Harus Naik Bukit Demi Sinyal Jadi Perjuangan Siswa MTs Pakis Desa Pesawahan Saat Belajar Secara Daring

Harus Naik Bukit Demi Sinyal Jadi Perjuangan Siswa MTs Pakis Desa Pesawahan Saat Belajar Secara Daring

BERI ARAHAN: Isrodin, guru pendamping siswa MTs Pakis, Desa Gununglurah, Kecamatan Cilongok, memberikan arahan sebelum anak didinya mengikuti ujian tengah semester hari kedua, Selasa (22/9). DIMAS PRABOWO/RADARMAS Pandemi covid-19 membuat belajar mengajar dilakukan secara daring. Bagi siswa yang tinggal di wilayah yang "kaya" sinyal mungkin tidak masalah. Namun, berbeda dengan siswa yang tinggal di wilayah minim sinyal. M MAHDI SULISTIYADI, Banyumas Bukit Dekimati begitulah anak-anak sana menyebutnya. Dikelilingi petilasan. Bercandaan Radarmas dengan sang guru, kami menyebutnya "bukit sinyal". Tingginya sekitar 700 mdpl. Dari pemukiman, titik ini paling tinggi. Dikelilingi pohon pinus Perhutani, sembilan anak sekolah sibuk memainkan gawai. https://radarbanyumas.co.id/sadar-sinyal-susah-orari-kebumen-fasilitasi-siswa-di-sdn-kalijering-padureso-gunakan-ht-untuk-belajar/ Mereka murid MTs Pakis, Grumbul Pesawahan, Desa Gununglurah. Tak sedang main-main. Mereka tengah menghadapi ujian tengah semester. Dari sekolahnya, mereka harus berjalan sekitar 500 meter. Hanya di lokasi itu, baru ada sinyal. Meski sebetulnya ujian itu dibagi tiga kelompok di tiga titik. Tergantung kedekatan rumah siswa. Tak banyak siswa di sekolah itu. Jumlah siswanya ada 20. Itu bukan satu angkatan. Terbagi, kelas 7 ada 6 siswa. Kelas 8 ada 4 siswa. Dan kelas 9 ada 10 siswa. Ini merupakan ujian tengah semester. Sudah dua kali mereka melakukan ujian seperti ini. Di tengah hutan. Dengan gawainya. Tentu karena pandemi. Karena masih dilarangnya pertemuan tatap muka (PTM). Isrodin, bolehlah disebut relawan, juga boleh disebut guru, pegawai, pengasuh. Rangkapnya banyak. Meski tak selaras dengan pendapatannya. "Ujian dimulai pukul 07.30 WIB sampai Duhur," ujarnya. Tak semua anak itu memiliki gawai. Akhirnya, gawai milik Isrodin dipinjamkan kepada beberapa yang tidak memiliki. Secara bergantian. Pun mereka yang membawa itu milik orang tuanya. "Paling gampang sinyal memang disini. Jadi dulu, awalnya, sebelum ujian kita cari dulu lokasi yang ada sinyal. Ya disinilah," tuturnya. Hari itu, Selasa (22/9), mapel pertamanya Matematika. Cukup memusingkan, anak-anak sepakat soal itu. Di tengah hutan, di atas bukit mereka mencoba pecahkan ilmu pasti itu. Namanya alam terbuka, prediksi cuaca pun tak bisa ditebak. Lalu bagaimana jika hujan? "Ya kami ujian sambil pakai payung. Di sini," lanjut Isrodin. Sebelum ujian, cara mereka belajar pun unik. Menggunakan HT. Jelas, tak semua anak pegang alat itu. Metodenya, satu sekolah dibagi jadi lima kelompok. Tergantung kedekatan rumah. Tak masalah kalau beda kelas. "Baru kemudian kita mengajari. Itu saja bergantian," katanya. "Karena bergantian, ya waktunya terkuras habis," imbuhnya. Total ada 12 HT. Tiga diantaranya untuk pengajar. Sisanya dibagikan ke kelompok tadi. Alat komunikasi pinjam. Jaringan yang buruk. Memang menjadi kendala baru. Di saat mereka harus menyesuaikan dengan aturan baru yang tercipta karena pandemi. Apesnya, aturan itu tak mudah diterapkan di lokasi yang minim sinyal itu. (*) samb: Gawai Gantian, Belajar Pakai HT

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: