WES PAYU: Raja Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat Sri Sultan Hamengku Bawono ka 10 (HB ka 10) tak mempermasalahan penjualan istana dan alun-alun utara keraton di situs Next Earth. (DWI AGUS/RADAR JOGJA)
JOGJA – Raja Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat Sri Sultan Hamengku Bawono ka 10 (HB ka 10) tak mempermasalahan penjualan istana dan alun-alun utara keraton di situs Next Earth.
Menurutnya penjualan tersebut tidak terjadi dalam dunia riil. Sehingga tak ada pemindahan atau transaksi aset di dunia nyata.
HB ka 10 mengibaratkan transaksi Next Earth seperti permainan monopoli. Setiap tempat bisa dibeli dengan uang virtual. Selanjutnya menjadikannya sebagai komoditi transaksi secara virtual.
“Enggak, itu virtual kok. Seperti main monopoli, kalau pakai dadu dapat sekian dan bisa lewat. Bayar pakai duit kertas, dimonopoli bisa beli rumah, beli hotel, ya samalah,” jelasnya ditemui di Kompleks Kepatihan Pemprov DIJ, Kamis (6/1).
Gubernur DIJ ini memastikan penjualan ini bukan kasus serius. HB ka 10 sempat mengecek lokasi-lokasi lainnya. Ternyata lokasi, gedung dan aset vital lainnya di Jogjakarta juga sudah terjual.
Transaksi, menurutnya, tidak serta merta terklaim pula di dunia nyata. Menurutnya Next Earth adalah dunia virtual. Meski memiliki bentuk fisik sama namun berada pada dimensi yang berbeda.
“Bukan hal serius, Istana Negara saja sudah dijual. Dengan seperti nanti bisa untuk keramaian dan sebagainya virtual semua, bukan fisik. Dianggap planet tapi bukan di bumi, ini di planet lain,” katanya.
Berdasarkan pantauan di situs itus Nextearth.io, Alun-alun Utara dijual seharga 244.51 USDT. Kompleks Gedung Agung Istana Negara senilai 36,84 USDT, Kompleks Museum Benteng Vredeburg 15,17 USDT. Lalu Kompleks Kepatihan Pemprov DIJ dijual senilai 17.39 USDT.
Pakar Teknologi Informasi Universitas Gadjah Mada (UGM) Ridi Ferdiana menyebut aset di dunia nyata dan virtual tidaklah terikat. Sehingga dia meminta pemilik aset di dunia nyata tak perlu cemas. Pembelian secara virtual, lanjutnya, tak serta merta menjadi klaim di dunia nyata.
“Jadi tidak akan memunculkan sengketa kedepannya. Pembelian virtual tidak bisa klaim di dunia nyata,” ujarnya.
Disatu sisi, pemilik lahan asli juga bisa membeli secara virtual. Termasuk lahan yang telah dibeli secara virtual oleh pengguna lainnya. Bisa pula memiliki lahan yang sama dengan menggandeng developer untuk menciptakan petanya serupa dengan skala dan cirinya sendiri.
Tentang Next Earth, Ridi sedikit menjelaskan profilnya. Ini adalah sebuah situs kombinasi antara teknologi peta digital, blockhain dan juga konsep metavervse. Teknologi ini telah ada saat perusahaan teknologi seperti Google atau Here memotret peta dunia dan menjadi peta navigasi.
“Peta digital tersebut kemudian dijadikan sebagai lahan virtual yang dikenal dengan Tiles. Tiles dapat diperjualbelikan dengan teknologi Blockchain dengan kripto. Kalau Next Earth pakai mata uang sendiri bernama MATIC,” katanya.
Saat ini pengguna metaverse tanah virtual terus berkembang. Transaksi jual beli mulai marak untuk objek-objek vital. Mulai dari kampus, situs sejarah dan budaya mulai diperjualbelikan. Terkait potensi, Ridi belum bisa menjawab.
https://radarbanyumas.co.id/jogja-panen-wisatawan-dikunjungi-10-ribu-orang-malioboro-hampir-normal-pantai-di-kulonprogo-20-ribu-orang20/
Uang kripto pada Next Earth, lanjutnya, adalah Non Fungible Token (NFT). Tidak dapat dipertukarkan, namun bisa diperjualbelikan. NFT, lanjutnya, adalah objek digital unik dan melekat. Ada status kepemilikan berupa yang mencegah aset disalin dan diperbanyak.
“Legalisasinya saat ini memang belum diatur sepenuhnya untuk aset virtual ini. Tetapi mengacu pada statemen Bank Indonesia, uang kripto adalah digital commodities yang perlu dikaji kredibilitasnya,” ujarnya. (*/dwi/radarjogja/ttg)