Anggota Komisi I DPR RI Jazuli Juwaini
JAKARTA - Pemerintah harus mengambil opsi kebijakan yang lebih tegas dalam menangani Covid-19. Tidak ambigu dan abu-abu antara kepentingan kesehatan, kemanusiaan, dan ekonomi seperti saat ini.
Pemerintah juga harus bergerak untuk semakin sistematis, fokus, dan terukur dalam mengatasi Covid-19. Termasuk lebih serius mengatasi dampak ekonomi dengan prioritas utama kelompok masyarakat miskin dan hampir miskin.
https://radarbanyumas.co.id/pemberian-listrik-gratis-diperpanjang-hingga-maret-2021-ini-data-diskon-100-persen-hingga-50-persen/
Negara harus tampil sebagai pemersatu dan perekat atas semua dinamika sosial politik di masyarakat. Butuh persatuan dan kesatuan untuk keluar dari pandemi dan krisis saat ini.
Anggota Komisi I DPR RI Jazuli Juwaini berharap, pemerintahann Jokowi-Ma’ruf Amin bekerja lebih keras mengatasi pandemi kesehatan masyarakat. Grafik penyintas Covid-19 menunjukkan kenaikan signifikan.
Akibat pandemi yang telah berlangsung setahun penuh seluruh indikator kesejahteraan rakyat juga memburuk. Hal ini menuntut kerja lebih keras lagi dari jajaran pemerintah.
“Akibat kebijakan yang ambigu ditangkap publik secara luas sebagai inkonsistensi. Dampaknya tidak jelas apa kebijakan yang berlaku antara yang dibolehkan dan dilarang sehingga sulit menerapkannya di lapangan, akibatnya banyak yang abai protokol kesehatan,” ungkap Jazuli.
Menurut Jazuli, masyarakat tidak bisa mendapat gambaran yang jelas bagaimana peta jalan yang komperhensif, sistematis, dan terukur dari kebijakan pemerintah mengatasi pandemi covid 19.
Akibatnya pemerintah tidak bisa menjelaskan secara jelas dan optimis kapan pandemi ini akan selesai diatasi. Prediksi yang disampaikan pemerintah pun berulangkali meleset.
Ia melanjutkan, pemerintah tidak memiliki strategi yang komprehensif dalam penyediaan vaksin dan strategi vaksinasi. Terbukti dengan pembelian sejumlah obat Covid-19 yang terburu-buru di awal pendemi, kontroversi pembelian vaksin Sinovac yang belum lulus uji klinis, hingga kepercayaan rakyat yang rendah terhadap vaksin yang disediakan pemerintah.
Jazuli juga membeberkan data-data indikator kesejahteraan rakyat yang memburuk tajam dalam setahun terakhir. Berdasarkan data BPS, pengangguran bertambah menjadi 9,77 juta orang pada Agustus 2020.
Sebanyak 29,12 juta orang usia kerja terkena dampak pandemi. Angka kemiskinan pada Maret 2020 melonjak 1,63 juta orang menjadi 26,42 juta orang menurut BPS. Dan diperediksi jumlah angka kemiskinan hingga akhir 2020 mencapai 28,7 juta orang.
Di tengah kondisi rakyat yang sulit di atas, pemerintah seperti kehilangan sensitivitas. Pemerintah resmi menaikkan iuran BPJS pada Mei 2020. Pada perawatan kelas III, iuran Rp25.500 meningkat menjadi Rp42 ribu Peserta kelas II, iuran sebesar Rp51 ribu dinaikkan menjadi Rp100 ribu. Pada kelas I, iuran yang sebelumnya Rp80 ribu dinaikkan sampai Rp150 ribu.
Selanjutnya, di bawah pemerintahan Jokowi-Ma’ruf Amin Indonesia semakin tergantung dengan utang yang akan diwariskan kepada anak cucu. Bahkan, berdasarkan laporan Bank Dunia, Indonesia berada di peringkat ke-6 dengan jumlah utang luar negeri terbesar di dunia.
Pemerintah juga terkesan memaksakan sejumlah agenda legislasi dengan mengesahkan UU Cipta Kerja yang kontroversial pada Oktober 2020. Padahal, UU ini dinilai cacat formil dan materil, tidak transparan, tidak terbuka, dan minim partisipasi publik oleh masyarakat sipil dan akademisi sehingga menimbulkan penolakan yang luas dimana-mana.
Ketua Fraksi PKS DPR ini juga menggarisbawahi pentingnya kebijakan pemerintah dalam mewujudkan harmoni sosial politik di masa pandemi. Pemerintah harus tampil seutuhnya sebagai solidarity maker, merangkul seluruh anak bangsa, menjadi unsur perekat bagi seluruh rakyat untuk mengatasi persoalan bangsa.
Sementara itu, Anggota Komisi IX DPR RI Kurniasih Mufidayati memberikan catatan kebijakan kesehatan selama 2020. Mufida menyebut respons pemerintah terhadap Pandemi Covid-19 menjadi catatan besar.
Ia menilai pemerintah terkesan meremehkan masuknya virus Covid-19. Mulai dari pernyataan virus tidak akan masuk, bisa sembuh sendiri dan telatnya menyatakan sebagai bencana nasional.
Ditambah lagi, saat awal-awal pemerintah justru mempromosikan wisata dengan berbagai insentif. Dibanding negara-negara tetangga, Indonesia termasuk yang paling akhir dalam menutup kedatangan dari negara-negara yang sudah terjadi pandemi covid-19.
“Ketidaksigapan ini berakibat pada langkanya Alat Pelindung Diri, kurangnya lab pemeriksaan spesimen, kurangnya alat kesehatan seperti ventilator dan minimnya kesiapan RS untuk penanganan Covid,” papar Mufida.
Pada pertengahan, persoalan semakin pelik. Kampanye new normal yang salah kaprah hingga tidak sinkronnya pemerintah pusat dan daerah membuat grafik konfirmasi positif Covid terus menanjak. Hingga 10 bulan sejak diumumkannya kasus pertama, Indonesia belum lepas dari gelombang pertama.
“Akibatnya tenaga kesehatan kita kolaps. Selama 10 bulan pandemi sampai 28 Desember, 507 tenaga medis telah gugur dalam menjalankan tugasnya dan terbanyak justru di bulan Desember sebanyak 98 orang,” ungkap Mufida.
Mufida menilai, pendekatan penanganan pandemi bukan hanya soal vaksinasi semata. PR menteri kesehatan yang baru, ujar dia, adalah menjawab keraguan publik untuk bisa mengendalikan pandemi covid ini lebih baik dibanding sebelumnya.
“Membuat kebijakan dan langkah-langkah yang tepat untuk mengendalikan penyebaran Covid-19. Meningkatkan testing-tracing-treatment, menjamin ketersediaan APD dan alkes yang dibutuhkan,” tandasnya. (khf/fin)