Retno Marsudi, Menteri Luar Negeri
JAKARTA - Menteri Luar Negeri (Menlu) Retno Marsudi menyatakan kesiapan Indonesia menjadi pusat produksi vaksin Covid-19 untuk Asia-Pasifik. Hal itu seiring dengan percepatan pemenuhan pasokan vaksin guna mencapai herd immunity di tingkat dunia. Kesiapan itu disampaikan Retno dalam pertemuan Gavi Board dengan para co-chairs Covax Advance Market Commitment (AMC) Engagement Group yang digelar pada 28 September 2021.
https://radarbanyumas.co.id/blak-blakan-arif-poyuono-vaksin-nusantara-belum-diberi-izin-produksi-terganjal-fee-besar-dari-importir-vaksin/
Retno yang merupakan salah satu co-chairs Covax AMC EG mengikuti pertemuan tersebut secara virtual dari New York di sela-sela high level week Sidang Majelis Umum PBB ke-76.
Pertemuan itu, kata dia, berlangsung sangat interaktif. ”Sejumlah masukan diberikan kepada Dewan GAVI untuk membangun strategi selanjutnya agar dapat lebih menjawab tantangan negara anggota Covax Facility,” jelasnya dalam media briefing kemarin (29/9).
Retno turut memberikan dua masukan. Pertama, kendala ketersediaan pasokan vaksin Covid-19. Menurut dia, untuk memenuhi target vaksinasi 70 persen penduduk dunia pada pertengahan 2022, diperlukan 11 miliar dosis. Ada dua cara yang bisa dilakukan untuk memenuhi target tersebut. Yakni, meningkatkan produksi/pasokan vaksin dan dose-sharing (berbagi dosis).
Untuk opsi pertama, produsen vaksin harus mampu meningkatkan kapasitas produksinya. Guna mendukung itu, menurut dia, sudah saatnya negara berkembang dimasukkan dalam rantai pasokan vaksin global.
Dia menilai, pembentukan pusat manufaktur vaksin mRNA yang dilakukan di Afrika Selatan seharusnya direplikasi di wilayah lain. Tujuannya, mempercepat peningkatan produksi vaksin.
”Dan saya sampaikan, untuk kawasan Asia-Pasifik, Indonesia siap untuk menjadi hub,” ungkap mantan duta besar RI untuk Belanda tersebut.
Kemudian, untuk opsi dose-sharing, Retno kembali menekankan agar negara yang memiliki kelebihan vaksin mau berbagi dengan negara yang membutuhkan. Itu pun harus dilakukan secara transparan.
Kedua, Retno mengangkat soal isu diskriminasi vaksin Covid-19. Dia mengungkapkan, ada beberapa negara yang melarang pelaku perjalanan lintas batas meskipun telah divaksin hanya karena tidak diakui oleh otoritas mereka.
Padahal, penggunaan vaksin tersebut sudah mendapatkan EUL dari WHO. Kasus lainnya, mereka boleh masuk, tetapi harus mendapatkan booster dari vaksin yang telah diakui oleh otoritas mereka.
”Dalam pertemuan itu, saya meminta agar WHO, GAVI, Covax Facility melakukan joint effort untuk mencegah diskriminasi vaksin ini terus terjadi,” tuturnya. Kekhawatiran itu, lanjut dia, turut diamini oleh GAVI Council. Mereka berjanji terus berupaya untuk menangani masalah tersebut bersama WHO. (mia/c6/oni/ilh/jpc)