Gus Sholah-Aksa Mahmud Sambangi Dahlan
Ajak Masyarakat Awasi Kejaksaan SURABAYA – Simpati terhadap Dahlan Iskan terus mengalir dari tokoh-tokoh nasional. Mereka yang tak bisa menyempatkan datang ke pengadilan berupaya menyambangi Dahlan di rumahnya. Kemarin (21/12) KH Salahuddin Wahid dan Aksa Mahmud datang dalam waktu yang berbeda untuk memberikan dukungan moril. Salahuddin Wahid atau yang akrab disapa Gus Sholah datang menjelang tengah hari di rumah Dahlan di kawasan Ketintang. Adik kandung Presiden Ketiga RI KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) itu banyak berbincang dengan Dahlan mengenai kondisi penegakan hukum di Indonesia. Dia menilai hukum di Indonesia belum jejeg (belum tegak). ”Masalah hukum Pak Dahlan ini kan jelas. Sesuatu yang dicari-cari,” kata Gus Sholah kepada Dahlan. ”Ada yang ceto welo-welo (masalah hukum yang terang benderang, Red) dibiarkan. Ini yang tidak berdasar dan belasan tahun malah disidangkan,” tandasnya. Gus Sholah melihat saat ini penegakan hukum di Indonesia sering mencari-cari kesalahan seseorang. ”Bukan hanya Pak Dahlan, saya juga mendapati hal yang sama pada dua temannya di daerah lain. Kalau orang Jawa istilahnya golek-golek (cari-cari),” ujarnya. Pria yang pernah menjadi wakil ketua Komnas HAM itu mengajak masyarakat bersama-sama memberikan perhatian terhadap kinerja kejaksaan. Sebab, kinerja kejaksaan belakangan dipenuhi masalah. Salah satu parameternya adalah penanganan perkara yang terkesan cari-cari. Juga integritas para jaksa yang belakangan banyak terjerat praktik korupsi. Gus Sholah juga sempat menyinggung tertangkapnya Ahmad Fauzi, jaksa penerima suap dari Kejati Jatim yang sempat menangani kasus Dahlan. ”Selama ini yang kita soroti Mahkamah Agung dan polisi. Mungkin rasanya saatnya kita soroti juga kinerja kejaksaan,” tutur tokoh Nahdlatul Ulama (NU) yang dikenal idealistis itu. Komisi Kejaksaan (Komjak) yang menjadi pengawas eksternal dinilainya kurang diberi wewenang lebih. Akibatnya, pengawasan mereka tidak bisa maksimal, tak seperti yang dilakukan Komisi Yudisial (KY). Dia setuju dengan Indonesia Corruption Watch (ICW) yang memberikan rapor merah atas dua tahun kinerja jaksa agung. ”Menurut saya, tahun ini paling parah. Kasus Pak Dahlan ini mencolok sekali,” tegasnya. Menurut Gus Sholah, presiden harus menuntut kinerja jaksa agung lebih baik. ”Kalau tidak bisa memperbaiki kinerja ya ganti saja,” cetusnya. Gus Sholah menyatakan pernah membahas persoalan hukum itu dengan Joko Widodo (Jokowi) ketika mantan gubernur DKI tersebut berkampanye di Ponpes Tebuireng Jombang. Dia titip, kalau Jokowi berhasil menjadi presiden, penegakan hukum harus menjadi perhatian utama. ”Waktu itu saya titip ke Pak Jokowi soal penegakan hukum, reformasi birokrasi, pemerataan pembangunan, dan pendidikan,” ungkapnya. ”Kalau hal itu setengahnya saja beres, kita bisa berlari mengejar negara-negara lain,” imbuhnya. Mantan calon wakil presiden tersebut mengaku sebenarnya sudah lama ingin bertemu dan memberikan dukungan kepada Dahlan, tapi sering terkendala waktu. ”Sebenarnya sejak dua minggu lalu saya ingin ketemu. Tapi, kesibukan di Jakarta membuat saya tidak bisa. Ini dari Jakarta, saya mampir dulu sebelum ke Tebuireng,” jelasnya. Gus Sholah berharap kasus Dahlan tidak berlanjut. Selain itu, pria yang dikenal sebagai tokoh HAM tersebut mengimbau pengadilan memberikan izin kepada Dahlan untuk berobat ke Tianjin, Tiongkok. ”Harusnya diizinkan karena alasannya jelas. Apalagi, ini pengobatan Pak Dahlan sudah terlambat dua bulan,” tuturnya. Dahlan harus berobat ke Tianjin karena di sanalah mantan menteri BUMN itu melakukan transplantasi hati. Dahlan harus memeriksakan kesehatan setiap enam bulan di sana dan itu mestinya dilakukan Oktober lalu. ”Jika izin berobat tidak diberikan, malah terjadi pelanggaran pasal 28 Undang-Undang Dasar (1945),” tegasnya. Setelah tengah hari Gus Sholah yang datang, petangnya mantan Wakil Ketua MPR Aksa Mahmud berkunjung ke rumah Dahlan. Pendiri Bosowa Group itu sangat menyayangkan penanganan kasus Dahlan. Senada dengan Gus Sholah, dia pun melihat ada kesan kejaksaan memilih seseorang untuk ditersangkakan. Penegakan hukum seperti itu, menurut Aksa, sangat tidak baik untuk negara. Cara seperti itu membawa ketakutan bagi pengusaha maupun pengelola negara. ”Saya sangat mendukung penegakan hukum. Tapi, jangan ada kesan memilih seseorang. Tangani masalah hukum yang memang sangat merugikan negara,” ucapnya. Aksa melihat Dahlan sebenarnya tak layak dijerat sebagai tersangka dugaan kasus penjualan aset PT Panca Wira Usaha (PWU) Jatim. Dia menyayangkan kenapa penegak hukum tidak melihat pengabdian Dahlan selama ini. ”Ini kasus sangat kecil dan lokal. Tidak seimbang dengan pengabdian Pak Dahlan selama ini,” kecamnya. Sebagai sahabat lama, Aksa ingin memberikan dukungan kepada Dahlan. Dia ingin sahabatnya itu punya jiwa besar untuk menghadapi persoalan hukum tersebut. ”Saya sangat prihatin dengan masalah yang dihadapi Pak Dahlan. Kita seolah sedang ditunjukkan sebuah masalah kecil untuk melupakan pengabdian beliau yang tak ternilai,” ujarnya. Dahlan sendiri terharu atas dukungan para tokoh yang terus mengalir. Dia sangat berterima kasih. Sebab, hal itu membuatnya merasa tidak sendirian menghadapi dakwaan kasus korupsi. ”Belakangan memang banyak yang datang. Mulai rombongan ibu-ibu dari Kediri. Termasuk juga Pak Hamdan Zoelva (mantan ketua Mahkamah Konstitusi/MK) dan beberapa menteri,” ungkapnya. Kerugian BUMN-BUMD Jangan Dilihat Sepotong Sementara itu, tanggapan jaksa penuntut umum (JPU) terkait kerugian negara pada BUMN dan BUMD mendapat respons mantan Sekretaris Menteri BUMN Said Didu. Dia mengatakan, kerugian negara dan kekayaan negara memang kerap multitafsir. Apalagi jika menyangkut bisnis yang dilakukan BUMN dan BUMD. Penegak hukum disebutnya kerap tidak memahami masing-masing undang-undang (UU) yang menaungi. ’’UU BUMN, UU BUMD, dan UU Perseroan Terbatas (PT) itu ibarat sopir yang mau ke Bandung dan lewat tol Cipularang, tetapi lantas disalahkan dan diperiksa pakai UU Keuangan Negara yang diibaratkan kenapa ke Bandung tidak lewat Puncak,” terangnya. Memang sama-sama sampai ke Bandung, tetapi tidak tepat. Kata Said, sudah pada tempatnya kalau BUMN, BUMD, maupun PT memakai UU yang memang diperuntukkan. Bahwa pemisahan aset negara dimaksudkan agar pengelolaan tidak mengikuti mekanisme APBN. ”Tapi tidak pernah dipakai. Padahal sudah ada dan jelas,” imbuhnya. Terkait putusan MK, Said juga membenarkan bahwa aset milik BUMN masih terikat dengan negara. Tetapi tidak menegaskan harus tunduk pada UU Keuangan Negara. Menurut dia, bahaya kalau kerugian negara dilihat hanya sepotong-sepotong. Yang harus dilihat, apakah secara akumulatif terjadi kerugian negara karena kelalaian. ”Harus pakai business judgment rule. Kalau sudah diputuskan lewat RUPS dan telah dilakukan dengan hati-hati, itu masuk risiko bisnis. Bukan kerugian negara,’’ jelasnya. Said lantas mencontohkan kinerja PT Pertamina yang selalu terdapat kerugian di salah satu lini bisnisnya. Tetapi, secara akumulasi, kinerja Pertamina itu menguntungkan. Kalau setiap kerugian lantas dipolisikan, bisa-bisa Pertamina tidak akan pernah berkembang. ”Bahaya juga kalau dilihat per parsial waktu. Saat awal saya membangun pabrik, pasti rugi karena ada pengeluaran. Tetapi, secara akumulasi, nantinya bisa saja tidak rugi, ’kan?” katanya. Berbeda halnya jika kerugian itu muncul karena kelalaian direksi. Tetapi, penegak hukum harus mengedepankan konsep business judgment rule dulu. Apakah kerugian muncul karena strategi bisnis atau bukan. (atm/c9/ang/acd)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: