*) Oleh Dr. Darodjat, M. Ag, Kaprodi Magister Pendidikan Agama Islam Universitas Muhammadiyah Purwokerto
ABAD modern dengan berbagai kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi telah membawa kemajuan dan kemudahan dalam semua segi kehidupan. Namun demikian, abad ini juga telah membawa banyak nestapa kemanusiaan, bahkan abad ini oleh sebagian ilmuwan dijuluki sebagai abad kecemasan (the of anxiety), berbagai bencana dan kemelut yang meresahkan hampir di semua lini kehidupan. Orang banyak mengalami meaningless, dan kehampaan dalam kehidupannya, padahal semua fasilitas kehidupan terpenuhi dan serba mewah. Hal ini dikarenakan manusia telah mengabaikan dan mencampakkan persoalan mendasar yaitu agama, sehingga kebahagiaan yang diinginkannya menjadi fatamorgana dan tidak mungkin dapat dicapainya.
Konsep dan paradigma kebahagiaan bagi orang yang beriman telah digariskan secara jelas dan tegas dalam Al-Quran dan As-sunnah. Bahkan konsep bahagia menjangkau secara komprehensif, tidak hanya di dunia, namun juga di akhirat. Dalam tafsir Ibnu Katsir dijelaskan bahwa salah satu doa yang paling banyak dimohonkan oleh Rasulullah S.a.w.tercantum dalam surat al-Baqarah ayat 201: Rabbanaa aatinaa fiddunyaa hasanah, wafil akhirati hasanah, waqinaa ‘adzaabannaar (Ya Tuhan kami, berilah kami kebaikan (kebahagiaan) di dunia dan kebaikan (kebahagiaan) di akhirat dan peliharalah kami dari siksa neraka).
Bagaimana karakter orang berbahagia yang diungkap dalam Al-Quran? Dari sekian kata digunakan dalam al-Quran, misalnya ditemukan kata-kata fauz, aflaha, sa’adah, hasanah dan lainnya. Misalnya pada surat An-Nur: 31, artinya: “dan bertobatlah kamu semua kepada Allah, wahai orang-orang yang beriman, agar kamu beruntung/berbahagia (tuflihun)”. Pada surat Al-An’am ayat 16, artinya: “Barang siapa dijauhkan dari azab atas dirinya pada hari itu, maka sungguh, Allah telah memberikan rahmat kepadanya, dan itulah kemenangan/ kebahagiaan yang nyata (fauzul mubin)”. Pada surat Ali Imran ayat 104, artinya: Dan hendaklah di antara kamu ada segolongan orang yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh (berbuat) kepada yang ma'ruf dan mencegah dari yang munkar, dan mereka itulah orang-orang yang beruntung/bahagia (waulaaika humul muflihuun). Dan ayat -ayat lain yang tersebar dalam berbagai tempat dalam Al-Quran.
Dengan merenungi, menghayati, dan mengamalkan esensi dari ibadah puasa, maka kebahagiaan akan dapat diraih di dunia dan di akhirat. Karena esensi puasa adalah al-imsaaku ‘an al-syai, yaitu mengekang atau menahan diri dari sesuatu. Serta dalam pengertian terminologis/syara’, puasa adalah menahan diri dari makan, minum, jima’ (bercampur dengan istri) dan lain-lain yang telah diperintahkan untuk menahannya, sepanjang hari menurut cara yang disyariatkan. Bagi orang yang berpuasa disyariatkan untuk menahan diri dari ucapan yang diharamkan atau dimakruhkan.
Berdasarkan pada pengertian dan tuntunan tersebut, secara esensial, maka orang yang berpuasa sedang dididik oleh Allah sebagai Robbul ‘alamin, melalui madrasah ramadhan, agar orang yang beriman mampu mengendalikan dirinya, menjadi orang yang bersabar, bersyukur, sekaligus meningkatkan kesucian diri menuju martabat orang yang bertakwa, yaitu menjalankan perintah Allah dan menjauhi semua larangan-Nya dilandasi dengan iman dan ihtisab. Ketika jiwa orang beriman sudah disucikan oleh Allah dengan amal ibadah tersebut, dengan banyak melakukan kebaikan, dan meninggalkan semua larangannya, maka ia akan menjadi manusia yang berbahagia, memiliki akhlak luhur, banyak menebar manfaat bagi diri dan lingkungannya. Dalam hadis ditegaskan bahwa
“Puasa bukanlah hanya menahan makan dan minum saja, akan tetapi, puasa adalah dengan menahan diri dari perkataan lagwu dan rofats. Apabila ada seseorang yang mencelamu atau berbuat usil padamu, katakanlah padanya, “Aku sedang puasa, aku sedang puasa”.” (HR. Ibnu Majah dan Hakim). Ketika setiap orang berhasil mengendalikan dirinya, maka ia akan menjadi orang-orang yang berbahagia di dunia dan di akhirat. Sabda Nabi, “Bagi orang yang berpuasa itu ada dua kebahagiaan, berbahagia pada saat dia berbuka, berbahagia dengan puasanya itu dan pada saat ia berjumpa Rabb-nya (HR. Muslim)