Membangun Kesalehan Digital di Bulan Ramadan

Membangun Kesalehan Digital di Bulan Ramadan

--

Bayu Dwi Cahyono, M.Pd., Dosen Prodi Pendidikan Agama Islam Fakultas Agama Islam Universitas Muhammdiyah Purwokerto

BULAN  Ramadan adalah bulan yang penuh keberkahan, bulan yang tepat untuk kita berbenah dan bermuhasabah. Agama Islam adalah agama yang paling sempurna dalam mengatur seluruh komponen kehidupan manusia. Agama Islam bukan hanya mengatur hubungan antara manusia dan Tuhannya saja, namun juga mengatur hubungan sosial diantara mereka.

Di era modern dengan kecanggihan teknologi dan internet yang dahsyat seperti saat ini, manusia bukan lagi hanya berinteraksi sosial secara offline saja, namun juga secara online. Hal ini tak lepas dari wadah yang telah disiapkan dalam bentuk sosial media. Merujuk pada laporan We Are Social, pengguna aktif sosial media di Indonesia menyentuh angka 212 juta orang. Data yang rilis pada Januari 2023 ini juga menunjukan bahwa jumlah pengguna sosial media setara dengan 77% dari populasi di dalam negeri.(Rizaty et al., n.d.)

Jika sebelumnya kita mengenal kesalehan personal berupa ibadah mahdhah dan kesalehan sosial berupa muamallah, maka di tengah perkembangan jaman yang justru interaksi sosial lebih ramai di dunia maya, muncul apa yang disebut dengan kesalehan digital. Kesalehan digital dapat diartikan sebuah sikap dalam berinteraksi sosial khususnya menggunakan media digital dengan berlandaskan dan mencerminkan nilai-nilai agama Islam. (Nurhayati et al., 2022)

Dengan semangat berpuasa di bulan Ramadan, memahami bahwa esensi daripada berpuasa itu adalah menahan diri dan berlatih sabar, maka mari kita gunakan momentum Ramadan ini untuk bermuhasabah diri. Apakah kita sudah menahan diri dari menuliskan komentar-komentar negatif di sosial media? Apakah kita sudah menahan diri dari godaan riya’ dalam membuat status untuk kita publish di khalayak umum? Apakah kita sudah menahan diri untuk tidak terburu-buru dalam mempercayai suatu berita kemudian melakukan tabayun keabsahannya? Apakah kita sudah menahan diri dalam membagikan berita ke grup-grup whatapp sebelum kita baca lengkap dan mempertimbangkan manfaat dan mudharat-nya? Dan masih banyak lagi pertanyaan yang dapat kita ajukan pada diri kita sendiri untuk bermuhasabah. Sejauh mana esensi puasa kita amalkan dalam kehidupan nyata maupun maya. Belum lagi tentang bersabar, sudahkan kita bersabar dalam memfilter berbagai informasi? Dan lain sebagainya.

Di era yang serba cepat dan mudah dalam mengakses internet seperti saat ini, pada dasarnya kita bukan kekurangan informasi yang mengharuskan kita untuk mencari-cari informasi, sebalikanya kita hidup di era “kebanjiran informasi” maka yang harusnya kita lakukan adalah pandai dalam memfilter informasi. Memilah dan memilih informasi mana yang perlu kita terima atau cukup tau saja. Sudah cukup bagi kita belajar dari kejadian yang lalu. Berapa banyak kasus terjadi, sosial media digunakan untuk menjatuhkan penggunanya sendiri ke jurang kehinaan. Sosial media menjadi ajang dalam mengumbar dan membanggakan aib sendiri. Sosial media menjadi ajang riya’ dan provokatif. Naudzubillahi min dzalik.

Sebagai seorang mukmin, hendaknya kita mampu menjadi pribadi yang saleh. Bukan hanya dalam berinteraksi sosial secara offline namun dalam dunia maya, kita mampu menampilkan nilai-nilai Islam dalam berinteraksi di sosial media. Dengan semangat puasa di bulan Ramadan ini, mari kita bersama melatih diri untuk lebih mampu menahan diri dan bersabar dalam berinteraksi di dunia maya. Menjadikan akun sosial media kita sebagai ladang dakwah penebar kesejukan, kedamaian dan mengembalikan hakikat sosial media itu sendiri yakni untuk menyambung tali silaturrahmi dengan sahabat, kerabat dan teman-teman lain yang jauh lebih banyak kita kenal di dunia maya. Akhirnya, jika dahulu kita mengenal istilah “ajining diri ono ing lathi” maka bahasa saya sekarang di era digital ini dapat kita sesuaikan menjadi “ajining diri ana ing driji”. Sebagaimana lathi, hendaknya kita jaga “driji” kita untuk tidak menyakiti orang lain, pun sebaliknya tidak mengumbar aib sendiri. Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallamjuga bersabda:

“Setiap Muslim terhadap Muslim yang lainnya haram harta, kehormatan dan darahnya. Cukuplah seseorang dianggap melakukan keburukan jika dia meremehkan saudaranya Muslim. HR. Abu Dawud no. 4884 dan Ibnu Majah no. 4213. (*)

 

 

 

 

 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: