Website Builder Tanpa Coding Lewat Typedream Turut Mengharumkan Nama Indonesia dari AS , Butuh Enam Tahun Sebe

Jumat 22-10-2021,07:52 WIB

KAWAN SEKAMPUS: Dari kiri, Putri Karunia, Anthony Harris Christian, Kevin Chandra, Albert Putra Purnama, dan Michelle Marcelline. Mereka sama-sama alumni University of Southerm California, Amerika Serikat. Saling kenal saat berkuliah di kampus yang sama di AS, mereka membangun perusahaan rintisan di bidang website builder tanpa coding benar-benar dari nol. Kemudahan Typedream, kata sang CEO, seperti mengetik informasi di Google Docs. ZALZILATUL HIKMIA, Jakarta KEBUTUHAN situs web kini tak hanya dirasakan perusahaan-perusahaan besar. Para pelaku usaha kecil dan menengah juga butuh memiliki website khusus untuk dijadikan ”toko” mereka sendiri agar tak bergantung pada e-commerce. Sayangnya, membuat website yang eye-catching tak semudah membalikkan telapak tangan. Dibutuhkan kemampuan pemrograman yang mumpuni. Sementara, tak semua orang memiliki kemampuan tersebut. Kondisi itu pun memaksa mereka menggunakan tenaga web developer. Belum menghasilkan cuan, tetapi harus keluar biaya tinggi duluan. https://radarbanyumas.co.id/duh-data-milik-kpai-diduga-bocor-sudah-masuk-situs-jual-beli-data-ilegal/ ”Kalaupun yang gratis, itu yang benar-benar simpel. Pakai template yang nggak terlalu bisa diedit juga,” kata Kevin Chandra saat berbincang dengan Jawa Pos pada awal bulan ini. Peluang itulah yang kemudian ditangkap Kevin, Putri Karunia, Michelle Marcelline, Albert Putra Purnama, dan Anthony Harris Christian. Mereka akhirnya memutuskan untuk membuat Typedream, start-up yang bergerak di bidang website builder tanpa coding, tetapi dengan hasil menarik layaknya buatan profesional. ”Kalau kami ngambil di tengah, ngambil gampangnya dan bagusnya,” tutur Kevin yang juga CEO (chief executive officer) Typedream. Kevin, Putri, Michelle, Albert, dan Anthony sama-sama lulus dari University of Southern California, Amerika Serikat. Dari sana, mereka mulai mencoba membuat project demi project sebelum membangun Typedream. Kemudahan Typedream, kata Kevin, seperti mengetik informasi di Google Docs. Namun, desain-desain template-nya lebih beragam, baik dari sisi warna hingga pattern. Tidak jadul seperti desain website lama yang hanya diisi tulisan dan gambar. Saat ini dia mengklaim Typedream sudah banyak digunakan di Amerika Serikat. Mereka juga menyasar market Uni Eropa dan India. Tak heran bila Typedream dilirik investor luar. Baru-baru ini, mereka juga mendapat pendanaan tahap awal (seed funding) dari Y Combinator, founder Makerpad Ben Tossell, mantan partner di Sequoia Capital Timothy Lee, Eksekutif WordPress Aadil Mamujee, serta founding engineer Twitter Blaine Cook. Y Combinator merupakan perusahaan yang juga mendanai start-up besar seperti Airbnb. Keberhasilan itu tak mereka tempuh dalam waktu singkat. Butuh enam tahun dari project ke project hingga akhirnya lima anak muda Indonesia ini berhasil mendirikan Typedream. Asam garam sudah pernah mereka cicipi selama membangun perusahaan rintisan ini. Terlebih, tak ada kenalan sebagai mentor hingga nol pengalaman ”jualan” ke perusahaan-perusahaan di AS. Semuanya dimulai dari bawah. Typedream pernah ditawarkan ke sejumlah developer, tetapi ditolak karena mereka lebih menginginkan open-source. ”Yang lebih sedihnya lagi, Indonesia gak punya representative di US,” ungkap lulusan Fakultas Computer