Buntut penggunaan gas air mata di tragedi Kanjuruhan, anggaran pengadaan gas air mata di Korps Bhayangkara disorot. Tahun ini Polri merencanakan anggaran Rp 160,1 miliar untuk pengadaan gas air mata dan pelontarnya. Rencana pengadaan itu dinilai perlu dievaluasi.
Dalam situs lpse.polri.go.id diketahui, tahun ini akan dilakukan empat kali pengadaan gas air mata. Yang pertama, pengadaan peluncur gas air mata senilai Rp 41 miliar. Lalu, pengadaan amunisi gas air mata Rp 69,1 miliar.
Ketiga, pengadaan gas air mata kaliber 38 mm senilai Rp 20 miliar. Terakhir, pengadaan peluncur dan gas air mata seharga Rp 30 miliar. Dengan begitu, total tahun ini jumlah anggaran untuk gas air mata dan pelontarnya senilai Rp 160,1 miliar.
Dalam lima tahun belakangan sejak 2017 hingga 2021, Polri telah mengeluarkan anggaran Rp 790,7 miliar untuk pembelian gas air mata beserta kelengkapannya.
Ketua Indonesian Police Watch (IPW) Sugeng Teguh Santoso menjelaskan, terkait anggaran itu memang nilai totalnya terlihat besar. ”Tapi, saat dibagi untuk 30 polda dan lebih dari 400 polres menjadi kecil. Hanya sekitar Rp 3 miliar per Kasatwil,” paparnya.
Karena kecilnya anggaran tersebut, malah muncul dugaan bahwa gas air mata yang digunakan sudah kedaluwarsa. Karena itulah, kemudian perlu diinvestigasi benarkah gas air mata yang digunakan tersebut telah melewati batas kelayakan pemakaian. ”Kalau iya, tetap perlu evaluasi,” jelasnya.
Menurut dia, gas air mata sebenarnya merupakan standar normal kepolisian di seluruh dunia. Militer malah tidak memiliki gas air mata tersebut. ”Ini senjata yang digunakan untuk melumpuhkan, tapi tidak mematikan seperti di militer. Seharusnya seperti itu,” tuturnya.
Meski begitu, lanjut dia, problem utamanya adalah profesionalisme petugas di lapangan. Diketahui bahwa Kapolres telah menginstruksikan untuk tidak menggunakan kekerasan secara berlebihan. ”Bahkan mengaku tidak memerintahkan penembakan gas air mata,” terangnya.
Karena itu, profesionalisme petugas di lapangan perlu diperbaiki karena tidak mematuhi instruksi dari komandan yang berwenang di wilayah. ”Ini yang utama,” paparnya kemarin.
Dia mengatakan, sebenarnya juga terasa adanya kejanggalan dalam kasus tragedi Kanjuruhan. Sebab, hampir semua potensi kerawanan itu tidak ada, tidak ada suporter lawan dan bermain di kandang sendiri.
Karena itu, perlu didalami oleh intelijen. Sebab, bisa jadi ada operasi-operasi intelijen yang dilakukan untuk mendiskreditkan Polri. ”Terasa lho adanya operasi semacam ini, tapi sulit membuktikan kalau bukan dari intelijen,” urainya. (idr/c6/jpc)