Ada Yang Menelepon sembari Rebahan di Dahan
[caption id="attachment_93530" align="aligncenter" width="100%"] KOMPAK: Para guru dan tenaga medis di Manasari, Distrik Mimika Timur Jauh. Butuh perjuangan tidak ringan bagi mereka untuk bisa sekadar menelpon keluarga atau orang-orang terdekat.
Sampe P. Sianturi/Radar Timika[/caption]
"Wartel Pohon Waru" ala Para Pemburu Sinyal di Mimika Timur Jauh
Untuk sekadar menelepon keluarga, para guru dan tenaga medis di Distrik Mimika Timur Jauh, Papua, harus berperahu dulu selama tiga jam. Biayanya patungan, sekaligus dimanfaatkan buat memancing.
SAMPE P. SIANTURI, Timika
DAUN waru memang simbol universal cinta. Tapi, kalau kemudian ada satu pohonnya yang menjadi tempat mengobral kerinduan nun di Mimika sana, penyebabnya bukan semata perkara lambang itu. Tapi lebih karena persoalan 'teknis".
Sebab, hanya di sanalah, di dahan-dahan pohon waru yang tumbuh di Pantai Omouga, Distrik Mimika Timur Jauh, Kabupaten Mimika, Papua, sinyal telepon bisa didapat. Itu pun masih butuh perjuangan. Triknya, begitu nyambung, jangan sampai bergerak agar sinyal tidak hilang. "Lumayan dapat tiga garis (sinyal, Red), sudah bisa menelepon keluarga, he he he," ujar Reki Tafre kepada Radar Timika (Jawa Pos Group).
Reki, kepala SMP Negeri Omouga, Manasari, Distrik Mimika Timur Jauh, memang termasuk pelanggan "warung telekomunikasi (wartel)" pohon waru tersebut. Tentu saja pria asal Fakfak, Papua Barat, itu tak sendirian menikmati "fasilitas" alam tersebut.
Wartel pohon waru itu biasa dia kunjungi bersama belasan rekan sesama tenaga pendidik. Juga para pekerja medis, baik dokter, perawat, maupun apoteker yang bertugas di distrik yang sama. Mayoritas berasal dari luar Papua.
Mimika Timur Jauh memang belum bisa ditembus sinyal telepon seluler. Distrik alias kecamatan tersebut bernaung di bawah kabupaten yang sejatinya memiliki kekayaan alam melimpah, yaitu Mimika. Di antara 12 distrik, salah satunya Tembagapura, tempat PT Freeport Indonesia beroperasi.
Namun, sebagaimana umumnya wilayah di penjuru Papua dan Papua Barat, fasilitas umum di Mimika Timur Jauh masih memprihatinkan. Dari Timika, ibu kota kabupaten, Mimika Timur Jauh hanya bisa dijangkau via jalur air selama dua jam. Pilihan lain adalah transportasi udara dengan helikopter sehingga otomatis sangat mahal dan terbatas.
Hanya telepon satelit yang bisa berfungsi di sana. Jadi, telepon seluler (ponsel) secanggih apa pun sehari-hari paling hanya digunakan untuk mendengarkan musik atau main game.
Padahal, mengutip sastrawan Eka Kurniawan, sebagaimana dendam, rindu juga harus dituntaskan. Jadilah Pantai Omouga yang masih masuk distrik yang sama menjadi tempat pelampiasan. Persisnya di salah satu titik di pantai itu: pohon waru tersebut.
"Sudah lama kami melakoni 'ritual' menelepon di Pantai Omouga. Pohon waru jadi saksinya, ha ha ha," kata Kepala SD YPPK Tillemans, Manasari, Emanuel Wolor.
Tentu saja "berkunjung ke pantai" di Papua tak sama dengan "berkunjung ke pantai di Jawa". Dibutuhkan perjuangan dan pengorbanan. Kendati satu kecamatan, untuk bisa sampai ke Omouga, para pemburu sinyal itu harus naik perahu bermesin tempel selama tiga jam.
Untuk itu, Reki, Emanuel, dan belasan rekan seperjalanan harus patungan buat membeli sekitar 30 liter bahan bakar dan upah motoris. Tak lupa, mereka membawa serta alat pancing.
"Kami anggap piknik saja. Syukur-syukur waktu memancing bisa dapat ikan dan bawa pulang," kata Emanuel, yang berasal dari Kupang, Nusa Tenggara Timur.
Sesampai di Omouga, segera saja para pemburu sinyal itu beraksi sendiri-sendiri. Mereka memilih batang yang paling nyaman untuk tempat menelepon. "Ada yang sambil duduk, ada pula yang sembari rebahan (di dahan, Red)," kata Reki.
Biasanya mereka menghabiskan waktu di tempat itu dengan menelepon berjam-jam atau sekalian internetan. Reki dkk betah berlama-lama karena suasana di sana sejuk. Pertimbangan lain, ya tentu biar tidak rugi. Masak sudah keluar duit tidak sedikit dan berperahu tiga jam, tapi hanya sayang-sayangan via telepon sepuluh menit?
"Kalau pergi pagi, kami pulang sore saja. Biasanya kan kami pergi Sabtu atau Minggu, jadi tidak mengganggu kerjaan," jelas Reki.
Waktu kepergian tak pasti. Kadang sekali dalam sepekan, kadang sekali dalam dua minggu. Bergantung dua hal. Pertama, ada yang sudah tidak dapat menahan rindu. Kedua, ada duit di kantong.
"Ya inilah hiburan kami. Setelah menyelesaikan pekerjaan seminggu, bertelepon ria dapat mengurangi kepenatan," kata Emanuel. Kendati, untuk bisa menelepon, mereka juga harus berpenat-penat dulu di atas perahu… (*/JPG/c11/ttg)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: