Keberadaan Heritage Terus Tergerus di Kota Tegal, Disebut Renovasi Tidak Sesuai Aslinya

Keberadaan Heritage Terus Tergerus di Kota Tegal, Disebut Renovasi Tidak Sesuai Aslinya

REVITALISASI – Pekerja sedang mengerjakan proyek revitalisasi Taman Pancasila yang terletak di Jalan Pancasila, Jumat (2/10). K. ANAM SYAHMADANI/RATEG KOTA Tegal merupakan kota tua yang telah berusia lebih dari empat abad. Jejak sejarah dapat terbaca melalui bangunan peninggalan masa lalu, yang sekarang menjadi heritage dan layak menjadi cagar budaya. Namun seiring berjalannya waktu, keberadaan heritage di daerah yang oleh Ki Gede Sebayu dinamai Teteugal tersebut terus tergerus. “Pemerintah Daerah sering tidak konsisten dengan mengubah benda cagar budaya, direnovasi tidak sesuai aslinya,” kata Sekretaris Komisi III DPRD Kota Tegal Sisdiono Ahmad saat berbincang di Komplek Gedung Parlemen, Jalan Pemuda, Jumat (2/10). https://radarbanyumas.co.id/diduga-cagar-budaya-batu-yoni-terancam-diterjang-jalan-tol-solo-jogja/ Sisdiono mencontohkan, di zaman Adi Winarso, bangunan SMP Negeri 1 yang mengalami kerusakaan di bagian atas, direnovasi termasuk dengan mengubah jendela-jendelanya. Sekolah tersebut dulunya merupakan Sekolah Dasar Belanda yang menjadi MULO atau Sekolah Menengah Pertama Belanda sebelum menjadi SMP Negeri 1. Pringgitan Rumah Dinas Wali Kota diubah desain pintu dan tata ruangnya di periode Siti Masitha. Memasuki era sekarang, Jalan Pancasila yang merupakan daerah kawasan cagar budaya sedang direvitalisasi. Komisi III DPRD sempat menyoroti desain renovasi Taman Pancasila, yang dinilai tidak memperhatikan estetika lingkungan. Selain itu, Tugu Pancasila yang diubah dengan menambahkan Tugu Garuda sebagai pengganti tugu yang dirobohkan di Alun-Alun Tegal, membuat Tugu Pancasila yang diresmikan Bung Karno itu nilai heritagenya hilang. “Nilai heritagenya menjadi hilang. Kami sudah mengingatkan agar tidak diubah,” ungkap Sisdiono. Kota Tegal sendiri sudah mempunyai Peraturan Daerah (Perda) Nomor 11 Tahun 2016 tentang Pelestarian Cagar Budaya. Menurut Sisdiono, Perda Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kota Tegal 2011-2031 yang tengah direvisi DPRD juga sangat menjunjung cagar budaya. Terdapat Pasal yang mengamanatkan untuk mempertahankan estetika lingkungan. “Ke depan, kami berharap Kepala Daerah agar menghargai heritage yang sudah diatur Perda,” ungkap Sisdiono. Sementara itu, budayawan Yono Daryono menyayangkan jika heritage terus tergerus. Yono berpendapat, heritage perlu dipertahankan karena memiliki nilai penting bagi sejarah, ilmu pengetahuan, pendidikan, dan agama. Pakar Urban Design Abdullah Sungkar menguraikan, ada beberapa hal yang menyebabkan fenomena ruang yang hilang, antara lain, meningkatnya ketergantungan masyarakat kota pada kendaraan bermotor, sikap para arsitek beraliran modern terhadap ruang terbuka, kebijakan ruang kota dan peremajaan, lemahnya tanggungjawab lingkungan pemerintah dan swasta. Ruang yang hilang, lanjut Sungkar, seringkali hanya korban dari persepsi masyarakat dan pengambil kebijakan yang keliru dalam memandang dan memanfaatkan ruang. Sebuah ruang kota menjadi hilang makna sosial, historis, dan ekonominya hanya karena secara fisik nampak kumuh dan kurang terawat, dan karenanya dipandang perlu untuk diremajakan atau dialihfungsikan. Sungkar mengemukakan, keprihatinan terhadap fenomena ruang yang hilang, bukan sekadar dorongan emosional bernostalgia tentang ruang kota tempo dulu, tetapi sebuah dorongan kesadaran sosial dan juga intelektual untuk membuat kehidupan kota dan warganya, yang secara spatsial dan emosional, tidak bisa dipisahkan dari lingkungan tempat tinggal mereka. “Menjadi lebih memiliki sense of place dan rasa memiliki terhadap kotanya,” jelas Sungkar. Sungkar menegaskan, sebuah kota memiliki identitas dan makna kolektif dan individu bagi warganya. Sedikit perubahan, baik pada identitas fisikal atau pemaknaan dan nilai ruang kota, akan menjadi bahan pembicaraan masyarakat kotanya. Hal ini tentu harus diterima, disadari, dan disikapi dengan arif dan legawa oleh pembuat kebijakan dan perubahan, baik sektor publik maupun swasta. “Dan bagi sang arsitek, tentu harus menyadari bahwa sekali sebuah desain terekspos ke wacana publik, maka sangat layak dan wajar jika kritik terhadap karyanya dianggap bagian yang tidak terlepaskan dari karya perancangan itu sendiri,” terang Sungkar. (nam)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: