KPK Temukan Stempel Impor yang Diduga Palsu
JAKARTA- Kasus suap permohonan uji materi UU Peternakan dan Kesehatan Hewan yang menjerat hakim Mahkamah Konstitusi (MK) Patrialis Akbar semakin terang benderang. Hasil pemeriksaan tersangka yang dilakukan secara silang oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terkuak bahwa telah terjadi pertemuan untuk mencapai kesepakatan (meeting of mind) antara Patrialis dan Kamaludin, perantara suap.
Sebagaimana diketahui, KPK menangkap Kamaludin pada Rabu (25/1) pukul 10.00 di kawasan lapangan golf Rawamangun Jakarta Timur. Sebelum penangkapan di lokasi pertama itu, Kamaludin diduga bertemu dengan Patrialis di lokasi yang sama. Nah, di saat itu lah KPK menemukan indikasi meeting of mind. "Ketika itu indikasi transaksi terjadi," ujar Juru Bicara KPK Febri Diansyah, kemarin (30/1).
Di konteks kasus tersebut, operasi tangkap tangan (OTT) dilakukan KPK setelah peristiwa tindak pidana terjadi. "Kami sudah tahu ada pertemuan antara PAK (Patrialis) dan KM (Kamaludin) sebagai perantara, dan kami cek benar pada Rabu (25/1) pagi ada pertemuan," jelas Febri.
Tangkap tangan itu sesuai dengan ketentuan di Pasal 1 angka 19 UU Nomor 8/1981 tentang KUHAP. Dalam aturan itu, bukan hanya pelaku yang sedang melakukan tindak pidana saja yang bisa dilakukan OTT. Pelaku yang diduga turut melakukan tindak pidana sesaat setelah ditemukan barang bukti juga bisa dilakukan tangkap tangan.
Indikasi suap lewat OTT itu dikuatkan dengan barang bukti yang diamankan dari Kamaludin saat ditangkap. Yakni berupa draf putusan MK nomor 129/PUU-XIII/2015 yang dimohonkan perwakilan asosiasi peternak lokal, petani, pedagang, dan konsumen daging. "Tim sudah memastikan draf putusan yang sudah pindah tangan itu sama dengan draf putusan asli MK yang belum dibacakan," jelasnya.
Berdasar bukti permulaan dan keterangan Kamaludin itu penyidik memiliki alasan kuat melakukan OTT terhadap Patrialis di Grand Indonesia Jakarta Pusat pada Rabu (25/1) pukul 21.30 bersama seorang perempuan. Febri mengungkapkan, penangkapan itu juga dikuatkan dengan bukti dan keterangan tersangka lain yang didapat dari hasil OTT di lokasi kedua di kantor Basuki Hariman di kawasan Sunter, Jakarta Utara.
"Tiga tempat itu merupakan rangkaian dari peristiwa OTT," ungkap Febri. Di kantor PT Sumber Laut Perkasa milik Basuki, penyidik juga mengamankan sebuah dokumen keuangan perusahaan yang menunjukan adanya aliran uang yang dikeluarkan untuk menyuap Patrialis.
"Kami baru bisa mengamankan (Patrialis) di Grand Indonesia pada malam hari karena ingin memastikan indikasi transaksi (suap) terjadi," bebernya.
Penegasan kronologi OTT itu membantah pernyataan Patrialis yang merasa tidak bersalah atas kasus suap judicial review (JR) sejumlah pasal di UU Peternakan dan Kesehatan Hewan. Hal itu juga menegaskan bila kasus tersebut murni penegakan hukum. Bukan terkait dengan kepentingan politik atau agama tertentu yang ditudingkan sejumlah pihak pascapenangkapan Patrialis.
KPK mengungkapkan, hasil pemeriksaan silang tiga saksi tersangka, yakni Basuki Hariman, Ng Fenny dan Kamaludin kemarin terungkap bahwa suap dilatarbelakangi keinginan untuk mempengaruhi Patrialis agar mengabulkan sebagian uji materi UU Peternakan dan Kesehatan Hewan.
Hanya, Febri belum bisa menjelaskan pasal apa saja yang diingingkan Basuki untuk dikabulkan dan tidak dikabulkan MK. Sebagai catatan, dalam judicial review UU Peternakan dan Kesehatan Hewan itu terdapat 4 pasal yang dimohonkan untuk diuji. Yakni, pasal 36C ayat (1), 36C ayat (3), pasal 36D ayat (1) dan 36E ayat (1). Pasal-pasal itu berkaitan dengan impor ternak/produk hewan berbasis zona.
Selain mengungkap modus suap, penyidik KPK juga menemukan sejumlah bukti lain hasil pemeriksaan dan penggeledahan di sejumlah lokasi beberapa waktu lalu. Lokasi itu antara lain rumah tersangka Basuki di Pondok Indah Jakarta Selatan, rumah Patrialis di Cipinang Jakarta Timur, ruang kerja Patrialis di gedung MK dan kantor PT Sumber Laut Perkasa di Sunter Jakarta Utara.
Dari penggeledahan itu KPK menyita lebih banyak dokumen transaksi keuangan perusahaan lengkap dengan bukti elektronik (transfer) yang diduga berkaitan dengan kasus suap USD 20.000 dan voucher SGD 200.000 tersebut. Bukan hanya itu, lembaga antirasuah juga menemukan 28 stempel atau cap penanda identitas sejumlah kementerian serta organisasi dan lembaga internasional terkait importasi daging.
Febri merinci, ada dua kementerian yang tertulis dalam stempel itu. Yakni, Kementerian Pertanian (Kementan) tepatnya direktorat jenderal peternakan dan kesehatan hewan serta Kementerian Perdagangan (Kemendag). Ada pula stempel penanda label halal dari negara pengekspor daging untuk Indonesia. Seperti Australian Halal Food Service dan Islamic Coordinating Council of Victoria.
Beberapa cap juga tertulis Queensland (negara bagian Australia), Kanada dan Tiongkok. Stempel itu diduga kuat sengaja dibuat Basuki untuk melenggangkan bisnis impor daging di tanah air secara ilegal. Seperti pemalsuan dokumen impor daging dari India yang pernah menjeratnya pada 2004. "Seolah-olah cap atau stempel berasal dari negara-negara dan organisasi sertifikasi halal," tegas Febri.
Terkait temuan puluhan stempel mencurigakan itu, KPK bakal mendalaminya lebih lanjut. Penyidik akan menelusuri dugaan keterkaitan cap yang diduga palsu itu dengan kasus korupsi suap uji materi atau indikasi tindak pidana lain, seperti pemalsuan. "Pemanggilan (kementerian terkait) untuk dikonfirmasi apakah ada stempel kementan dan kemendag akan mempertimbangkan relevansinya."
Sementara itu, mantan Ketua MK Mahfud MD angkat bicara terkait kasus suap yang menyeret koleganya itu. Dia menyebut kasus tersebut merupakan proses hukum biasa. Pihaknya pun meminta masyarakat tidak mengaitkannya dengan masalah agama dan politik. Menurutnya, KPK memiliki patokan untuk melakukan OTT. "Ini kan sudah mau dibawa kemana-mana, seakan-akan ini untuk kepentingan parpol tertentu," tuturnya.
Mahfud mengatakan, tidak hanya Patrialis saja yang menjadi tersangka KPK dengan latarbelakang parpol. Dia mencontohkan nama-nama, seperti Damayanti dan Rio Capella yang juga ditetapkan tersangka. Keduanya merupakan politikus PDIP dan Nasdem. "Jadi ini tidak ada sesuatu pun yang diskriminasi. Tidak ada kaitannya dengan parpol. Lihat saja nanti proses pengadilannya," tandasnya. (tyo)