Oleh Sugiman MPd - Alumni S2 PAI Universitas Muhammadiyah Purwokerto/Guru SMP Muhammadiyah Sumbang
Muhasabah mirip dengan interospeksi diri, menghitung-hitung diri untuk melakukan pemeriksaan terhadap diri kita sendiri, dengan menghitung kesalahan kita sekarang sebelum nanti Allah SWT yang menghitungnya kelak.
Dengan anggapan, kalau kita yang menghitungnya sekarang maka segala kesalahan-kesalahan itu masih bisa diperbaiki. Tapi kalau sudah Allah SWT yang menghitungya kelak, tinggalah pertanggungan jawab kita untuk menerima konsekuensi terhadap segala kesalahan yang kita lakukan selama di dunia.
Oleh karena itu, Rasulullah berpesan : Hasibu Anfusakum Qobla An Tuhasabu (“Hitung-hitunglah dirimu, sebelum Allah menghitungya”).
Bermuhasabah seraya menghayati apa yang kita laksanakan dengan cara kita ingat-ingat kembali masa-masa kehidupan kita dulu. Seperti menonton kembali film kehidupan kita mulai dari akhil baligh sampai sekarang, kesalahan apa sih yang sudah dilakukan selama ini.
Dengan membayangkan kembali masa-masa lalu kita sekarang, dihadapan kita sebelum film kehidupan itu sampai di hadapan Allah. Sehingga kalau ada adegah-adegan dalam film kehidupan tersebut yang tidak baik, masih kita bisa editing sekarang, karena pintu taubatnya masih terbuka.
Dengan demikian, kelak menjadi tontonan yang baik manakala di putar di hadapan Allah SWT. Kita selaku pemeran dalam film kehidupan tersebut merasa bahagia manakala mampu menyajikan tontonan yang baik.
Rasulullah SAW mengajarkan, ada empat cara yang bisa dilakukan untuk muhasabah, sehingga kita menjadi orang yang bahagia:
1. Dalam urusan materi pandangannya diarahkan ke bawah.
Dalam urusan dunia, lihatlah orang lain yang kehidupanya lebih rendah dari kita, sehingga timbul sukurnya dan luas hatinya. Andai kita punya mobil, syukuri karena bisa jadi orang lain hanya punya motor. Jika kita punya motor, syukuri sebab bisa jadi orang lain mungkin hanya punya sepeda.
Jika kita punya sepeda, syukuri karena ada orang lain yang tidak punya apa-apa, kemana-mana jalan kaki. Namun jika kita tidak punya apa-apa, syukuri karena masih bisa keman-mana jalan kaki, bisa jadi ada orang yang bertahun-tahun sakit struk terbaring tidak bisa kemana mana.
Kondisi struk itu pun pantas kita syukuri karena kita masih diberikan kesempatan hidup, bisa jadi orang lain hari ini meninggal sehingga tidak bisa menimkati indahnya Ramadhan tahun sekarang.
2. Dalam urusan akhirat melihatknya ke atas.
Timbul keinginan mencontoh yang ukhrowi (imateril) pada orang-orang yang usianya lebih tua dari kita sehingga menimbulkan sugesti untuk semangat beribadah lebih baik. Cobalah kita liat mereka yang tua saja bisa puasa, bisa tarawih, bisa datang ke pengajian, kenapa kita yang muda tidak bisa.
3. Selalu melupakan kebaikan yang kita lakukan.
Orang yang kalau berbuat baik, senantiasa ikhlas tidak pernah diingat-ingat dan dilupakan perbuatan tersebut seolah-olah ia menganggap dirinya belum pernah berbuat baik. Sehingga kalau ada kebaikan dia tidak bisa ikut, ia akan merasa sangat rugi. Lawannya orang yang celaka adalah orang yang selalu mengingat kebaikkannya, selalu menepuk dada.
4. Selalu ingat kesalahan yang telah kita lakukan
Dengan mengingat kesalahan yang pernah kita lakukan maka apabila kita akan melakukan kesalahan yang baru, maka akan mengingat akan kesalahan yang lama saja masih banyak, masa harus ditambah lagi dengan yang baru. Timbul kesadaran bagaimana nanti pertanggungjawaban di padang maksyar, atas kesalahan-kesalahan yang begitu banyaknya.
Bulan Ramadhan setidaknya bisa kita jadikan peluang untuk kita bermuhasabah dengan cara-cara tersebut, agar kita menjadi orang yang baik.
Orang yang baik bukan yang tidak peranah salah, karena tidak ada orangnya yang tidak pernah salah itu. Rasulullah SAW mengajarkan, ikuti perbuatan salahmu dengan kebaikan, niscaya kebaikan itu menghapus kesalahan yang kamu lakukan.
Andai saja kita pernah makan harta dengan cara yang dzolim, maka perbanyak sedekah sekarang. Kalau dulu kita banyak meninggalkan shalat, maka perbanyak shalat-shalat sunnah sekarang, dan inilah inti dari muhasabah di bulan Ramadhan. (*)