UMK Kecil Timbulkan Kerawanan Sosial

UMK Kecil Timbulkan Kerawanan Sosial

PURWOKERTO- Di sisi lain, kondisi perekonomian masyarakat berpengaruh besar pada perubahan sosial. Keharmonisan relasi antar sesama bisa rapuh begitu saja jika pendapatan warganya sangat rendah. Sosiolog Fisip Unsoed, Hariyadi mengatakan, jika Upah Minimum Kabupaten (UMK) di Banyumas masih tetap rendah seperti saat ini, maka akan berdampak pada munculnya kerawanan sosial. Kondisi tersebut membuat konflik mudah terjadi secara umum, akibat sensitifitas tiap penduduk dengan penghasilan rendah meningkat. "Minim minimnya mendekati Rp 2 juta, Rp 1,9 juta lah batasnya. Kalau UMK rendah, dampaknya kerawanan sosial, masyarakat mudah konflik. Tidak ada masalah bisa jadi masalah, bahasa mudahnya sensitif. Karena dalam kondisi meregang bertahan untuk sekedar hidup, " kata dia. Kerawanan sosial, sebut dia, dapat berlanjut hingga peningkatan kriminalitas di suatu daerah. Pada analisanya, ia menggaris bawahi, rendahnya UMK tidak berkorelasi langsung pada peningkatan kriminaltas, namun berkorelasi kuasta terhadap kerawanan sosial, yang bisa menyebakan banyak hal buruk. "Ada sedikit sentimen saja, terpicu konflik. Sensitifitas meningkat. Artinya jika ingin kondisi Banyumas tetap baik, maka pendapatan minimum warganya jangan terlalu rendah batasnya. Tidak dipicu konfiul saja, bisa muncul apal lagi jika ada kepentingan dari pihak tertentu untuk memicu, " kata dia. Menurutnya, ketegasan pimpinan dearah sangat dibutuhkan untuk mempengaruhi pengusaha dan dewan pengupahan agar UMK di Banyumas pada tahun 2019 tidak terlalu rendah seperti tahun 2018 yang hanya Rp 1.580.000. Sebab kenaikan UKM akan berdampak pada tingkat konsumsi, roda perekonomian justru tumbuh di Banyumas karena sektor jasa dan perdagangan cukup dominan. "UMK naik, tingkat konsumi tentu naik. Pemimpin Daerah harus bisa meyakinkan pengusaha, dan tidak melihat sejedar hitung-hitungan sederhana diatas kertas. Tapi dihtung menyeluruh, berdampak positif bagi pertumbuhan nusaha mereka, " kata dia. Menurutnya, Purwokerto sebagai barometer untuk mengukur berapa biaya hidup layak lebih tepat dibandingkan mengukur biaya hidup didaerah pedesaan. Ia mengatakan, Purwokerto merupakan pusat perekonomian di Kabupaten Banyumas. Yang bekerja di Purwokerto, tidak hanya warga kota, melainkan dari berbagai penjuru wilayah, pulang pergi keluar masuk kota. "Artinya jangan mengukur biaya hidup di pedesaan, sebab centrum pertumbuhan ekonominya itu Purwokerto. Jumlah tenaga kerja, pemukiman terpadat, serta pusat dagang. Yang laju bolak balik dari luar area kota banyak. Paling tepat, mengkur UMK ya dengan berapa nominal bisa hidup layak normal di Purwokerto," kata dia. (kim/ttg)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: