Enam Dipulangkan, Dua Dibina Khusus

Sabtu 14-05-2016,10:31 WIB

Warga Keluhkan Halte Komuter yang Terbengkalai SURABAYA-- Penanganan berbeda diberlakukan kepada para pelaku pencabulan terhadap bunga. Kepolisian memutuskan untuk mengembalikan enam pelaku kepada orang tuanya. Sedangkan, dua lainnya, tetap dititipkan di shelter anak. Acuan polisi adalah pasal 1, pasal 21, pasal 32, dan pasal 33 UU No. 11 tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Anak. Proses penyidikan tetap akan berlanjut. Akan tetapi, kepolisian tidak akan menahan para pelaku. Sedangkan putusan hukuman nanti, menjadi wewenang Pengadilan Negeri. ”Para orang tua pelaku adalah penjamin bahwa mereka akan berkelakuan baik,” tegas Wakasatreskrim Polrestabes Surabaya Kompol Manang Soebeti, kemarin (13/5). Selama proses penyidikan, polisi memberlakukan wajib lapor kepada para pelaku. Nantinya, mereka akan mendatangi Mapolrestabes Surabaya setiap Senin dan Kamis. Para pelaku tersebut juga tetap akan didampingi oleh orang tua mereka. Kemarin, sekitar pukul 09.00, para orang tua pelaku kembali mendatangi Mapolrestabes Surabaya. Mereka menjemput putra-putra mereka yang sempat dititipkan di shelter anak pada Kamis malam. Tidak hanya menjemput, mereka juga kembali diberi pengarahan oleh polisi di ruang rapat Satreskrim Polrestabes Surabaya, lantai III Gedung Anindita. Pengarahan itu berlangsung tertutup bagi awak media. Namun dari kaca, Jawa Pos melihat ada beberapa orang tua yang menangis sambil merangkul anaknya. Total ada enam orang anak yang diizinkan pulang. Sedangkan dua lainnya, tetap ditempatkan di Shelter. Mereka adalah AS dan HM. Mereka dititipkan di Shelter Jalan Keputih. ”Keduanya butuh penanganan lebih karena tingkat kenakalannya paling parah dibanding lainnya,” terang Kanit PPA Polrestabes Surabaya AKP Ruth Yeni. Bisa dibilang, kedua bocah itu adalah otak pelaku. AS merupakan sosok yang mengajak teman-temannya mencabuli Bunga. Dia pula yang mulai berbuat asusila sejak usia Bunga masih 4 tahun. Polisi sendiri berkordinasi dengan Pemkot Surabaya. Soal teknis pembinaan, polisi menyerahkan sepenuhnya kepada ahli psikolog. Yang jelas, keduanya memang diberi perhatian secara khusus. ”Kami sudah berkordinasi dengan Bappemas,” imbuh Ruth. Terkait penyidikan, Ruth memaparkan bahwa pihaknya tidak hanya memeriksa para pelaku. Satu hal yang masih menjadi pertanyaan besar adalah keacuhan warga sekitar. Mereka tidak pernah tahu bahwa AS Cs sampai tega mencabuli Bunga. Oleh sebab itu, korps bersergam cokelat akan meminta keterangan pengurus RT dan RW setempat. ”Tidak menutup kemungkinan akan kami periksa, pelan-pelan. Kalau pemeriksaan pelaku cepat beres, bisa jadi pengurus kampung kami panggil minggu depan,” tutur polisi asal Banyuwangi tersebut. Ruth kembali menegaskan bahwa terjadinya pencabulan ini tidak bisa disalahkan sepenuhnya pada anak. Lemahnya kontrol sosial merupakan faktor utama. Mulai dari kurangnya pengawasan orang tua, warga, sampai kurangnya lahan bermain anak. Nah, salah satu spot yang dipakai nongkrong anak-anak tersebut adalah halte komuter Ngagel. Di tempat itu pula, AS Cs juga pernah mencabuli Bunga. Yakni, di tangga menuju ke basement. Mereka berbuat asusila saat malam hari. Widji Wiyono, petugas loket halte tersebut menuturkan bahwa sehari-hari halte itu memang sepi. Awalnya pembangunan halte itu terintegrasi dengan pusat perbelanjaan yang dibangun di belakangnya. Sayangnya, pembangunan itu terhenti di tengah jalan. ”Memang penumpang yang naik turun di sini sepi. Padahal halte ini yang paling bagus karena menghubungkan dua track kereta api,” katanya. Dia menambahkan, selama ini halte tersebut beroperasi hingga pukul 21.00. Hanya ada dua komuter yang berangkat dari halte Ngagel. ”Jadwal kereta cuma jam 14.00 sama 17.30,” tuturnya. Selama Widji berjaga, dia tidak pernah melihat ada anak-anak yang melakukan pencabulan. Selepas menjaga loket, dia tidak tahu ada aktifitas apa saja yang berlangsung di halte tersebut. Di sisi Timur halte, terdapat pemukiman padat penduduk. Itu lah kampung Kalibokor Kencana. Maka wajar, apabila para pelaku mencabuli korban di halte. Sebab tempat itu letaknya juga tidak jauh dari kampung mereka dan sepi saat malam. Dari perkampungan, warga tidak bisa melihat langsung aktifitas yang terjadi. Sebab, halte komuter itu posisinya lebih tinggi. Purwati, salah seorang warga menegaskan, halte itu benar-benar tidak punya fungsi. Sebab penumpang yang naik turun di sana sepi. Halte Ngagel hanya sering dipakai untuk nongkrong. ”Sebenarnya sudah sering ngobrak anak-anak yang main di sana. Tapi ya tetap kembali lagi,” katanya. Dia melanjutkan, tidak hanya anak-anak di kampung Kalibokor Kencana saja yang kerap nongkrong di sana, tapi juga dari luar. Halte tersebut akan lebih ramai ditongkrongi muda-mudi saat puasa. ”Memang haltenya nganggur. Mudah-mudahan pemerintah punya jalan keluar,” ucapnya. Selain halte komuter, para pelaku juga memanfaatkan Balai RW untuk berbuat asusila. Dari pantauan Jawa Pos kemarin, Balai RW itu dalam posisi terkunci. Letaknya ada di tengah pemukiman. Menurut Purwati, Balai RW itu sebenarnya selalu ramai. Warga sendiri juga heran bagaimana AS Cs mencabuli Bunga di sana. Terlebih, Bali RW itu juga kerap dimanfaatkan warga. Para warga sering mengadakan arisan di sana saat malam hari. ”Kalau pagi dipakai PAUD mas,” tuturnya. Keluar dari kantor polisi dan dikembalikan kepada orang tua, bukan berarti 8 bocah pelaku kekerasan seksual kepada teman mainnya, lepas dari hukuman. Bahkan, hukuman sesungguhnya justru baru dimulai. Yakni, cemoohan dan pengucilan oleh teman dan tetangga sekitar. Bagaimana orang tua bocah menghadapi lingkungan yang tidak ramah tersebut? Psikolog sekaligus pemerhati anak Seto Mulyadi menuturkan, hal-hal tersebut mungkin tak bisa dihindarkan. Oleh karena itu, dia menyarankan, agar orang tua korban dan pelaku untuk "mengungsikan" anak-anak mereka sementara."Ini semata-mata agar kondisi mental mereka pulih. Mereka pasti juga mengalami shock setelah kejadian dan pemberitaan yang begitu masive," tuturnya. Setelahnya, orang tua disarankan ikut dalam konseling. Dia meminta dinas kesehatan dan Dinas Sosial Pemkot Surabaya mendampingi proses konseling ini. Sebab, mereka perlu tahu cara menyikapi anak-anak mereka pascakejadian memilukan hati tersebut. Sehingga, tak lagi ada kekerasan yang harus dialami oleh anak-anak ini dengan terus disalahkan oleh orang tua misalnya. "Anak tentu harus dikonseling agar tidak lagi mengulang hal yang sama. Kemudian memulihkan rasa percaya dirinya. Tapi, konseling untuk orang tua juga memegang peran penting," papar pencipta karakter program anak-anak Si Komo tersebut. Peran masyarakat, lanjut Seto, juga tak kalah pentingnya. Psikolog yang akrab dipanggil Kak Seto itu mengimbau masyarakat sekitar tidak memberi cap buruk pada mereka. “Sebab, lingkungan yang baik bisa membantu mereka segera pulih dari kondisi keterpurukan ini,” lanjutnya. Secara terpisah, Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Asrorun Niam mendesak agar segera dilakukan rehabilitasi melakukan rehabilitasi bagi korban dan pelaku. “Rehabilitasi itu harus dilakukan baik medis dan nonmedis.” sebutnya saat dihubungi kemarin. Untuk medis berkaitan dengan luka fisik akibat pencabulan itu. Sedangkan untuk nonmedis meliputi psikis dan sosial. Rehabilitasi dilaksanakan dengan memberikan pendampingan secara rutin. Pendampingan dilakukan untuk memulihkan kondisi psikis dan sosial. Jadi, harus ada pendamping khusus yang selalu membimbingnya. Selain rehabilitasi, dibutuhkan partisipasi masyarakat untuk menciptakan situasi yang kondusif. Lingkungan sekitar tidak boleh mencela dan mengkucilkan korban. Itu merupakan tugas RT, RW dan tokoh masyarakat untuk memberikan arahan k epada lingkungan sekitar. "Kalau korban disudutkan dan dicela, maka kejiawaannya akan tertekan," ungkap dia. Selain korban, rehabilitasi juga perlu dilakukan terhadap pelaku. Mereka juga harus diberikan pendampingan khusus. Bimbingan terus dilakukan, sehingga mereka tidak melakukan penyimpangan seksual. Jadi, diberi pemahaman yang betul. "Kalau tidak ada pendampingan, mereka akan rawan," ujar dia. (lum/mia/kim/did)

Tags :
Kategori :

Terkait