Media Massa Jangan Lebay

Media Massa Jangan Lebay

grafisPuncak Hari Pers, Jokowi Minta Media Tebar Optimisme LOMBOK- Media massa dipandang perlu banyak pembenahan. Setidaknya, hal itu tercermin dari banyaknya kritik terhadap media massa. Termasuk dari Presiden Joko Widodo saat peringatan puncak Hari Pers di Pantai Kuta, Lombok, kemarin (9/2). Peringatan puncak Hari Pers kemarin berlangsung meriah. Seluruh perwakilan organisasi wartawawan hadir, mulai PWI, AJI, IJTI, hingga SPS dan Forum Pemred. Pemilik dan tokoh senior media massa juga tampak hadir. Beberapa di antaranya, James Riady, Hary Tanoesoedibjo, Karni ilyas, Dahlan Iskan, dan Surya Paloh. Presiden Jokowi sendiri kemarin datang bersama rombongan setelah pada peringatan HPN 2015 absen. Tampak Mendagri Tjahjo Kumolo, Menpora Imam Nahrawi, Menkominfo Rudiantara, menpar Arief Yahya, mendikbud Anies Baswedan, dan Menko PMK Puan Maharani. Tampak pula Ketua MPR Zulkifli Hasan dan Ketua DPR Ade Komarudin. Dalam kegiatan kemarin, Presiden mengingatkan agar media massa tidak lebay dalam menyampaikan informasi kepada masyarakat. Sebab, saat ini yang diperlukan masyarakat adalah informasi yang bisa membangun optimisme. Di situlah media diharapkan memiliki peran yang besar. Presiden menuturkan, seringkali media menggiring opini publik agar pesimistis terhadap kemajuan bangsa. Ditambah lagi, sebagian media terjebak pada berita-berita yang sensasional. Berita-berita tersebut menurut Presiden tidak mengganggu dirinya, namun sebaliknya justru sangat mengganggu rakyat. "Bayangkan, ada berita, Indonesia Diprediksi Akan Hancur, coba bayangkan. Dan ini bukan kali pertama," ujarnya. Dari judul saja, sudah membuat orang menjadi pesimistis dan terbebani. "Ada yang lebih serem lagi, Indonesia Akan Bangkrut, Jokowi-JK akan ambyar," lanjut mantan Gubernur DKI Jakarta itu. Selama masih ada judul berita semacam itu, tuturnya, maka yang akan muncul adalah pesimisme. Etos kerja tidak akan terbangun, karena yang muncul di pemberitaan adalah hal-hal yang tidak produktif. Ancaman lainnya adalah distrust (hilang kepercayaan). Padahal di era kompetisi dan persaingan antarnegara seperti saat ini, yang dibutuhkan adalah membangun kepercayaan. Dari sisi konten media, secara khusus Jokowi menyoroti dua jenis media, yakni televisi dan online. Televisi didorong agar mampu membangkitkan nasionalisme. Salah satunya, dengan menayangkan lagu-kebangsaan dan lagu-lagu nasional. Jokowi memberi catatan jangan hanya di malam hari penayangannya. "Kalau sudah jam 12 (malam) atau jam 1 baru muncul lagu itu biasanya, saya mintanya di prime time," ucap Presiden 54 tahun itu. Untuk media online, cukup banyak kritik yang diberikan. Khususnya, ambisi media online untuk menjadi yang tercepat dalam memberitakan. Kepatuhan terhadap kode etik jurnalistik seringkali diabaikan karena ingin cepat. "Sehingga beritanya menjadi tidak akurat, tidak berimbang, campur aduk antara fakta dan opini. Kadang-kadang menghakimi seseorang," imbuh mantan Wali Kota Solo itu. Dulu, pers banyak ditekan oleh pemerintah. saat ini, kondisinya berbalik. Pemerintah yang ditekan oleh pers. Lalu siapa yang akan menekan pers, menurut Jokowi adalah industri pers sendiri sebagai dampak dari persaingan. "Saya harap pers tetap dipercaya sebagai pilar keempat demokrasi kita," tambahnya. Keprihatinan senada disampaikan Ketua Dewan Pers Bagir Manan. Secara khusus, dia mengapresiasi kritik terbuka dari Jokowi terhadap pers. Kesabaran Presiden dalam menghadapi tekanan dari pers selama memerintah juga dipuji. Bagir meminta agar insan pers tetap konsisten mengawal demokrasi di tengah banyaknya tantangan. Mulai korupsi hingga persoalan terorisme. "Sepanjang hal itu dilakukan dengan mengikuti standar jurnalistik dan etika profesionaisme, semuanya akan diterima dengan baik," tutur mantan Ketua MA itu. Dalam kesempatan tersebut, Bagir berpamitan karena masa jabatannya akan segera habis. Pansel yang dibentuk Dewan Pers sudah memilih sembilan nama yang akan mengisi kepengurusan Dewan Pers sampai 2019 mendatang. Dari unsur wartawan, ada Hendry Chaeruddin Bangun, Nezar Patria, dan Ratna Komala. Kemudian, dari unsur pimpinan perusahaan pers ada Ahmad Djauhar, Jimmy Silalahi, dan Reva Deddy Utama. Perwakilan tokoh masyarakat diisi, Imam Wahyudi, Sinyo Hary Sarundajang, dan Yosep Adi Prasetyo."Kalau tidak ada catatan, kami akan serahkan nama-nama tersebut kepada bapak Presiden," lanjutnya. Sementara itu, Ketua Umum Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI) Yadi Hendriana mengatakan, dunia pertelevisian tanah air memang sedang mendapatkan tantangan yang cukup besar. Dia menuturkan di sekolah, anak-anak dididik oleh guru. "Tetapi di rumah, anak-anak dididik oleh TV," katanya di HPN 2016 di Mataram. Pemimpin Redaksi MNC TV itu menjelaskan dengan kondisi itu, TV memang sejatinya menjadi sumber pendidikan. TV yang sudah menjadi bagian dari keluarga, harus bisa memunculkan sisi atau fungsi edukasinya. Namun sayangnya kondisi yang terjadi hampir di semua TV Indonesia belum seideal itu. Yadi mengatakan dalam mengisi konten tayangannya, TV masih mengacu pada rating. Pengukuran rating itu diantaranya disajikan oleh lembaga periset rating Nielsen. "Sementara selama ini tayangan yang ratingnya tinggi tidak lepas dari konten atau isi kriminalitas dan seks,"ujarnya. Ketika TV-TV Indonesia mati-matian mengejar rating, yang berdampak pada iklan itu, maka seruan dari masyarakat maupun pemerintah bakal susah di dengar. Selain itu kontrol dan fungsi pengawasan dari Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) juga bakal tumpul. Satu tayangan divonis KPI tidak boleh tayang, maka akan muncul tayangan sejenis dengan nama dan wujud baru. Tetapi isinya sama, karena bisa mengatrol rating TV bersangkutan. Dalam peringatan HPN kemarin, sejumlah MoU berkaitan dengan pers. Di antaranya, MoU kewirausahaan dan koperasi bagi wartawan, peningkatan kompetensi, hingga pelatihan jurnalistik kepariwisataan. Beberapa menteri ikut menandatangani MoU tersebut, seperti Menpar Arief Yahya dan Menteri Koperasi dan UKM AAGN Puspayoga. (byu/wan)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: