9 Jam Diperiksa, Ahok Berubah

9 Jam Diperiksa, Ahok Berubah

Lebih Banyak Diam, Dicecar 22 Pertanyaan JAKARTA- Pemeriksaan Gubernur DKI Jakarta non aktif Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok berjalan sembilan jam. Sayangnya, pasca pemeriksaan Ahok berprilaku tidak seperti biasanya. Dia hanya mengucapkan empat kalimat yang sama sekali tidak menyentuh esensi pemeriksaan kasus dugaan penistaan agama. Sedangkan, Bareskrim Polri mendalami kemungkinan perubahan makna ketika video Ahok dipangkas. Ahok yang mengenakan batik warna coklat tiba di Gedung Utama Mabes Polri pukul 08.15. Dia hanya melempar senyum pada semua awak media yang menunggunya. Lantas, dia masuk ke Gedung Utama. Berulang kali, saat tengah hari sejumlah ajudan Ahok menunjukkan gerak-gerik seakan-akan mantan Bupati Belitung itu akan keluar. Namun, ternyata pemeriksaan berlanjut hingga sore hari. Sekitar pukul 16.30, barulah dipastikan Ahok selesai diperiksa sebagai terlapor. Dia didampingi sejumlah orang, diantaranya Juru Bicara Ahok Ruhut Sitompul dan Kuasa Hukumnya Sirra Prayuna. Sirra menuturkan, kali ini merupakan pemeriksaan kedua. Untuk pemeriksaan kedua ini ada 22 pertanyaan yang diajukan. Ditambah dengan 18 pertanyaan pada pemeriksaan pertama, maka total pertanyaan yang diajukan ke Ahok menjadi 40. "Semua berjalan lancar, Ahok menjawab semua pertanyaan dengan baik," ujarnya singkat. Sementara, Ahok yang kemudian mengambil arah pembicaraan justru sikapnya berubah, tidak seperti biasanya yang terbuka dalam berkomentar. "Saya kira semua sudah jelas, kalau mau tanya yang lain ke penyidik. Saya mau pulang, lapar," ujarnya. Tidak ada satu pun pertanyaan awal media yang dijawab. Sementara Juru Bicara Divhumas Mabes Polri Kombespol Rikwanto mengatakan, awalnya penyidik memeriksa soal tujuan dan maksud kedatangan Ahok ke Kepulauan Seribu. "Ternyata, maksudnya ke Kepulauan Seribu itu menyampaikan perkembangan program perikanan," jelasnya. Namun, dalam penyampaian di pulau tersebut, ternyata dalam prosesnya Ahok mengucapkan beberapa hal. Ucapan itu kemudian disunting dan ternyata menjadi viral. "Jadi, ada kesan seolah-olah penistaan agama," ungkapnya. Bukankah hanya pemotongan durasi video, bukan editing yang dilakukan Buni Yani? Rikwanto menjawab bahwa editing video berupa pemotongan durasi dari yang satu jam menjadi beberapa menit. "Diambil penggalan saja," ujarnya. Namun, kalau ditanya, apakah pemotongan durasi itu kemudian mengubah makna atau tidak, Dia mengaku tidak bisa menjawabnya. "Yang jelas berbeda, kalau di video itu ada kata pakai. Tapi, dalam transkip tidak ada kata pakai. Nanti yang akan mengulas adalah saksi ahli,” terangnya. Rencananya, gelar perkara ini akan dijadwalkan pekan depan. Soal mekanismenya, saat ini semua sedang digodok. "Inikan baru pertama kali, maka perlu diatur dulu. Lalu, soal landasan hukumnya sudah ada. Tidak ada larangan gelar perkara terbuka," ujarnya. Gelar perkara kasus penistaan baru kali ini dilakukan, apakah tidak terkesan mengistimewakan Ahok? Mengingat kasus penistaan agama lain, tidak dilakukan gelar perkara terbuka. Rikwanto menjawab, kasus yang lalu tentunya sudah selesai. Kalau yang kasus kali ini dibuka agar masyarakat merasa lebih terang. "Tidak ada yang curiga akan rekayasa, termasuk ke penyidik," paparnya. Selain itu, pekan ini Bareskrim Polri masih akan fokus terhadap pemeriksaan saksi. Sudah ada 25 saksi yang diperiksa selama ini, baik dari saksi ahli, saksi terlapor dan pelapor. "Masih ada delapan orang saksi pelapor lagi yang akan diperiksa," terangnya. Sementara itu, Direktur Eksekutif Emrus Corner Emrus Sihombing menyambut positif niat Kapolri Jenderal Pol Tito Karnavian untuk mempertimbangkan pelaksanaan gelar perkara terhadap Ahok secara terbuka di hadapan publik dan media. Menurutnya, hal tersebut sesuai dengan komitmen Tito yaitu akan menangani kasus dugaan penistaan agama yang dilakukan Ahok secara tegas, cepat, dan transparan. "Gelar perkara sangat terbuka tersebut, bahkan di hadapan media masa, menunjukkan agar tidak ada dusta di antara kita, dan sekaligus sebagai wujud revolusi metal bagi kita semua, sebagai sama-sama anak bangsa," kata Emrus. Oleh karena itu, Emrus mengatakan bahwa apapun keputusan yang dibuat oleh penyidik sesuai setelah dilakukan gelar perkara yang sudah terbuka tersebut harus diterima oleh semua pihak. "Sebab, bisa saja keputusan bahwa proses hukum dilanjutkan atau dihentikan terhadap Ahok," ujar pakar komunikasi publik tersebut. Namun, lanjutnya, dari aspek politik, hasil dari gelar perkara tersebut dapat menguntungkan atau merugikan pihak yang memiliki kepentingan politik tertentu. Oleh karena itu, dia berharap kepentingan politik siapapun yang diuntungkan atau dirugikan, harus diterima dengan legowo. Selain itu, Polri juga diharap tidak coba-coba bermain api dari gelar perkara tersebut. Polri diharapkan netral dan lepas dari kepentingan politik manapun dalam memutuskan hasil gelar perkara orang nomor 1 di ibu kota tersebut. "Menurut hemat saya, mudah-mudahan secara sosiologis tidak menimbulkan persoalan baru, gelar perkara yang dilakukan secara terbuka tersebut sebagai pilihan terakhir dan terbaik untuk mengakhiri polemik yang terjadi belakangan ini," imbuhnya. (idr/dod/byu)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: