DEKAT DENGAN RAKYAT: Helmud Hontong semasa bertugas sebagai wabup. (SRIWANI/MANADO POST)
Wabup yang meninggal di pesawat itu memang memiliki riwayat diabetes. Namun, hasil medical checkup terakhir sebenarnya menunjukkan kondisinya baik-baik saja. Semangatnya menolak tambang emas dilanjutkan gerakan Save Sangihe Island yang didukung penuh oleh gereja dan badan adat.
https://radarbanyumas.co.id/selamat-jalan-markis-kido-peraih-emas-olimpiade-2008-beijing/
AGUS DWI PRASETYO, Makassar
DI atas kapal motor mereka bertemu. Dalam perjalanan dari Tahuna ke Manado. Di tengah keriuhan penumpang. "Karena beliau sedang ngobrol dengan orang lain, saya hanya kasih tepukan tangan," kata Alfred Pontolondo, koordinator Save Sangihe Island (SSI), saat dihubungi JPC melalui telepon, Senin (14/6).
Orang yang dimaksud Alfred adalah Helmud Hontong, wakil bupati (Wabup) Kepulauan Sangihe, kabupaten di Sulawesi Utara yang beribu kota di Tahuna. Siang itu, akhir Mei lalu, Alfred tengah berbincang dengan orang lain.
Papa Embo –sapaan akrab Helmud Hontong– dikenal sebagai pejabat yang merakyat. Peduli terhadap warga yang dipimpinnya. "Misalnya, ada pasien di rumah sakit yang nggak mampu bayar obat akan dibiayai sama beliau sampai selesai perawatan," kenang Alfred.
Kedekatan dan kepedulian itu pula yang mendorong Helmud menulis surat yang ditandatangani sendiri kepada Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM). Isinya, menolak pertambangan emas oleh PT Tambang Mas Sangihe (TMS) yang izinnya diberikan Kementerian ESDM karena limbahnya dianggap bisa membahayakan kesehatan warga.
Dua pekan setelah bertemu di atas kapal tersebut, kabar mengejutkan itu datang. Papa Embo meninggal dalam perjalanan udara dari Denpasar ke Makassar.
Dalam surat yang dikeluarkan Kantor Kesehatan Pelabuhan Kelas I Makassar dan ditandatangani dokter pemerintah yang bertugas saat itu, dr Nurlailah, dari pemeriksaan pukul 16.22 Wita, Helmud sudah meninggal. Helmud dinyatakan meninggal saat masih berada di pesawat Lion Air yang ditumpanginya pada Rabu pekan lalu (9/6).
Dari pihak keluarga, Herdawati Greina Simon menjelaskan bahwa Papa Embo mempunyai riwayat penyakit diabetes melitus. Dan, akhir-akhir ini, kata Greina yang juga ponakan Helmud, sang paman rajin check up.
"Pada Februari, beliau juga sempat check up di RSPAD Gatot Soebroto (Jakarta) bersama ajudan. Semuanya normal," jelas Greina dalam jumpa pers Sabtu pekan lalu (12/6) bersama Kapolres Kepulauan Sangihe AKBP Tony Budhi Susetyo dan Kadinkes Kepulauan Sangihe dr Jopy Thungari MKes di Tahuna sebagaimana dilansir Manado Post.
Greina yang berlatar belakang penata anestesi dengan basic kardiovaskular dan sistem pernapasan sempat bertanya kepada ajudan Helmud via telepon terkait dengan kronologi kejadian. Dijawab bahwa tenggorokan Helmud sakit, lalu meminta air ke ajudan. Setelah diberi air minum, tiba-tiba pria 59 tahun itu batuk keluar darah dari hidung dan mulut.
Dan, dari kronologi patologis yang disampaikan, lanjut Greina, Kantor Kesehatan Pelabuhan (KKP) Bandar Udara Sultan Hasanuddin Makassar juga tidak bisa memastikan penyebab kematian Wabup.
"Meski analisis Dokter Jopy menyebutkan pecah pembuluh darah, pemeriksaan tanda vital tidak dilakukan. Jadi, tidak bisa dipastikan bahwa tekanan darah saat itu berapa," katanya.
Yang pasti, kabar duka itu sangat menyentak warga Sangihe. Namun, di sisi lain, berpulangnya Papa Embo juga kian melecut semangat warga untuk terus melanjutkan perjuangan Helmud menolak rencana operasional pertambangan emas di kepulauan yang berbatasan dengan Filipina tersebut.
Sejak mencuatnya rencana operasional produksi pertambangan di Sangihe, Helmud beberapa kali menyuarakan penolakan. Surat permohonan pembatalan izin operasional pertambangan PT TMS tadi dia kirimkan pada 28 April. Dalam permohonan itu, Helmud menentang terbitnya Surat Keputusan (SK) Menteri ESDM Nomor 163.K/MB.04/DJB/2021 tertanggal 29 Januari 2021 tentang Persetujuan Peningkatan Tahap Kegiatan Operasional Produksi Kontrak Karya PT TMS.
SK yang ditandatangani Dirjen Mineral dan Batu Bara Kementerian ESDM Ridwan Djamaludin tersebut mengisyaratkan PT TMS mendapat restu melakukan operasi produksi pertambangan emas seluas 42 ribu hektare di Sangihe. Atau, sekitar separo luas total pulau.
Seperti diketahui, kepulauan terluar utara Indonesia itu menyimpan kekayaan hayati. Berbagai jenis burung endemik berstatus dilindungi hidup di pulau dengan luas 736 kilometer persegi tersebut. Misalnya, burung seriwang sangihe atau manu’ niu. Sebelum ada di Sangihe 20 tahun lalu, burung itu dianggap punah ratusan tahun.
Selain manu’ niu, ada delapan burung endemik Sangihe lainnya. Yaitu, matamawira (kacamata sangihe), sohabe kuning (brinji sangihe), salumisi wembulaeng atau saramise wamburai (burung madu sangihe), tanajawo (celepuk sangihe), bungka kecil (udang merah sangihe), lehagi (paok sangihe), raja udang sangihe, dan lusiut (serindit sangihe).
Mayoritas burung itu hidup di daerah sebaran yang terbatas dengan status rentan dan kritis. Populasi burung endemik itu banyak ditemukan di seputaran Gunung Sahendaruman. Mirisnya, kawasan gunung berapi mati tersebut masuk dalam peta wilayah yang akan ditambang. "Kalau ditotal, ada 7 kecamatan dan 80 kampung yang akan kena dampak pertambangan," papar Alfred.
Sebagai masyarakat Sangihe, Alfred sangat menyayangkan keluarnya izin operasional produksi pertambangan di Sangihe dari Kementerian ESDM. Selain mengancam populasi endemik, izin pertambangan tidak sesuai dengan mandat UU 1/2014 tentang Perubahan atas UU 27/2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil.
Merujuk UU tersebut, Sangihe secara jelas masuk dalam kategori pulau kecil karena luasannya kurang dari 2.000 kilometer persegi. Dan, pemanfaatan pulau kecil, menurut UU itu, hanya diprioritaskan untuk konservasi, pendidikan dan latihan (diklat), penelitian dan pengembangan (litbang), budi daya laut, pariwisata, serta usaha perikanan dan kelautan. Juga, industri perikanan secara lestari, pertanian organik, peternakan, dan/atau pertahanan dan keamanan negara. "Dari sembilan item pemanfaatan (pulau kecil) itu, tidak ada yang menyebutkan pertambangan," tegasnya.
Alfred sempat mendatangi Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) pada 29 April guna mengecek izin pemanfaatan tersebut. "Mereka (KKP) belum mengeluarkan izin,” katanya.
Terpisah, Dirjen Minerba Kementerian ESDM Ridwan Djamaluddin membenarkan Kementerian ESDM telah menerima surat pribadi dari Wabup Sangihe. Surat itu diterima pada 28 April lalu. "Saat ini Ditjen Minerba menjadwalkan pertemuan dengan pihak Kabupaten Kepulauan Sangihe untuk membahas kegiatan pertambangan PT TMS," ujarnya kepada JPC.
Ridwan menuturkan, berkaitan dengan permintaan untuk membatalkan izin PT TMS, perlu disampaikan beberapa hal. Pertama, kegiatan pertambangan PT TMS didasarkan atas kontrak karya (KK) yang ditandatangani pemerintah dan PT TMS pada 1997. Kedua, Pemprov Sulawesi Utara telah menerbitkan izin lingkungan untuk PT TMS pada 15 September 2020.
"Dalam izin lingkungan yang dimaksud disebutkan, lokasi yang akan digunakan PT TMS untuk melakukan kegiatan pertambangan hanya seluas 65,48 hektare di antara total luas wilayah 42 ribu hektare," jelas Ridwan.
Ketiga, berdasar data Ditjen Minerba Kementerian ESDM, total luas wilayah PT TMS yang prospektif untuk ditambang adalah 4.500 hektare (kurang dari 11 persen dari total luas wilayah KK PT TMS). Keempat, pemerintah akan mengevaluasi luas wilayah KK PT TMS. "Dan, berdasar evaluasi tersebut dapat meminta PT TMS melakukan penciutan terhadap wilayah KK yang tidak digunakan/tidak prospektif untuk dilakukan kegiatan pertambangan," katanya.
Untuk membatalkan izin pertambangan tersebut, gerakan Save Sangihe Island tidak berdiri sendiri. Alfred menyebut Gereja Masehi Injili Sangihe Talaud sebagai organisasi keagamaan terbesar di Sangihe turut meminta Presiden Joko Widodo meninjau kembali izin tambang tersebut. Mereka juga membuat petisi online lewat change.org. "Suara Badan Adat Sangihe lebih keras lagi, yaitu meminta presiden mencabut izin tambang." (jpc)