Mesranya KPK dan Polri

Mesranya KPK dan Polri

Bikin URC, Tawari BKO Penyidik JAKARTA- Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Polri mulai bergandengan tangan untuk pemberantasan korupsi. Saat pertemuan antara pimpinan KPK dan Kapolri Jenderal Badrodin Haiti di Mabes Polri kemarin (4/1), kedua lembaga bersepakat memberantas korupsi terutama di daerah. Lima pimpinan KPK datang ke Gedung Utama Mabes Polri sekitar pukul 15.00, yakni, Agus Rahardjo (Ketua KPK), Basaria Panjaitan, Alexander Marwata, Laode Muhammad Syarif, dan Saut Situmorang. Kapolri dan Wakapolri Komjen Budi Gunawan menyambut pimpinan KPK tersebut. Pertemuan tersebut berlangsung sekitar satu setengah jam. Agus Rahardjo menjelaskan, rencananya dalam waktu dekat, KPK dan Polri akan membentuk URC yang bertugas memberantas dan mencegah korupsi di daerah. Terutama, untuk pemerintah daerah (pemda) yang tingkat korupsinya tinggi. "Kan ada daerah yang berulang kali dan secara beruntun kepala daerahnya terkena kasus korupsi," paparnya. URC tersebut akan mempelajari apa penyebab terjadinya banyak korupsi di pemda tersebut. Tentunya, KPK tidak hanya bekerjasama dengan Polri, namun juga Kejaksaan Agung (Kejagung), Komisi Yudisial (KY), dan Mahkamah Konstitusi (MK). "Ini wujud upaya penindakan dan pencegahan korupsi," tuturnya singkat. Sementara Kapolri Jenderal Badrodin Haiti menuturkan, URC bakal meneliti sistem dari setiap pemda untuk meneliti apakah ada yang salah atau tidak. Kalau ditemukan adanya sesuatu yang salah, maka kewajiban dari unit tersebut untuk memberikan perbaikan sistem. "URC ini akan dibentuk dalam waktu dekat. Saat ini masih pembahasan," paparnya. Nantinya anggota URC merupakan gabungand dari Polri dan KPK. Ada sejumlah daerah yang sudah berulang kali tersandung kasus korupsi, seperti Sumatera Utara (Sumut) dan Riau. Salah satu yang akan dipelajari soal sistem dana bantuan sosial (Bansos). Sistem bansos yang akan dipelajari dari tingkat pelaksanaan, pengawasan, verifikasi, hingga pengucuran dana. "Dengan diketahui apa masalah dalam sistem bansos ini, maka ditargetkan masalah itu bisa diperbaiki. Harapannya, tidak ada lagi korupsi dalam bansos," tutur mantan Kapolda Jatim tersebut. Selain URC, Polri dan KPK juga membahas soal kemungkinan bekerjasama menyelesaikan penumpukan kasus di KPK. Selama ini dapat dipastikan kasus-kasus di komisi antirasuah itu sering kali tidak tertangani karena minimnya jumlah penyidik. "Penyidik dari Polri jumlahnya hanya 32 orang, itu jumlah yang tidak banyak, tuturnya. Untuk itu, ada satu cara yang ditawarkan Polri demi menyelesaikan penumpukan kasus di KPK. Yakni Polri memberikan bantuan kendali operasi (BKO) penyidik. Penyidik Polri ini akan ditugaskan membantu menangani berbagai kasus yang diinginkan KPK. Tapi, komando tetap ada dipimpinan KPK. "Saya sudah bicarakan ini ke pimpinan KPK," ujarnya ditemui di depan Gedung Utama. Penyidik Polri yang BKO ke KPK itu tidak memiliki batas waktu. Semua bergantung apakah kasus yang ditangani penyidik tersebut selesai atau belum. "Waktunya relatif, karena penanganan kasus itu bisa selesai cepat atau malah lama," paparnya. Badrodin memaparkan, KPK dan Polri memiliki kelemahan serta kelebihan masing-masing. Bila, KPK lemah dalam jumlah penyidik, tentu Polri akan membantu. Polri sendiri kewenangan pemberantasan korupsi juga terbatas. "Mengapa tidak dilakukan kerjasama untuk memanfaatkan kelebihan masing-masing lembaga," tegasnya. Sementara itu, Pakar Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) Yenti Ganarsih mengapresiasi pimpinan baru KPK yang mulai menggandeng kerjasama antarinstansi. Menurut dia, pemberantasan korupsi memang lebih efektif jika dilakukan bersama-sama. Apalagi KPK punya fungsi koordinasi dan supervisi yang selama ini terkesan kurang optimal. Yenti memberikan saran agar dalam menyusun roadmap, pimpinan KPK tetap menjadikan penindakan ada digarda depan pemberantasan korupsi. Menurut dosen Universitas Indonesia (UI) tersebut, penindakan sangat perlu untuk sebuah lembaga penegak hukum. "Penindakan yang profesional akan berefek juga terhadap pencegahan dan penjeraan," terangnya. Terkait bidang keahliannya, Yenti melihat penindakan pencucian uang yang dilakukan KPK selama ini masih kurang. Selama ini KPK nyaris tidak berani menjerat pelaku pencucian uang pasif. Selain itu, penjeratan pencucian uang ada yang masih dilakukan dengan menunggu kasus pidana asalnya berkekuatan hukum tetap atau inkracht terlebih dulu. "Dua-duanya (pidana asal dan pencucian uang) harus ada dalam dakwaan sejak awal," sarannya. Apalagi Indonesia sudah meratifikasi UNCAC 2003. Mengenai program pencegahan, Yenti melihat selama ini yang dilakukan KPK sudah bagus. Namun tetap perlu dilakukan evaluasi karena angka korupsi masih tinggi. Program-program pencegahan menurut Yenti harus melibatkan banyak stakeholder. Terutama instansi yang selama ini program-programnya masih berpotensi menimbulkan korupsi. (idr/gun/end)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: