Demi Slayer, Turuni Gua Sedalam 95 Meter
Olahraga alam bebas tengah digemari di Purbalingga. Selain menjamurnya komunitas pecinta alam, panjat tebing, canyoning, slack line, cliff jumping, dan lainnya. Kini muncul komunitas Single Rope Technique (SRT) Purbalingga.
BANGGA : Meski ada rasa takut, namun anggota Komunitas SRT bangga bisa menuruni Gua Gubug.
GALUH WIDOERA, Purbalingga
Usia SRT Purbalingga belum lama, baru satu tahun lebih. Tepatnya pada 7 Maret 2016, digawangi tokoh senior pecinta alam di Purbalingga, Christian Wijaya, dibentuk komunitas SRT.
SRT merupakan teknik untuk melintasi lintasan vertikal yang berupa satu lintasan tali. Teknik tersebut digunakan untuk melakukan penelusuran gua (caving), vertical rescue, dan menjelajahi tempat-tempat yang mutahil dijangkau dengan pijakan kaki.
Christian dan enam orang lainnya yang berasal dari berbagai organisasi pecinta alam, sepakat membentuk komunitas tersebut. Komunitas berdiri dilatarbelakangi oleh kecintaan pada kegiatan alam bebas. Selain itu, di Purbalingga masih sedikit expert dalam SRT. Padahal teknik ini penting dikuasai untuk melakukan penjelajahan dan penyelamatan.
“Di luar kota sudah banyak berdiri komunitas serupa. Bahkan SRT telah diperlombakan di ajang-ajang regional dan nasional. Tapi di Purbalingga belum ada. Saya sendiri sangsi, hanya sedikit orang yang menguasai. Kalau dibilang expert kebanyakan dari anggota Basarnas atau TIM Search and Rescue yang ada di Purbalingga,” terang Christian yang belajar SRT di Gappala, Keluarga Pecinta Pengamat Lingkungan dan Alam Universitas Kristen Dutawacana.
Bersama enam orang lainnya, yakni Dwi Rahmat Hidayah, Riska Saraswati, Yogi Rahmawan, Firman, Heri Wijaya, dan Tedi, angkatan pertama SRT Purbalingga rutin berlatih menuruni tali (descending) dan menaiki tali (ascending) di jembatan-jembatan di Purbalingga. Tali Kernmantel, Carabiner, Sling, Discneder, Harness, Ascention, Croll, Maillon Rapide, Cow’s tail, dan Foot Loop menjadi peralatan wajib yang harganya mencapai jutaan rupiah.
“Setelah rutin berlatih dan tiap anggota dinilai mampu menguasi SRT, 6 Agustus lalu, kami melakukan pengambilan slayer atau tanda anggota di Gua Grubug, Gunung Kidul, Wonosari. Kedalaman gua vertical di sana mencapai 95 meter,” ujarnya.
Meskipun rutin berlatih, Dwi Rahmat Hidayah (19) yang baru lulus dari SMK YPLP Perwira Purbalingga, masih merasakan ngeri dengan kedalaman gua tersebut. Saat turun, doa-doa keselamatan terus dia ucapkan dalam hati.
“Di Purbalingga paling tinggi 20 meter. Di Grubug, dasar gua hampir tidak kelihatan. Ternyata saya masih penakut untuk menghadapi ketinggian dan bergantung dengan satu tali,” ucapnya.
Ketika menuruni tali sepanjang 95 meter, Dwi membutuhkan waktu sekitar 15 menit. Sementara saat naik tergantung dengan stamina. Dan dia membutuhkan waktu 20 menit, sementara anggota lainnya ada yang membutuhkan waktu antara 20 hingga 40 menit.
“Cepat lambatnya tergantung dengan stamina, mental, dan kecepatan. Karena rutin berlatih dan berolahraga, stamina dan mental kami sedikit demi sedikit terbentuk dengan bagus,” katanya.
Hal yang sama dikatakan Riska Saraswati (20), anggota dari Smabongsa (Komunitas Pecinta alam di SMAN 1 Kejobong). Srikandi tersebut telah terlatih keberaniannya dalam olahraga alam bebas selama sekolah SMA. Naik gunung, panjat tebing, dan arung jeram pernah dialakukan. Hanya saja, menyelami gua dalam baru pernah dilakukan kali ini.
“Gua Grubug merupakan ujung Gua Jomblang. Dalam bahasa lokal disebut luweng Jomblang (lubang, red). Menuruninya ada takut-takutnya. Tapi setelah melewatinya, keindahan yang biasa disebut ‘cahaya surga’ pasti akan memberikan kepuasan batin,” ujarnya.
Dikatakan, didalam Gua Grubug tidak memiliki zona gelap abadi. Karena itu, tanpa bantuan penerangan anggota SRT Purbalingga dapat menikmati keindahannya.
“Setelah melakukan ascending dan descending, Kami push up, mencium bendera, kemudian penyematan slayer anggota. Setelah itu baru melakukan pemetaan gua dan penelitian dinding gua beserta tanaman dan tumbuhan sebagai bagian dari kegiatan caving (susur gua). Pegiat alam bebas juga berkewajiban untuk mewariskan pengetahuan dan menjaga alam yang dipijaknya” terangnya. (*/sus)