay mengatakan, rencana pelarangan itu dilakukan untuk mengantisipasi kerumitan seperti di Simalungun. Sebab, meski status tersangka belum memberikan kekuatan hukum utuh, hal itu berpotensi menciptakan masalah. Baik saat pencalonan maupun masa sesudahnya. "Kalau ini kita berikan ruang, tapi dalam perjalanannya dia punya putusan yang inkrah, ya akhirnya mengacaukan," ujarnya di Kantor KPU Jakarta, kemarin (19/2). Sebagaimana diketahui, Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo menolak untuk melantikan Bupati dan Wakil Bupati Simalungun yang dijadwalkan Maret. Pasalnya, Calon Wakil Bupati, Amran Sinaga ditetapkan sebagai terpidana kasus perizinan hutan saat masih menjabat sebagai Kepala Dinas Kehutanan Kabupaten Simalungun. Sebagaimana UU Nomor 23 tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah, seseorang yang berstatus terdakwa dilarang menjadi kepala pemerintahan. Selain itu, lanjutnya, pembatasan itu juga dinilai penting untuk menciptakan pemilu yang berkualitas bagi masyarakat. Di mana, masyarakat bisa memilih calon-calon terbaik, tanpa dinodai dengan kecacatan hukum. Pasalnya, kehadiran paslon tersangka ikut bersumbangsih menimbulkan rasa apatis pemilih. Hadar juga menegaskan, rencana pelarangan itu tidak diartikan sebagai bentuk perampasan hak warga negara. Sebab jika proses hukum sudah clear, dia memastikan yang bersangkutan bisa kembali mengajukan pendaftaran di Pilkada berikutnya. "Sekalipun udah pernah (dipenjara red), sepanjang udah tuntas selesai proses hukumnya, toh bisa mencalonkan juga," imbuhnya. Ditanya soal teknisnya, KPU mengkonsepkan agar semua informasi tentang paslon akan dibuka ke publik untuk meminta masukan sebelum ditetapkan. "Di Pilkada selama ini kan belum ada," kata mantan aktivis pengawas pemilu itu. Selain itu, KPU juga akan mengatur lebih jauh kriteria ukuran berperilaku baik yang ada dalam persyaratan. Sebab, surat yang dikeluarkan kepolisian dirasa belum cukup. Misalnya dengan mengecek putusan-putusan pengadilan terdahulu. Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) menyambut baik rencana tersebut. Pasalnya, selain cacat secara moral, status tersangka juga akan membatasi ruang paslon untuk mengikuti setiap tahapan pemilu. "Proses komunikasi dengan pemilih tidak optimal karena menjalani proses hukum yang menjeratnya," kata Titi saat dihubungi. Apalagi, jika nanti terpilih, kinerjanya sebagai kepala daerah dipastikan tidak akan maksimal. Terkait potensi kriminalisasi untuk mengganjal pencalonan oleh lawannya, Titi menilai itu bukan ancaman yang patut dirisaukan. Sebab, di era keterbukaan informasi, kontrol publik atas aksi tersebut sangat besar. Oleh karenanya, lanjut Titi, kepolisian atau kejaksaan justru akan rugi jika memaksakan diri untuk memenuhi keinginan oknum tertentu untuk memuluskan keinginan politiknya. "Apalagi saat ini polisi tengah berupaya memperbaiki citranya di mata masyarakat," terangnya. Pernyataan senada juga disampaikan Kordinator Nasional Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat (JPPR) Masykurudin Hafidz. Dia menilai, pelarangan terhadap calon tersangka merupakan usulan yang positif. Terpilihnya lima kepala daerah yang berstatus tersangka pada pilkada 2015 memberikan kecacatan tersendiri. Sementara itu, Direktorat Jenderal Otonomi Daerah Kementerian Dalam Negeri, Soni Sumarsono mengatakan, pihaknya masih mengkaji teknis pelantikan Bupati Simalungun. Namun dia memastikan untuk tidak meloloskan Wakil Bupati, Amran Sinaga. "Wong gubernur tersangka saja harus  diberhentikan sementara, apalagi terpidana (belum dilantik red)," ujarnya di Kantor Badan Pengembangan Sumber Daya Manusia (BPSDM) Kemendagri, Jakarta. Hingga kemarin, lanjutnya, ada dua cara yang masih dipertimbangkan untuk melantik Bupati. Pertama dengan hanya melantik bupatinya saja. Kedua, Keduanya dilantik, tapi sehari kemudian wakil bupati dicopot. "Ini kan masih dibahas terus. Ini belum dibuat keputusan," kata Soni. Untuk memutuskan hal tersebut, pihaknya masih mendiskusikan dengan Mendagri Tjahjo Kumolo. DPR Enggan Tanggapi Dikonfirmasi terpisah, Ketua Komisi II DPR belum bersedia menanggapi terlalu jauh terkait poin-poin revisi UU Pilkada yang menjadi inisiatif pemerintah. Menurut dia, idealnya revisi UU Pilkada cukup mengakomodasi rekomendasi-rekomendasi yang disampaikan lembaga peradilan. "Kalau yang logis itu poin putusan di MA (Mahkamah Agung, red), MK (Mahkamah Konstitusi, red) itu diakomodasi. Nggak perlu lagi ada perdebatan," kata Rambe. Menurut Rambe, dengan waktu tahapan yang makin dekat, sebaiknya pemerintah segera mengirimkan draf revisi UU Pilkada kepada pimpinan DPR. Pimpinan DPR sudah memutuskan bahwa Komisi II akan mewakili parlemen dalam pembahasan bersama Menteri Dalam Negeri. "Kita tunggu sampai akhir bulan ini lah dari pemerintah," ujarnya. Inisiatif revisi UU Pilkada, kata Ketua DPP Partai Golkar itu, ada baiknya memang dirumuskan pemerintah. Sebab, pemerintah dinilai bisa lebih cepat dalam merancang draf. Sementara di DPR rancangan draf sebuah revisi UU bisa memunculkan dinamika yang memakan waktu. "Kalau kita rumuskan antar partai, bisa lebih panjang. Kita riil saja, prosedural saja membahasnya," tegasnya. Dia berharap, pembahasan revisi UU Pilkada juga bisa berjalan cepat. Sebab, KPU sudah menetapkan tahapan pilkada serentak 2017 sudah dimulai sekitar bulan Juni. Sementara masa persidangan DPR saat ini akan berakhir pada 14 Maret mendatang.     "Jadi paling lambat (pembahasan) satu bulan lah, April bisa selesai. Soal data pemilih, silahkan pemerintah jalan," tandasnya. (far/byu/bay)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: