KISAH kepahlawanan Dr Moewardi sangat melekat pada anak cucunya. Cerita itu terus bersambung di kalangan keluarga dan ahli waris. Dr Lichte Christian Purbono, 25, yang merupakan cicit Moewardi mendapat cerita itu dari sang ibu dan nenek.
Meski tak pernah bertemu dengan kakek buyutnya itu, Litchte mengaku mengidolakan kakek buyutnya itu sebagai tenaga medis maupun sebagai anak bangsa yang sangat cinta pada negaranya. Berbagai kisah hidup kerap diceritakan pada dia, baik dari orang tuanya maupun dari keluarga besar dan kakek-neneknya yang lain.
“Kalau keinginan Oma (nenek) saya (Sri Sejati) pengin ada cucunya yang jadi dokter. Soalnya dari keluarga ibu pertama belum ada penerusnya yang jadi dokter. Tapi kalau dari istri kedua eyang buyut (Dr Moewardi) sudah dua yang jadi dokter. Eyang Cipto dan Eyang Happy. Akhirnya saya jadi dokter ini juga tidak lepas dari doa oma-oma saya itu,” jelas dia.
Salah satu hal paling dasar yang selalu membekas dalam ingatannya adalah eyang buyutnya itu selalu sepenuh hati dalam melayani masyarakat. Beliau tak pernah berorientasi mengambil keuntungan pribadi, melainkan untuk melayani masyarakat yang membutuhkan. Maka tak heran Moewardi cukup terkenal di kalangan masyarakat kelas bawah.
“Yang selalu ditanamkan keluarga itu eyang buyut adalah sosok yang memilih jalur medis dan menjadi dokter bukan untuk menghimpun keuntungan dan harta pribadi. Karena seringnya melayani masyarakat menengah ke bawah, eyang buyut itu malah dikenal dengan istilah Dokter Gembel,” terang Lichte.
Spesialisasinya dalam bidang THT (Telinga, Hidung, dan Tenggorokan) membuat Moewardi kerap berinteraksi dengan masyarakat kelas bawah. Umumnya, dia tidak menerima bayaran tiap kali mengobati masyarakat kecil. Karena itulah warga senang memberikan sedikit hasil bumi pada sang dokter dermawan itu.
“Oma saya sempat cerita. Suatu ketika itu eyang buyut sempat mendatangi pasien ke pelosok desa yang medannya sulit dijangkau. Karena pengobatan tak bisa dilakukan di lokasi, eyang buyut sampai membopong pasien itu untuk dinaikkan ke mobil dan dibawa ke rumah sakit terdekat,” jelas dia.
Salah satu bentuk keseriusan Moewardi dalam melayani pasien adalah kerelaannya untuk tetap memberikan pelayanan pada pasien meski mengabaikan keselamatannya sendiri. Lichte ingat betul cerita almarhum neneknya, pada 13 September 1948 pagi, Moewardi dijadwalkan menjalankan operasi THT di Ziekenzorg (dulu Zending Hospital, kini RSUD Dr. Moewardi, Jebres).
Pukul 10.00 WIB, operasi THT sudah selesai dilakukan. Sang ajudan yang bertugas mengawal Moewardi pun berinisiatif mendatangi karena tak kunjung keluar dari kamar operasi. “Dari cerita ajudan eyang buyut (Moewardi) ke oma saya (Sri Sejati), beliau digiring dua orang masuk ke dalam sebuah mobil. Sejak saat itu eyang buyut dinyatakan hilang dan tidak ketemu sampai sekarang,” beber Lichte.
Saat itu Sri Sejati masih berusia 15 tahun. Dia sempat mencari kabar Moewardi bersama berbagai pihak. Bahkan, sejumlah kamar jenazah pun dia sisir untuk mencari kejelasan soal keberadaan Moewardi. Rutinitas itu dilakukan selama beberapa waktu hingga akhirnya keluarga merelakan kepergian dia.
“Sampai saat ini keluarga tidak membuatkan makam untuk eyang buyut. Cara keluarga untuk mengenang biasanya datang ke RSUD Moewardi. Di sana ada patungnya eyang buyut. Kami keluarga besar biasanya bergantian memberikan bunga di sekitar patung itu,” jelas dia.
Dari sana dia makin tertantang untuk menjadi seorang dokter sekelas kakek buyutnya itu. Meski kemampuannya masih jauh dari berbagai prestasi yang ditorehkan sosok Moewardi untuk negeri ini, Lichte mengaku terus mengingat nilai-nilai kehidupan yang selalu dipegang oleh kakek buyutnya itu. Khususnya dalam memberikan pelayanan pada masyarakat kurang mampu yang membutuhkan pertolongan.
“Awalnya saya tidak minat jadi dokter, tapi sekarang ini malah semakin termotivasi agar bisa meneruskan perjuangan kakek buyut di bidang kemanusiaan ini,” tegas Lichte.
Lichte merupakan garis keturunan Dr Moewardi dari istri pertamanya, Sri Soeprapti. Dari pernikahan tersebut lahir dua anak bernama Sri Sejati (nenek Lichte, Red) dan Adi Sudarsoyo. Istri pertama Moewardi meninggal pada 1935 setelah didiagnosa mengalami gangguan rahim.
Pada 1939, Moewardi memutuskan untuk menikah lagi dengan Soesilowati. Dari hasil pernikahan tersebut lahir lima anak, yakni Ataswarin Kamarijah (penulis buku Ayahku Pahlawanku, Red), Kusumarita, Cipto Juwono, Banteng Witjaksono, dan Happy Anandarin Wahyuningsih. “Kalau oma (nenek) saya sudah almarhum. Tapi masih ada oma-oma saya yang lain, salah satunya ya Eyang Ataswarin yang menulis buku itu,” jelas dia. (ves/bun)