Indahnya Religi, Ilmu, dan Budaya

Kamis 10-03-2016,10:54 WIB

GMT  Terlihat Sempurna di Ternate dan Pantai Parigi BELITUNG- Luar biasa. Sesuai dengan prediksi para ahli astronomi, gerhana matahari total (GMT) melintasi sejumlah daerah di Indonesia kemarin pagi (9/3). Fenomena alam langka yang membuat siang menjadi gelap seperti malam itu merupakan anugerah yang luar biasa. Gerhana matahari total tidak hanya membuat jutaan warga dan turis mancanegara yang berkunjung ke Bangka Belitung hingga Halmahera berdecak kagum. Namun, momen terhalangnya sinar matahari ke bumi oleh bulan itu juga memamerkan indahnya keyakinan religi, canggihnya ilmu pengetahuan, serta indahnya atraksi budaya yang disatukan dalam satu momen acara. Dari pantauan media-media Jawa Pos Group, semua daerah yang menyiapkan penyambutan momen "hilangnya" sang kala meraup keuntungan berlipat ganda. Di Belitung, misalnya, pengamatan GMT yang dipusatkan di Pantai Tanjung Kelayang disambut warga dengan begitu spektakuler. Hampir tidak ada sejengkal pasir pantai pun yang terlihat karena penuh sesak oleh warga. Gairah menjadi saksi momen sekali seumur hidup itu terasa sejak pagi buta. Sekitar pukul 04.00, pemburu gerhana (eclipse hunter) bergegas berangkat dari pusat Kota Belitung di Tanjung Pandan menuju Pantai Tanjung Kelayang yang merupakan salah satu lokasi film Laskar Pelangi. Suasana religi muncul karena pelataran sasana Tanjung Kelayang dimanfaatkan untuk salat Gerhana Matahari. Ada ratusan orang yang mengikuti salat berjamaah tersebut. Sebelum salat dimulai dan gerhana mulai muncul, sayup-sayup takbir terus menggema. Salat Gerhana Matahari yang diimami Kepala Kantor Kementerian Agama Belitung Muhammadiyah rampung sebelum puncak gerhana matahari terjadi. Inti khotbah salat Gerhana Matahari kemarin adalah menyeru kepada umat untuk selalu mengingat Tuhan. Dengan adanya fenomena spektakuler seperti gerhana matahari total (GMT), manusia sebagai hamba Allah harus merasa sebagai mahkluk yang tidak ada apa-apanya. Setelah salat selesai, jamaah membaur bersama warga yang lain. Dalam tahap itu, giliran unsur ilmu pengetahuan menampakkan diri. Pengamatan GMT di Belitung diikuti Menteri Pariwisata (Menpar) Arief Yahya dan Menteri Perhubungan Ignasius Jonan. Awalnya, masyarakat sempat agak kecewa ketika awan tebal menutupi awal-awal terjadinya gerhana. Tetapi, setelah matahari tertutup separo, tepuk tangan dan sorak-sorai terdengar meriah. Sebab, awan yang menutup matahari mulai menipis, bahkan sempat beberapa kali bebas awan. Memasuki puncak gerhana, langit mendadak gelap. Kondisinya hampir mirip saat fajar mulai menyingsing. Di ujung laut bagian timur, terpancar cahaya kuning keemasan. Itu terjadi karena sinar matahari yang terhalang bulan hanya yang mengarah ke Tanjung Kelayang. Sementara itu, masih ada sinar yang berpendar dan membuat langit di ujung timur terlihat menguning. Saat terjadi fase gerhana matahari total, warga tidak bisa menikmati seratus persen. Sebab, setelah 5- 10 detik puncak gerhana, awan datang. Awan itu agak tebal dan menutupi bagian tengah sampai bawah matahari. Namun, sekilas pancaran korona terlihat dengan mata telanjang secara sama-samar. Setelah puncak GMT selesai dan matahari berangsur normal, di Pantai Tanjung Kelayang dilaksanakan upacara budaya. Sajian itu melengkapi unsur religi dan ilmu pengetahuan yang terjadi sebelumnya. Sejumlah tarian tradisional disajikan dalam pergelaran tersebut. Tidak terkecuali tari kolosal berjudul Pendulang Timah karya Andrea Hirata. Dalam sambutannya, Menpar Arief Yahya menyatakan, jumlah pengunjung Pantai Tanjung Kelayang mencapai 50 ribu orang. Pada masa-masa liburan biasa, paling banyak wisatawan yang mampir ke Tanjung Kelayang hanya 5 ribu orang. "Jadi, wajar kalau penuh sesak di sepanjang pantai,"  ujarnya. Dia menyatakan, banyak dampak positif pascafenomena GMT. Antara lain, penjajakan Bandara Hanandjoeddin menjadi bandara internasional. Kemudian, peningkatan status jalan penghubung Belitung dengan Belitung Timur menjadi jalan nasional. Pemandu travel yang mendampingi rombongan Dwidayatour Escape Jolly mengungkapkan, kondisi di Tanjung Kelayang kemarin benar-benar ramai. Selama puluhan tahun tinggal di Belitung, dia belum pernah merasakan keramaian manusia seperti itu. "Lebaran biasanya juga ramai, tapi tidak sebanyak ini," ungkapnya. Dia mendapat informasi, jalan sepanjang lebih dari 2 km menuju Tanjung Kelayang macet sejak Rabu dini hari. Sempurna Penampilan sempurna gerhana matahari total (GMT) terlihat di Pantai Parigi Moutong, Sulawesi Tengah. Seperti di Belitung, antusiasme warga Parigi Moutong terlihat sejak pagi buta. Dengan mengendarai sepeda motor dan mobil, warga berbondong-bondong berdatangan menuju lokasi pengamatan GMT. Fajar belum menyingsing, Pantai Parigi sudah sesak oleh warga. Mereka sibuk memilih tempat yang dirasa pas untuk melihat fenomena alam yang baru datang di tempat yang sama puluhan tahun lagi itu. Tempat pengamatan di Pantai Parigi sangat indah. Pantai pasir putih tersebut dulu merupakan lokasi Sail Tomini. Salah seorang warga Hamdi Anwar mengaku berada di pantai sejak pukul 03.30. Dia rela begadang demi melihat GMT. Tidak ketinggalan, warga asli Parigi itu juga membawa kacamata antiradiasi sinar matahari. "Ini momen yang sangat langka. Jadi, tidak boleh disia-siakan," ucapnya kemarin. Pukul 06.30 Wita, para petugas dari Lembaga Penerbangan dan Antariksa (Lapan) mulai bersiap di lokasi. Dengan cepat, peneliti Lapan segera menemukan posisi matahari. Sebab, pagi itu tidak ada awan tebal yang menutupi langit. Matahari jelas terlihat bersinar terang. Setelah posisi dikunci, teleskop secara otomatis mengikuti gerakan pusat tata surya tersebut. Jawa Pos dan tim ahli Lapan mengamati layar laptop. Di sana, matahari terlihat bulat berwarna kuning. Ketua Tim Peneliti Lapan Agustinus Gunawan Admiranto terlihat gembira. Penyebabnya, kondisi cuaca sesuai dengan harapan. Sangat cerah. Berkali-kali dia melihat langit, memastikan tidak ada awan tebal yang seketika muncul menjadi pengganggu. "Kalau terus seperti ini, GMT jelas bisa dilihat," tuturnya. Tidak lama kemudian, langit semakin temaram. Tidak hanya itu. Suhu udara juga mulai turun. "Suhu turun sekitar 2 derajat Celsius," tutur Gunawan sambil melihat pengukur suhu di tangannya. Penurunan suhu itu juga dirasakan Menteri Koordinator Bidang Politik Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam) Luhut Pandjaitan yang kemarin meninjau pengamatan di Parigi Moutong. Berkali-kali dia menggosok kulit tangan dengan telapaknya. "Wah, kayak habis subuh dinginnya," ucap Luhut. Dugaan Agustinus tidak meleset. Tepat pukul 08.39 Wita, matahari dan bulan benar-benar bersatu. GMT terlihat sempurna di Pantai Parigi. Di langit terlihat bundaran tengah matahari yang tertutup cahaya hitam. Namun, tidak tertutup semuanya. Masih ada pinggiran matahari yang terlihat. Sebab, bulan memang lebih kecil daripada matahari. Saat itulah suasana gelap seperti malam menyelimuti sepanjang mata memandang di Pantai Parigi. Ribuan warga senyap beberapa detik seakan terkesima merasakan fenomena yang mungkin belum pernah dirasakan dalam hidupnya. "Allahu akbar."  "Subhanallah." Terdengar ungkapan kekaguman ciptaan Tuhan bersahut-sahutan. Sebagian warga lain mulai sibuk mengabadikan fenomena alam itu dengan kamera dan handphone. Sekitar dua menit, tepatnya pada pukul 08.41 Wita, perlahan bulan mulai lepas dari matahari. Di laptop bayangan hitam terlihat menjauh perlahan. Semakin lama semakin menjauh dan akhirnya pukul 10.01 Wita, matahari sudah bersinar dengan normal. Gunawan mengaku, seluruh prediksi sudah sesuai dengan perhitungan awal. Lama gerhana dua menit satu detik. Dia mengaku, sebenarnya Parigi Moutong bukan tempat yang diperhitungkan bisa menangkap gerhana 100 persen dengan jelas. "Ternyata, pengamatan berjalan lancar dan sukses," tuturnya. Terhalang Awan Meskipun tertutup awan, pesona gerhana matahari total (GMT) tidak berkurang di Palembang, Sumatera Selatan. Pantauan Sumeks (Jawa Pos Group), Jembatan Ampera yang merupakan tempat pemantauan GMT dipadati puluhan ribu orang. Kepadatan menyerupai lautan manusia terlihat di Masjid Agung, BKB, sekitar pasar 16 Ilir, hingga Kelenteng 10 Ulu. Pemkot Palembang mengemas penyambutan GMT dengan luar biasa. Ribuan orang ditraktir sarapan pagi di atas Jembatan Ampera sambil menyaksikan dan mendengar live lagu-lagu jazz dan saksofon di panggung khusus. Di barisan depan undangan, tampak Gubernur Sumsel Alex Noerdin didampingi Wali Kota Palembang Harnojoyo, mantan Menko Perekonomian Hatta Rajasa, dan wakil dari Kesultanan Palembang. Kawasan Ampera semakin padat dan terasa tak bisa lagi "bergerak" hingga akhirnya waktu menunjukkan pukul 07.20 WIB, detik-detik terjadinya matahari total. Saat itu cuaca terlihat sedikit mendung. Dari balik kacamata gerhana, terlihat matahari benar-benar ditutupi awan.     Namun, suasana sekitar mulai terlihat gelap. Ratusan masyarakat tampak terburu-buru menghidupkan ponsel dan berfoto selfi. Satu menit lebih sudah berlalu, secara perlahan bulan pun meninggalkan matahari. Setelah proses gerhana matahari total selesai, Gubernur Noerdin menyatakan bersyukur sudah bisa menyaksikan GMT secara langsung. "Ini fenomena alam, menunjukkan kebesaran Allah," katanya. Dengan adanya momen GMT tersebut, Noerdin berharap banyak pelajaran yang bisa dimanfaatkan para ilmuwan. Kondisi hampir tertutup awan terjadi di salah satu titik pengamatan gerhana paling ramai di Ternate, landmark kota di Jl Pahlawan Revolusi. Lokasi itu terbilang strategis lantaran berada tepat di tepi laut di pusat Kota Bahari Berkesan. Bersama ribuan warga, Wali Kota Ternate Burhan Abdurahman hadir dengan sejumlah tokoh seperti mantan Menko Polhukam Tedjo Edhy Purdijatno dan mantan Kepala Bappenas Andrinof Chaniago. Sementara itu, ahli waris takhta Kerajaan Thailand Her Royal Highness Princess Maha Chakri Sirindhorn menikmati momen GMT dari halaman Kedaton Kesultanan Ternate. Putri sulung Raja Bhumibol Adulyadej itu menggunakan teleskop untuk memantau gerhana. Beberapa kali perempuan berbusana ungu tersebut bertepuk tangan penuh kegembiraan ketika matahari perlahan hilang tertutup bulan. Bukan hanya tokoh penting dan ribuan wisatawan, GMT di Malut juga diburu ratusan peneliti. Badan antariksa Amerika Serikat NASA, Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan), dan astronom dari berbagai negara telah menempatkan diri di titik-titik ideal sejak beberapa hari sebelumnya. Di Hotel Bukit Pelangi Ternate misalnya, tiga guru besar bidang astronomi dari Universitas Kebangsaan Malaysia mengamati detik-detik pergeseran matahari menuju bulan. Datuk Muhammad Zambri bin Zainudin, Datuk Hi Muhammad Yosuf bin Ahmad, dan Datuk Muhammad Famyes bin Abdul Wahid melakukan pengamatan dengan didampingi 52 anggota rombongan lainnya. Sebanyak 19 di antara mereka masih berstatus mahasiswa. "Ini (gerhana, Red) menunjukkan bahwa Allah mahakuasa. GMT kali ini adalah ke-12 kalinya saya menyaksikan gerhana meski tak semuanya gerhana total," tutur Zambri yang merupakan pimpinan tim. Menjelang gerhana total, Zambri dan rekan-rekannya melakukan satu eksperimen sederhana. Mereka meletakkan dua butir telur ayam di tanah. Mendekati waktu gerhana, telur-telur itu tiba-tiba berdiri tegak. "Ini karena pengaruh tingginya tingkat gravitasi," ujar Zimbran yang disambut ucapan subhanallah oleh anggota tim. Sejumlah media elektronik, baik asing maupun nasional, turut menyiarkan peristiwa langka itu secara langsung. Kru Al Jazeera dan CNN memilih Kota Maba, Halmahera Timur, sebagai lokasi penyiaran. Pemburu gerhana yang memilih Ternate sebagai tempat memantau GMT boleh dibilang amat beruntung. Selain durasinya tergolong lama, langit Ternate, sesuai prediksi BMKG, sangat cerah pada puncak GMT. Kondisi berbeda justru dirasakan pemantau gerhana di Kota Maba, Halmahera Timur. Meski durasi di Maba merupakan yang terlama di dunia, yakni 3 menit 17 detik, awan hitam menutupi pandangan pemantau tepat ketika detik-detik menuju GMT. Ketika awan hitam perlahan bergerak menghalangi pandangan ke matahari, secara spontan para pemantau yang merupakan gabungan peneliti dan wisatawan berteriak-teriak "mengusir" awan. Tak hanya teriakan dari mulut, tangan mereka pun dengan sendirinya bergerak seakan mengusir pergi si awan hitam. Cuaca yang tidak bersahabat tersebut membuat sejumlah peneliti mengaku gagal meneliti GMT. Sebagian lagi hanya bisa meneliti kurang dari durasi total GMT di Maba, yakni sekitar 2 menit. Awan tebal yang bergelayut saat detik-detik proses terjadinya GMT rupanya amat berpengaruh pada hasil penelitian mereka. "Jadi, hasil amatan tadi tidak jelas karena pengaruh awan yang cukup tebal. Tapi, hasil penelitiannya tetap digunakan," tutur Loe Rijadi, salah seorang peneliti Lapan, saat ditemui di lapangan Jiko Mobon. Kekecewaan juga dirasakan peneliti yang memantau dari Hotel Kartika Buli. Jana Hederova, peneliti asal Amerika Serikat, menyatakan, peralatan berteknologi tinggi yang telah mereka siapkan tidak bisa dimanfaatkan secara maksimal. "Kami berharap rekan-rekan yang meneliti dari Pulau Tengah dapat menyaksikan GMT dengan lebih sempurna," ujarnya. (wan/aph/JPG/kim)

Tags :
Kategori :

Terkait