Science University of Southern California tersebut. Apalagi di bidang start-up atau teknologi. ”Bahkan, dari segi makanan, orang-orang di sana lebih familier dengan makanan Vietnam, Korea Selatan, hingga Jepang,” sambungnya. Mereka juga harus berjudi dengan nasib ketika memutuskan untuk mengundurkan diri dari pekerjaan masing-masing. Padahal, saat itu belum ada kepastian mereka bakal mendapat guyuran pendanaan dari Y Combinator. Terlebih, banyak pesaing yang ikut seleksi. ”Nekat aja. Untungnya, gak lama quit kerja, kami dapat funding,” kenang Michelle, lalu tertawa. Selain itu, dukungan dari orang tua menjadi pegangan mereka hingga berani mengambil risiko besar tersebut. ”Apalagi kan kami imigran di sini. Kalau gak dapat Y Combinator, mungkin kami udah pulang ini,” ujar Kevin. Namun, keputusan resign itu dinilai Albert menjadi langkah terbaik. Sebab, dulu, saat masih harus kerja kantoran, mereka pun harus gila-gilaan banting tulang. Setelah jam kantor, mereka harus kembali bekerja membuat coding untuk start-up yang mereka bangun. ”Kerja sampai jam 12 malam. Jadi, (resign) itu bikin kami punya waktu,” katanya. Hal itu pun diamini Putri. Sebab, memiliki start-up sendiri merupakan cita-cita mereka sejak awal. Meski, sebelumnya tak ada satu ide yang pasti. Mengingat, mereka pun dulu hanya mengerjakan project-project semasa sama-sama berkuliah di University of Southern California. ”Tapi, kalau nggak sekarang, kapan lagi,” tegas perempuan asal Surabaya tersebut. Sebelum mendapat fund dari Y Combinator, mereka sempat mencoba menawarkan produk kepada investor Indonesia. Sayangnya, gayung tak bersambut. Pasar Indonesia, rupanya, memang belum berjodoh dengan kelimanya. Terakhir, setelah mendapat fund dari investor luar negeri, mereka tetap berupaya memberikan suatu terobosan untuk masyarakat dalam negeri. Mereka mencoba membuat start-up untuk trading di Indonesia, tetapi ditolak. Padahal, aplikasi yang dibuat akan membuka kesempatan masyarakat Indonesia untuk bisa memiliki saham perusahaan-perusahaan asing, terutama di US. ”Lalu, kami nanya, ’Kalau saham Indonesia, boleh?’ Boleh. Tapi, harus beli lisensi dan ada depositnya. Minimal Rp 120 miliar,” jelas Kevin. Mengetahui itu, dia hanya bisa geleng-geleng kepala. Meski mereka sudah memiliki investor, tentu bukan perkara mudah menyampaikan hal tersebut. Apalagi, bila dibandingkan dengan di AS, biaya membuat aplikasi serupa hanya membutuhkan dana sekitar USD 200 ribu atau sekitar Rp 3 miliar. Karena itu, mereka memutuskan untuk tetap menjajal pasar AS dibanding dalam negeri. Kendati begitu, mereka tetap berupaya memberikan yang terbaik bagi negaranya. Meski, tak dilakukan dari Indonesia. ”Mengharumkan nama Indonesia gak harus dari Indonesia, bisa dari mana saja,” tutur Michelle. Dan, yang terpenting, mereka bisa menjadi contoh bagi anak-anak muda Indonesia lainnya yang ingin membangun perusahaan di AS. Minimal sudah ada yang bisa menjadi mentor untuk memulai berbisnis di negara pimpinan Joe Biden tersebut. ”Jadi, waktu tempuh mereka bisa lebih cepat. Gak perlu enam tahun kayak kami,” ungkap perempuan 23 tahun tersebut. Selain itu, menurut Kevin, dampak yang diberikan akan jauh lebih besar ketika perusahaan dibangun di luar negeri. Sebab, perusahaan tak hanya melayani satu negara, tetapi bisa satu bumi. Dan, ini secara tidak langsung bisa mengharumkan nama Indonesia di kancah dunia.(*)

Tags :
Kategori :

Terkait