Warga Tetap Minta Dihentikan
PURWOKERTO - Meski penolakan warga yang terdampak Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTPB) Baturraden terus terjadi, namun PT Sejahtera Alam Energy (SAE) menegaskan proyek tetap berlanjut. Bahkan dalam waktu dekat, proyek memasuki tahap pengeboran.
"Pengeboran rencananya dilakukan 15 Desember. Pengerahan alat berat sudah selesai, hari ini (kemarin) inspeksi dari Direktorat Panas Bumi, EBTKE Kementrian ESDM," kata Area Manajer PT SAE, Bintang Sasongko usai sosialisasi di Graha Satria, Pemkab Banyumas, Rabu (13/12).
Dia mengatakan, selama 60 hari, bor akan tegak lurus masuk ke dalam perut bumi hingga ribuan meter. Pengeboran pada tahap ini, kata dia masih tergolong ekplorasi, belum sampai eskploitasi atau mengambil potensi panas bumi yang ada di Gunung Slamet.
"Sampai sekarang Gunung Slamet tidak punya data sama sekali, jadi pengeboran ini masih untuk mengambil data. Baik itu temperatur ataupun presure," jelasnya.
Selama pengeboran berjalan, Sasongko mengatakan, pihaknya akan terus melakukan ganti rugi warga terdampak. Sebelumnya PT SAE juga sudah melaksakan ganti rugi ke beberapa warga terdampak.
"Hari senin kemarin 40 orang kami ganti rugi. Yang penting mengikuti mekanisme kami, kami menggunakan mekanisme pemerintahan. Jika ada keterangan dari dinas pertanian, perikanan atau dinas terkait ditandatangi camat maka ganti rugi akan kami berikan," kata dia.
Perwakilan Direktorat Panas Bumi, EBTKE Kementrian ESDMBambang Purdiantoro yang hadir dalam sosialisasi tersebut menyebutkan, di Indonesia saat ini terdapat 600 titik pengeboran PLTPB yang tersebar di 70 wilayah kerja panas bumi. Jika PLTPB ini berbahaya, seharusnya sudah sangat ramai pemberitaannya dan menjadi isu utama nasional. Namun ternyata sampai saat ini tidak seperti itu.
"Kalau memang ini berbahaya, tentu sudah sangat ramai sekali. Ini tidak seperti Lapindo. Memang setiap pembangunan punya dampak buruk, tapi lihat dampak baiknya, yaitu menghasilkan listrik," kata dia kepada warga yang turut hadir dalam sosialisasi tersebut.
Di sisi lain, sejumlah warga terdampak datang ke Pemkab dan meminta masuk ikut mendengarkan sosialisasi. Setelah negosiasi dengan aparat, sebagian warga Desa Panembangan didampingi kepala desa diizinkan masuk dan mengikuti sosialisasi.
Roikhatul Jannah, warga Desa Panembangan tetap meminta proyek PLTPB tetap dihentikan. Meski PT SAE sudah menjelaskan teknis dan teknologi yang digunakan. "Kami minta proyek dihentikan. Kenapa tetap dilanjutkan, sedangkan kami warga sudah jelas-jelas dirugikan," kata dia.
Menurutnya, warga terdampak semakin khawatir dengan adanya pembangunan PLTPB yang terletak di atas desa mereka. Sebab sudah satu tahun lebih, PT SAE tidak mampu meminimalisir dampak seperti air keruh yang mengakibatkan kerugian sosial dan ekonomi.
"Kami tidak bisa percaya begitu saja kepada teknologi. Kami semakin was-was. Belum pengeboran saja dampaknya banyak, apalagi ada pengeboran. Siapa nanti yang bertanggung jawab," tandasnya.
Senada diutarakan Mukaromah. Menurutnya air keruh akibat PLTPB hingga sekarang masih berlangsung dan mengakibatkan perikanan, peternakan serta aktivitas harian terganggu. "Ikan-ikan mati, kerugian ya sudah tak terhitung. Puluhan juta lebih. Tolak pokoknya tolak PLTPB. Sudah jelas merugikan masih saja mau dilanjut," kata dia.
Sedangkan Kades Panembangan, Suparto mengatakan air keruh akibat proyek PLTPB juga berdampak terhadap persawahan. Padahal menurutnya 140 hektar sawah di desanya menggunakan air dari Sungai Prukut. "Hasil pertanian turun 50 persen, yang hilang juga harus diganti rugi. Mau gantin rugi tidak," tanyanya kepada PT SAE.
Kades Panembangan menjelaskan, setiap satu hektar menghasilkan 4 sampai 5 ton beras. Sehingga jika air tetap keruh dan berlumpur, kata dia, akan ada penurunan hasil pertanian secara massal di wilayah kecamatan Cilongok. (why)