Kisah Para Chef yang Buka Bisnis Kuliner Sendiri di Masa Pandemi, Selain Rasa, Visual Menu Harus Ciamik

Kisah Para Chef yang Buka Bisnis Kuliner Sendiri di Masa Pandemi, Selain Rasa, Visual Menu Harus Ciamik

ATRAKTIF: Budi memamerkan teknik flambe saat mengolah lobster. Proses itu bisa disaksikan langsung oleh konsumen di kafe. Pandemi Covid-19 membuat banyak orang kehilangan pekerjaan. Tak terkecuali para pelaku industri hospitality, termasuk chef. Banyak juru masak yang dirumahkan. Namun, ada pula yang sengaja mengambil langkah berani: resign, lalu membuka ’’dapur” sendiri. https://radarbanyumas.co.id/siasati-pandemi-pengusaha-kafe-buka-lebih-awal-karena-jam-malam/ DI tangan Christfian Nehemia, rawon dan ayam goreng menjadi hidangan mewah. Rawon dibuat dengan daging wagyu, yang umumnya diolah sebagai steak. Ayam goreng olahannya pun menggunakan ayam kampung utuh. Tak perlu bertanya rasa dan tampilan. Chef dengan pengalaman 32 tahun itu jelas punya kualitas olahan kelas bintang lima. Pengolahannya dibantu Ida Amalia, sang istri yang juga berpengalaman bekerja di bidang hospitality dan mengelola katering. Dia menceritakan, bisnis kuliner Teras Roso miliknya baru dirintis tahun ini. Namun, ide usaha itu muncul sejak 2019. Ketika memutuskan resign dari dunia perhotelan, Chris berencana membangun bisnis sendiri. ’’Setelah keluar, saya sempat pelesir. Lalu, pandemi sampai ke sini (Indonesia). Saya main-main ke teman-teman pemilik kafe di Bali sebelum pindah ke Surabaya tahun lalu,” paparnya. Chef yang juga seorang food consultant itu mendapat banyak cerita. Banyak bisnis yang ’’berdarah-darah”, bahkan terpaksa tutup karena pandemi. ’’Selain sharing, saya juga belajar. Apa sih yang dicari dan dibutuhkan orang saat pandemi?” terang Chris. Pada awal tahun ini, Chris dan Ida mulai melihat peluang. Dari obrolan dengan para pemilik kafe dan restoran, dia melihat tren saat ini lebih ke makanan rumahan. ’’Banyak orang yang takut keluar. Akhirnya, untuk makan, banyak pesan online,” paparnya. Belum lagi, masih banyak orang yang menghindari dine in (makan di tempat) walau protokol kesehatan telah diperketat. Pria yang mengantongi sertifikat lead auditor HACCP itu memilih berpartner dengan kafe milik temannya di kawasan Manyar, Surabaya. Teras Roso miliknya menyuplai menu rumahan yang dikemas vacuum. Produk tersebut kemudian dipanaskan kembali, lantas dijual daring lewat akun pesan antar kafe rekanannya. ’’Pas itu kebetulan musim hujan. Saya mikir, apa yang cocok dimakan pas dingin? Saya akhirnya buat sop buntut,” ungkapnya. Produk itu mendapat sambutan meriah. Berawal dari sop buntut, lahir menu-menu baru. Mulai olahan ayam hingga daging. ’’Saya lihat, kafenya ada di sekitar perumahan mewah. Saya bikin bahannya spesial karena konsumennya punya daya beli tinggi,” kata Chris. Khusus olahan ayam, dia menggunakan ayam utuh. Sebab, menu umumnya dipesan untuk dikonsumsi orang-orang dalam satu rumah. Atau, sekitar 3–4 orang. Chris menjelaskan, untuk menjaga kualitas, proses pengolahan dilakukan sendiri oleh dirinya dan sang istri. ’’Yang masak istri. Karena basic-nya sama-sama di dapur, dia enggak mau dibantuin. Mending ditangani satu orang daripada ada yang enggak sesuai,” kelakarnya. Di dapur Teras Roso, Chris menangani persiapan bahan serta belanja. Proses pengerjaannya pun ala manufaktur. Tidak lagi mengikuti mindset hotel yang perhitungannya serba per unit. Dia mencontohkan ketika memasak rawon. ’’Kami beli daging per batch. Satu kemasan biasanya bisa untuk 12–14 porsi. Kami buat langsung segitu,” tegas Chris. Proses produksi lebih efisien lantaran tidak perlu memasak setiap hari. Jika ada kelebihan porsi, tinggal di-vacuum dan dibekukan. ’’Kebetulan saya punya blast freezer kecil. Makanan beku cuma hitungan menit. Lebih praktis,” paparnya. Budi Susanto memiliki kisah serupa. Tahun lalu dia memutuskan resign. Tepat pada Maret ketika kasus pertama Covid-19 terkonfirmasi. ’’Saya keluar karena kayaknya sudah terjebak di zona nyaman. Saya pengin mencoba bikin dapur sendiri,” ungkapnya. Pemilik bisnis Chef Cafe Surabaya itu menyatakan, impian mendirikan bisnis kuliner dia siapkan sebelum keluar dari hotel. ’’Jadi, keluar nggak kosongan,” ungkapnya. Budi memilih lokasi di Raya Nginden, Surabaya. Mudah diakses plus dekat dengan banyak perguruan tinggi. Sejak awal, dia mencanangkan konsep bisnisnya berupa kafe. Sasaran pasar utamanya adalah anak muda. ’’Tapi, kan ada pandemi ini. Enggak mungkin kalau saya hanya bikin light meal untuk konsumsi kafe aja, kan?” imbuhnya. Dia pun menambah menu makanan berat yang bisa dipesan via daring. Perumusan menu menjadi PR baru. Pada awal pembukaan Oktober 2020, Budi mengandalkan menu bakso. Pembedanya, kuah sop buntut yang kaya rempah. ’’Responsnya masih kurang. Orang-orang kadung terbiasa kuah kaldu yang ringan,” imbuh pria yang memulai karier sebagai chef pada 1993 itu. Seiring berjalannya waktu, dia melakukan penyesuaian menu. Bakso diganti dengan menu bakaran dan penyetan yang lebih masuk di lidah wong Suroboyo. ’’Sambalnya saya buat macam-macam. Nasinya bisa ambil sendiri,” kata Budi. Sebagai chef yang punya pengalaman di hotel dan restoran, Budi paham betul bahwa makanan tak cuma tentang rasa. Visual yang ciamik pun tak kalah penting. ’ ’Apalagi di zaman medsos seperti sekarang, makanan yang tampilannya bagus punya skor lebih,” ungkapnya. Pengalaman makan dibuat sekelas hotel bintang lima. Untuk menu lobster thermidor, dia memperagakan proses flambe. Api dibuat berkobar di wok dengan bantuan minyak panas. Sebelum disajikan, topping keju dibakar dengan flame torch. Hasilnya, saus mengepul hangat dengan keju yang meleleh. Budi juga tetap mempertahankan tempaan bidang hospitality. ’’Setelah disajikan, saya tanya gimana pendapatnya. Kadang ngobrol juga tentang menunya,” imbuh Budi. Dia terbuka pada respons maupun pertanyaan konsumennya. Mirip kisah Chris dan Ida, Budi menangani sendiri proses pemasakan, mulai belanja hingga plating. ’’Biar lebih mantap,’’ katanya. Dia masih melatih stafnya untuk memahami dapur. Kelak, asistennya tidak hanya bisa menyajikan. ’’Kalau saya berhalangan hadir, dia bisa in-charge. Dia bisa menggantikan memasak, bahkan kalau bisa bikin menu sendiri juga,” lanjutnya. Chris dan Budi maklum dengan banyaknya chef yang terpaksa dirumahkan pada masa pandemi. Tidak sedikit yang dadakan membuka usaha dengan perencanaan minimal. Namun, mereka optimistis, para juru masak tak akan pernah kehilangan lapangan kerja. ’’Memang sudah mindset-nya chef, sak elek-eleke kerjo yo nyurung, dodol sego goreng. Keahlian memasak itu selalu bisa bikin kita bertahan,” ungkap Chris. Sementara itu, Budi menambahkan, kemampuan mengolah makanan selalu berkembang. ’’Misalnya, kita punya satu resep nasi goreng. Itu bisa dikembangkan dari A sampai Z, enggak akan habis,” tegasnya. (fam/c6/oni/jpc)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: