CILACAP, RADARBANYUMAS.CO.ID — Bagi setiap insan, pernikahan adalah momen sakral yang begitu dinantikan. Sebuah peristiwa yang diharapkan hanya terjadi sekali seumur hidup, menjadi ikatan suci antara laki-laki dan perempuan untuk hidup bersama dalam suka dan duka. Pernikahan bukan hanya penyatuan dua hati, melainkan juga pertemuan dua keluarga besar yang berbeda latar, budaya, dan karakter. Dari perbedaan itu tumbuh keindahan, karena tujuannya bukan sekadar untuk membangun rumah tangga, melainkan membentuk keluarga yang penuh kedamaian, saling menghargai, dan berlandaskan cinta kasih.
Indonesia sebagai negara yang kaya akan budaya memiliki beragam adat dan tradisi pernikahan. Tiap daerah memiliki cara unik untuk mengungkapkan makna sakral pernikahan. Di tanah Banyumas, yang dikenal dengan logat khas dan karakter masyarakatnya yang lugas, terdapat satu tradisi yang menonjol dan tidak dijumpai di daerah lain: Begalan Banyumasan.
Begalan adalah salah satu seni tutur dan pertunjukan tradisional Banyumas yang biasa disajikan dalam rangkaian upacara pernikahan. Kata “begalan” berasal dari “begal” yang berarti perampokan. Namun dalam konteks budaya, begalan tidak berarti tindakan kriminal, melainkan simbol nasihat kehidupan yang dikemas dalam bentuk lawakan dan drama ringan.
Tradisi ini memiliki makna yang dalam. Di balik canda dan tawa para pemainnya, terselip pesan moral dan filosofi rumah tangga bagi kedua mempelai. Pertunjukan ini biasanya disajikan setelah prosesi akad nikah atau saat resepsi di rumah mempelai perempuan, khususnya bila yang menikah adalah anak pertama dengan anak pertama, anak bungsu dengan anak bungsu, atau anak pertama dengan anak bungsu.
Dalam satu pertunjukan Begalan, ada dua tokoh utama yang berperan penting. Yang pertama adalah Gunareka, yaitu tokoh yang membawa brenong kepang —sebuah pikulan berisi perlengkapan rumah tangga tradisional seperti kukusan, irus, tampah, siwur, kendil, dan sebagainya. Tokoh kedua adalah Rekaguna, yang berperan sebagai “pembegal”.
Gunareka digambarkan sebagai sosok polos dan baik hati, sedangkan Rekaguna berperan sebagai pengganggu yang cerewet, cerdik, dan jenaka. Meski tampak bertengkar dan berebut barang bawaan, pada akhirnya kedua tokoh ini akan berdamai, menyampaikan petuah-petuah kehidupan yang menjadi inti dari pertunjukan Begalan.
Selain kedua pemain utama, pertunjukan Begalan juga biasanya diiringi oleh musik gamelan Banyumasan dengan lagu-lagu khas seperti Gending Eling-eling atau Gending Udan Mas. Irama gamelan yang ceria menambah semarak suasana hajatan.
Tradisi Begalan digelar setelah prosesi akad nikah atau pada acara resepsi pernikahan, biasanya bertempat di rumah mempelai perempuan. Dalam pernikahan pasangan Meilani Habibah binti Suheri Widodo dan Ahmad Fatoni putra Madiyono Mulyono di Desa Menganti, Kecamatan Kesugihan, Kabupaten Cilacap, pertunjukan Begalan menjadi daya tarik utama yang memikat perhatian para tamu undangan.
Di bawah tenda berhias janur kuning dan bunga segar, dua pelaku Begalan mulai memasuki area pertunjukan dengan iringan gamelan. Anak-anak kecil berlarian di depan panggung, sementara orang tua tersenyum menanti guyonan khas Banyumasan yang terkenal blak-blakan namun sarat makna.
Asal-usul Begalan konon berakar dari kisah Adipati Wirasaba yang menikahi putri Adipati Banyumas pada masa lampau. Dalam perjalanan menuju lokasi pernikahan, rombongan pengantin Wirasaba diserang oleh sekelompok perampok. Terjadi pertempuran sengit antara dua pihak, dan rombongan Adipati Wirasaba berhasil mengalahkan para begal. Tempat terjadinya pertempuran itu kemudian dikenal dengan nama Sokawera.
Sejak saat itu, kisah tersebut dijadikan simbol dan diangkat menjadi tradisi. Begalan pun berkembang sebagai bentuk simbolis dari perjuangan menjaga keharmonisan rumah tangga. Dalam versi modern, begalan bukan tentang pertarungan fisik, melainkan adu kata dan nasihat bijak melalui dialog antara dua pemain.
Tradisi ini pertama kali diperkenalkan secara resmi kepada masyarakat Banyumas sekitar tahun 1850, pada masa pemerintahan Bupati Banyumas XIV, Raden Adipati Tjokronegoro. Hingga kini, Begalan tetap menjadi bagian penting dari adat pernikahan masyarakat Banyumasan.
Dalam Begalan, barang-barang yang digunakan disebut brenong kepang, yaitu kumpulan alat-alat dapur yang dipikul menggunakan bambu. Setiap benda memiliki makna simbolis yang menjadi pelajaran hidup bagi pengantin baru:
- Pikulan: Melambangkan keseimbangan peran antara laki-laki dan perempuan dalam rumah tangga. Seperti pikulan yang harus seimbang agar tidak jatuh, demikian pula kehidupan rumah tangga memerlukan keseimbangan dalam hak dan kewajiban.
- Iyan (tampah persegi): Menandakan kesiapan seseorang untuk berinteraksi dan bersosialisasi dengan masyarakat setelah menikah. Rumah tangga tidak hanya urusan pribadi, tetapi juga bagian dari kehidupan sosial.
- Pedang Wlira: Simbol tanggung jawab seorang suami untuk melindungi keluarganya dari berbagai marabahaya, baik lahir maupun batin.
- Irus dan Centong: Mengandung makna agar pasangan suami istri mampu menahan diri dari godaan yang dapat mengganggu keharmonisan rumah tangga.
- Kendil (periuk tanah liat): Melambangkan wadah kehidupan. Ia kuat bila dijaga, namun mudah pecah bila diabaikan. Pesannya, rumah tangga harus dijaga dengan sabar, saling pengertian, dan kasih sayang agar tidak retak oleh amarah dan ego.
- Kukusan: Simbol dari rezeki dan sumber kehangatan keluarga.
- Sapu lidi: Menandakan pentingnya persatuan. Sehelai lidi tidak berguna, namun bila disatukan menjadi sapu, ia mampu membersihkan segalanya.
Setiap benda yang dibuka dari pikulan dijelaskan maknanya satu per satu oleh pemain Begalan dengan gaya humor khas Banyumasan. Walau lucu dan terkadang jenaka, maknanya mengandung wejangan moral yang mendalam.
Acara Begalan biasanya dibuka oleh pembawa acara yang memberi pengantar, kemudian dilanjutkan dengan musik gamelan pengiring. Dua pemain memasuki arena, satu memikul brenong kepang, satu lagi datang dari arah berlawanan sambil bersiul atau menari kecil.