Prasetyo Nurhardjanto, Pernah Mendaki Everest Base Camp, Menghabiskan Waktu Isoman dengan Menulis Buku, Hasiln

Jumat 08-10-2021,09:25 WIB

BERAWAL DARI HOBI: Prasetyo Nurhardjanto memperlihatkan buku yang berisi kumpulan tulisannya. Dok. Prasetyo Nurhardjanto Pendakian ke Everest, menjadi relawan di Rumah Bunda Teresa, dan kedekatan dengan para penderita kanker adalah sebagian yang disampaikan Prasetyo Nurhardjanto dalam bukunya. Yang ditulis setelah dia sempat merasa hidupnya sudah berada di ujung tanduk akibat deraan Covid-19. M. HILMI SETIAWAN, Jakarta BEGITU pekerjaan kantor tuntas diselesaikannya, dengan segera Prasetyo Nurhardjanto mengontak rumah sakit yang tadi meneleponnya. Rumah sakit tersebut meminta Prasetyo mendonorkan trombosit untuk seorang pasien kanker. Karena sedang ada tugas yang tak bisa ditinggal, dia minta waktu. Namun, kabar dari seberang telepon memukulnya dengan keras. ”Pihak rumah sakit bilang tidak jadi donor karena pasiennya sudah meninggal,” kenangnya. Itu satu pasase saja dari lintasan hidup pria kelahiran Solo, Jawa Tengah, 31 Agustus 1971, tersebut yang penuh warna. Dia bekerja di bagian human resources dan general affair sebuah perusahaan e-commerce, tapi juga gemar mendaki dan traveling serta punya banyak pengalaman sebagai relawan. Termasuk menjadi ketua bidang pelatihan relawan Satgas Penanganan Covid-19 Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB). Dan, semua kisah hidupnya itu dia rangkum dalam Berbagi Kebaikan, buku yang ditulisnya sembari menjalani isolasi mandiri (isoman). https://radarbanyumas.co.id/kisah-kisah-difabel-meniti-karier-trauma-direndahkan-dan-dikasihani-saat-melamar-kerja/ Setelah dia bertarung dengan keras melewati masa-masa kritis sebagai pasien Covid-19. ”Kebetulan, saya hobi menulis. Dan, berada di hotel untuk menjalani isoman kan berarti nggak bisa ngapa-ngapain,” katanya. Pada September tahun lalu itu, kondisinya begitu parah. Nyaris seluruh gejala Covid-19 dia rasakan. Mulai diare, kehilangan indra penciuman, hingga tak nafsu makan. Dia bahkan sempat merasa saat itu adalah ujung dari hidupnya. Apalagi, Prasetyo sempat kehabisan stok oksigen. Namun, akhirnya dia bisa melewatinya. Keluar dari rumah sakit, Prasetyo menjalani isoman di salah satu hotel di Jakarta Pusat. Di sinilah ide dan eksekusi buku itu berlangsung. ”Kebetulan, saya hobi menulis,” ujar pria yang bekerja di satgas Covid-19 secara sukarela tersebut. Berbekal sebuah laptop yang selalu dibawanya, bahkan ketika dirawat di rumah sakit, Prasetyo mulai menulis. Dia tak sepenuhnya berangkat dari nol. Sebab, ada beberapa materi tulisan yang sebelumnya pernah dia unggah di laman Facebook miliknya. Dia hanya merapikan bagian-bagian tertentu. Sambil ada yang angle-nya diubah sedikit. ”Saat isoman di hotel, saya menulis kapan saja. Bisa pagi, siang, atau malam,” ungkap alumnus Hubungan Internasional Universitas Jember (Unej) tersebut. Akhirnya, setelah menjalani tujuh malam isoman di hotel, dia merampungkan buku yang ditulisnya. Ini sepenuhnya proyek amal. Sebab, seluruh hasil penjualan buku tersebut dia sumbangkan ke Komunitas Taufan, komunitas yang memberikan pelayanan kepada anak-anak penderita kanker. Secara resmi diluncurkan pada Desember tahun lalu, buku Prasetyo dicetak 1.000 eksemplar pada tahap awal. Dan, saat ini dia menyebut lebih dari 700 eksemplar sudah laku. Buku itu semacam bunga rampai kehidupan. Merangkum banyak hal. Intinya adalah refleksi hidupnya dengan tujuan berbagi kehidupan kepada orang lain. Pengalamannya terkena Covid-19 salah satu yang dia bagi lewat buku tersebut. Prasetyo aktif di satgas Covid-19 sebagai relawan sejak Maret 2020. Tugas itu menuntutnya berinteraksi dengan banyak pasien Covid-19. Selain itu, dia aktif melatih para relawan. Hingga kemudian, pada September 2020, dia dinyatakan positif. ”Yang diserang pertama itu psikologis. Saya kok bisa kena ya. Baru kemudian fisik,” ungkap jebolan pendidikan reguler Lemhannas 2013 tersebut. Prasetyo menuliskan pula pengalaman saat menjadi relawan bencana alam gempa di Palu, Sulawesi Tengah. Juga pengalamannya mendaki Gunung Everest sendirian (solo) pada 2018. ”Waktu itu saya mendaki Everest Base Camp dengan ketinggian 5.800 meter di atas permukaan lain,” ungkapnya. Misi utama pendakiannya saat itu adalah amal. Dia menggalang dana dan terkumpul hampir Rp 30 juta. Dana tersebut kemudian dia sumbangkan untuk kegiatan sosial. Pengalaman menjadi relawan selama 12 hari di Rumah Bunda Teresa di Kalkuta, India, pada 2019 juga ditulis dalam bukunya. Itu dia lakukan dengan memanfaatkan jatah cuti kantornya. Secara khusus, Prasetyo memilih menjadi relawan di Kalighat, tempat Bunda Teresa kali pertama memberikan pelayanan pada 1950. Di tempat tersebut, ada sekitar 80 pasien yang sudah sekarat. ”Kami bertugas mencuci pakaian dan seprai mereka,” jelasnya. Kegiatan kerelawanan lain yang dia lakukan adalah menemani para pasien rekreasi. Kegiatan rekreasinya sederhana. Ada yang memilih untuk mewarnai, bernyanyi, dan bermain menyusun lego. Tugas lainnya adalah menyiapkan makanan. Prasetyo juga menuliskan pengalamannya memimpin kerelawanan di satgas Covid-19. Pada Maret 2020 itu, bulan pertama Indonesia masuk pandemi, semua orang tergagap-gagap. Di dalam buku tersebut, Prasetyo juga bercerita tentang aktivitasnya sebagai pendonor. Baik ketika awal mendonorkan darah maupun saat belakangan beralih menjadi pendonor trombosit yang umumnya digunakan untuk pasien kanker. ”Ini saya ceritakan pada bab sendiri. Judulnya Berbagi dengan Yang Sakit,” katanya. Pria dengan golongan darah O+ itu mulai berdonor pada 1989. Hingga 2011, dia sudah sekitar 70 kali mendonorkan darah. Kemudian, pada 2011, dia mengenal adanya donor trombosit. Menjadi pendonor trombosit ini pula yang mendekatkan Prasetyo dengan para penderita kanker. Dia jadi memahami betapa mematikan penyakit tersebut. Namun, sejatinya banyak orang yang bisa memberikan harapan hidup kepada pasien kanker. ”Salah satunya dengan menjadi pendonor trombosit,” katanya. (*)

Tags :
Kategori :

Terkait