JAKARTA, RADARBANYUMAS.DISWAY.ID - Indonesia adalah negara besar dengan beragam suku, agama, kepercayaan, ras, dan golongan. Keberagaman ini adalah kekayaan yang harus kita pelihara bersama. Toleransi antarumat beragama menjadi kunci untuk menjaga persatuan dan kesatuan bangsa. Oleh karena itu, sebagai negara yang berlandaskan Pancasila, Indonesia harus memperkuat semangat toleransi dan keberagaman, bukan merusak persatuan.
Semboyan Bhinneka Tunggal Ika menjadi perisai dalam menjaga keutuhan bangsa dan negara sejak zaman nenek moyang. Toleransi, pluralisme, dan kerukunan beragama telah menjadi bagian dari identitas bangsa Indonesia. Namun, tantangan muncul dari beberapa organisasi masyarakat (ormas) keagamaan yang mencoba membangun hegemoni dengan tafsir tunggal mengenai pelarangan ucapan salam lintas agama dan selamat hari raya keagamaan.
Hasil ijtima ini berpotensi merusak kemajemukan bangsa Indonesia yang terdiri dari 714 etnis, keragaman agama, dan kepercayaan yang telah hidup berdampingan secara damai selama ratusan tahun. Negara tidak boleh tunduk pada hasil ijtima yang menyebabkan eksklusivitas dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
MUI sebagai sebuah organisasi masyarakat harus tunduk pada Pancasila dan UU Organisasi Kemasyarakatan yang mengatur bahwa setiap ormas wajib menjaga persatuan dan kesatuan bangsa serta keutuhan NKRI. Penerbitan hasil ijtima MUI tentang pelarangan ucapan salam lintas agama dan selamat hari raya keagamaan jelas bertentangan dengan kewajiban ormas sebagaimana diatur dalam Pasal 21 huruf b UU Organisasi Kemasyarakatan.
Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) sebagai representasi negara yang bertugas menginternalisasi nilai-nilai Pancasila memiliki peran untuk memastikan kesatuan dan keutuhan berbangsa dan bernegara agar tidak diintervensi oleh dominasi kekuatan agama tertentu. Atas permasalahan ini, BPIP memberikan respons sebagai berikut:
Teologis: Terdapat perbedaan antara agama dan pemikiran agama, agama dan penafsiran agama. Hasil ijtima adalah pemikiran agama dengan tafsir yang majemuk, bukan mutlak, dan harus mempertimbangkan dokumen serta kesepakatan internasional seperti The Amman Message, Marrakesh Declaration, Abu Dhabi Declaration, dan kesimpulan seminar internasional Universitas Al-Azhar. Pancasila, sebagai konsensus tertinggi, telah diuji dan terbukti secara substantif, tidak dihegemoni oleh ajaran agama tertentu tetapi merepresentasi substansi dari ajaran agama.
Sosiologis: Hasil ijtima tentang pelarangan ucapan salam lintas agama dan selamat hari raya keagamaan mengancam eksistensi Pancasila dan keutuhan bangsa yang telah menjadi kearifan lokal sejak ratusan tahun. Keutuhan bangsa yang telah hidup ratusan tahun tidak boleh direduksi oleh kelompok keagamaan tertentu yang berpotensi mempolarisasi, mendisharmonisasi, dan mendisintegrasi keutuhan berbangsa.
Yuridis Islam: Hasil ijtima yang dibuat hanya memiliki daya mengikat secara internum umat muslim dalam forum keagamaan muslim, sehingga tidak boleh dipaksakan ke dalam forum publik secara eksternum karena akan mereduksi nilai-nilai persatuan dan penghargaan terhadap kemajemukan berbangsa.
Konstitutif: Pancasila sebagai dasar hukum tertinggi harus menjadikan seluruh kebijakan tunduk dan mengacu pada nilai-nilai Pancasila. Pancasila menjadi pedoman dalam setiap penyusunan produk hukum dan kebijakan yang menyangkut kepentingan umum.
Peran Negara dan Masyarakat: Kehadiran negara dan peran masyarakat sangat dibutuhkan untuk menjaga eksistensi Pancasila di ruang publik demi terciptanya kesetaraan bagi setiap warga negara. Setiap warga negara Indonesia wajib melaksanakan konsensus Pancasila, termasuk toleransi dan penghormatan terhadap perbedaan dalam bingkai Bhinneka Tunggal Ika.
BPIP menekankan pentingnya toleransi dan keberagaman untuk menjaga persatuan bangsa, serta menolak segala bentuk eksklusivitas yang bertentangan dengan nilai-nilai Pancasila dan keutuhan NKRI. (*)