Eks Sekretaris MA dan Menantunya Jadi Tersangka Suap

Eks Sekretaris MA dan Menantunya Jadi Tersangka Suap

JAKARTA – Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menetapkan tiga tersangka kasus dugaan suap dan gratifikasi penanganan perkara di Mahkamah Agung (MA) 2011-2016. Ketiga tersangka antara lain mantan Sekretaris MA Nurhadi, pihak swasta Rezky Herbiyono sekaligus menantu Nurhadi, dan Direktur PT Multicon Indrajaya Terminal (MIT) Hiendra Soenjoto. Wakil Ketua KPK Saut Situmorang mengatakan, penetapan ini merupakan hasil pengembangan perkara yang berasal dari operasi tangkap tangan (OTT) pada 20 April 2016. Dalam OTT itu, tim KPK berhasil mengamankan barang bukti Rp50 juta dan menetapkan Panitera Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat Eddy Nasution dan pihak swasta Doddy Ariyanto Supeno. “Setelah mencermati fakta-fakta yang berkembang di penyidikan dan persidangan, KPK menemukan bukti permulaan yang cukup dalam perkara suap terkait pengurusan perkara yang dilakukan sekitar tahun 2015-2016 dan gratifikasi yang berhubungan dengan jabatan dan berlawanan dengan tugas dan kewajibannya yang tidak dilaporkan dalam jangka waktu maksimal 30 hari kerja ke KPK,” kata Saut dalam jumpa pers di Gedung Merah Putih KPK, Kuningan, Jakarta, Senin (16/12). Saut menjelaskan, dalam kasus ini terdapat dugaan suap dan gratifikasi terkait dengan pengurusan tiga perkara di pengadilan. Pertama, suap terkait pengurusan perkara perdata antara PT MIT dan PT KBN. Pada 2010, PT MIT menggugat perdata PT KBN. Nurhadi, yang saat itu menjabat sebagai Sekretaris MA, memiliki menantu bernama Rezky Herbiyono. Pada awal 2015, Rezky menerima sembilan lembar cek atas nama PT MIT dari sang direktur Hiendra Soenjoto. Pemberian tersebut diduga terkait pengurusan perkara Peninjauan Kembali (PK) atas putusan kasasi nomor 2570 K/Pdt/2012 antara PT MIT dan PT KBN, proses hukum dan pelaksanaan eksekusi lahan PT MIT di lokasi milik PT KBN oleh PN Jakarta Utara agar dapat ditangguhkan. “Untuk membiayai pengurusan perkara tersebut, tersangka RHE (Rezky) menjaminkan delapan lembar cek dari PT MIT dan tiga lembar cek miliknya untuk mendapatkan uang dengan nilai Rp14 miliar,” tutur Saut. Akan tetapi, kemudian PT MTI mengalami kekalahan dalam persidangan. Lantaran pengurusan perkara tersebut gagal, maka Hiendra meminta kembali sembilan lembar cek yang pernah diberikan tersebut. Kedua, suap terkait perkara perdata sengketa saham di PT MIT. Dikatakan saut, pada 2015 Hiendra digugat atas kepemilikan saham PT MIT. Perkara perdata tersebut dimenangkan oleh Hiendra mulai dari tingkat pertama hingga banding di Pengadilan Tinggi (PT) DKI Jakarta pada Januari 2016. Pada periode Juli 2015 hingga Januari 2016 atau ketika perkara gugatan perdata antara Hiendra dan Azhar Umar sedang disidangkan di PN Jakarta Pusat dan PT DKI Jakarta, diduga terdapat pemberian uang dari Hiendra kepada Nurhadi melalui Rezky sejumlah total Rp33,1 miliar. Transaksi tersebut dilakukan sebanyak 45 kali. Pemecahan transaksi diduga sengaja dilakukan agar tidak mencurigakan karena nilainya yang begitu besar. Beberapa kali transaksi juga dilakukan melalui rekening staf Rezky. Pemberian ini diduga untuk memenangkan Hiendra dalam perkara perdata terkait kepemilikan saham PT MIT. Ketiga, gratifikasi terkait proses perkara di pengadilan. Saut menyatakan, Nurhadi diduga menerima sejumlah uang senilai total Rp12,9 miliar terkait penanganan perkara sengketa tamah di tingkat kasasi dan PK di MA dan permohonan perwalian melalui Rezky selama rentang Oktober 2014 hingga Agustus 2016. Penerimaan-penerimaan tersebut, kata Saut, tidak pernah dilaporkan oleh Nurhadi kepada KPK dalam jangka waktu 30 hari kerja terhitung sejak penerimaan terjadi. “Sehingga secara keseluruhan diduga NHD (Nurhadi) melalui RHE (Rezky) telah menerima janji dalam bentuk sembilan lembar cek dari PT MTI serta suap dan gratifikasi dengan total Rp46 miliar,” imbuh Saut. Saut mengungkap, penyidikan perkara ini dilakukan sejak 6 Desember 2019 lalu. Selama itu pula, sambung Saut, tim KPK telah meakukan sejumlah kegiatan terkait pengangan perkara ini. Kegiatan yang dimaksud antara lain mengirimkan Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan (SPDP) kepada para tersangka; menggeledah rumah Hiendra di Jakarta; menyita beberapa dokumen serta barang bukti elektronik dari hasil penggeledahan; memeriksa sembilan saksi dari unsur direktur utama beberaa perusahaan swasta, PNS, dan pegawai bank; serta mengirimkan surat pelarangan ke luar negeri kepada Ditjen Imigrasi Kemenkumham selama enam bulan ke depan terhitung sejak 12 Desember 2019. Atas perbuatannya, Nurhadi dan Rezky disangkakan melanggar Pasal 12 huruf a atau Pasal 12 huruf b subsider Pasal 5 ayat (2) lebih subsider Pasal 11 dan/atau Pasal 12B Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP. Sementara itu, Hiendra disangkakan melanggar Pasal 5 ayat (1) huruf a atau Pasal 5 ayat (1) huruf b subsider Pasal 13 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 jo Pasal 64 ayat (1) KUHP. (riz/gw/fin)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: