Kisah WNI ketika Pulang Saat Pandemi: Kaget di Pesawat Ada yang Pakai APD, Tak Bermasker di Malaysia Denda Rp
SETAHUN HANYA PULANG SEKALI: Ratna Lestari dan kedua anaknya yang menemaninya di Singapura. RATNA LESTARI FOR JAWAPOS Perasaan waswas tak hanya dialami warga negara Indonesia (WNI) di India. WNI di Singapura dan Malaysia juga ketir-ketir atas kasus Covid-19 yang melonjak tajam sejak Ramadan. Bahkan, sampai ada yang nekat pulang. SUDAH setahun lebih Ratna Lestari Harjana menjalani hari-hari hidup di tengah pandemi di Singapura. Dan, selama kurun waktu itu, hanya satu kali dia bisa merasakan hangatnya pulang ke tanah air. https://radarbanyumas.co.id/kisah-mahasiswa-indonesia-di-india-sebut-tidak-semua-penjuru-seram-mumbai-masih-ada-aktivitas-akhir-pekan-lockdown-total/ Sebelum pandemi melanda, ibu tiga anak tersebut terbiasa pulang kampung sekali dalam sebulan. Hingga pada Desember tahun lalu, Ratna memulai perjalanan untuk kali pertama kembali ke Jakarta. ”Kali pertama terbang di kala pandemi, rasanya seperti perang,” ujarnya. Berada di tengah ”medan perang” tentu membuatnya mempersiapkan banyak amunisi. Seluruh tetek bengek dokumen kesehatan telah dia persiapkan baik-baik. Masker, face shield, dan seluruh prokes tak pernah lalai dijalankan. ”Kaget juga di pesawat ada yang pakai APD (alat pelindung diri) meski akhirnya ada yang dilepas juga,” imbuh perempuan yang menjabat kepala fungsi penerangan, sosial, dan budaya KBRI di Singapura tersebut. Kala itu Ratna seorang diri pulang ke Jakarta. Dua putra-putrinya yang ada di Singapura tak diboyong. Praktis, setahun sudah mereka tak bertemu dengan kakak dan sang ayah di Indonesia. Sebagai seorang diplomat, Ratna benar-benar memahami kondisi negara yang ditinggalinya sejak 2019 itu. Hingga kini, jumlah total kasus di Singapura mencapai 61.860. Dari jumlah itu, tercatat ada 32 orang yang meninggal. Dua di antara korban meninggal adalah WNI. Di KBRI seluruh aktivitas berubah. Ratna menceritakan, sebelum pandemi, dalam sehari biasanya KBRI bisa melayani sekitar 600 warga yang membutuhkan layanan. Namun, sejak pandemi, arus keluar masuk dibatasi. ”Harus ada appointment terlebih dahulu dan datang harus on time. Kecuali ada keperluan yang sifatnya darurat,” tuturnya. Ratna menceritakan, pemerintah setempat tak main-main dalam menanggulangi pandemi. Kesehatan masyarakat tak pernah diabaikan. Keseriusan itulah yang ditangkap penduduk setempat. ”Seluruh instrumen masyarakat di sini tahu semua bahwa kita (Singapura) sampai berdarah-darah menanggulangi pandemi. Justru karena itu sayang kan kalau menganggap pandemi enteng. Mau stres seperti apa pun ya kita semua harus tetap patuh. Kami pun mengikuti itu semua,” tutur perempuan yang berulang tahun setiap 19 Mei tersebut. Di negara yang dinobatkan sebagai negara berdaya saing terbaik di dunia itu, pemerintah mewajibkan seluruh masyarakat menggunakan token. Token bernama TraceTogether digunakan sebagai alat pelacak. Token itu berfungsi untuk mendeteksi mobilitas tiap orang. Setiap masuk atau mendatangi sebuah tempat, baik turis maupun warga lokal, mereka tetap harus memindai barcode di pintu masuk sebagai syarat kunjungan agar mudah dilacak. Pemerintah Singapura juga terus berbenah. Seluruh kebijakan terus dievaluasi secara dinamis. Itu semua dilakukan demi menyelamatkan masyarakat. Kekhawatiran atas kenaikan kasus Covid-19 itu juga dirasakan Sunandar (37), yang saat ini berada di Kuala Lumpur (KL), Malaysia. Bekerja di bidang konstruksi membuatnya harus sering berinteraksi dengan banyak orang. Bukan hanya rekan sesama pekerja, melainkan juga pihak-pihak lain yang berada di proyek. Sebab, dia tak pernah tahu apa kegiatan mereka di luar proyek. Apalagi, kata dia, sudah sekitar dua minggu kasus Covid-19 di sana tak kunjung turun. ”Semalam, kalau tidak salah, sudah 7.500 kasus. Lagi tinggi-tingginya memang,” ungkapnya saat dihubungi kemarin. Tapi, dia mengaku cukup beruntung. Pemerintah setempat cukup ketat soal aturan penanganan Covid-19. Di jasa konstruksi, misalnya. Setiap ada proyek baru, para pekerja wajib menjalani tes Covid-19 terlebih dahulu. Bukan hanya itu, ketentuan di area proyek pun ketat. Protokol kesehatan wajib dijalankan sepenuhnya. Bagi yang melanggar akan dikenakan sanksi tegas. Biasanya berupa denda. ”Gak pakai masker kena denda RM 1.000 (sekitar Rp 3,5 juta). Saya pernah juga waktu itu,” kenang pria asal Lamongan, Jawa Timur, tersebut. Kemudian, bila ada satu kasus yang ditemukan di masyarakat, biasanya rumahnya akan langsung diisolasi. Lalu, langsung dilakukan tes Covid-19 massal di area tersebut. Dengan begitu, penularan tak meluas. Selain itu, otoritas Malaysia sudah menerapkan pengetatan kegiatan dan pergerakan (MOC). Kegiatan masyarakat hanya diperbolehkan hingga pukul 20.00 waktu setempat. Setelahnya, polisi akan patroli dan merazia siapa saja yang masih berkeliaran tanpa alasan yang jelas. Meski situasi tengah mengkhawatirkan, Sunandar memilih bertahan. Masalah ekonomi menjadi salah satu alasan untuk bersabar menahan rasa rindu kepada keluarga. Walaupun rasanya sudah sampai ubun-ubun, Sunandar terpaksa kembali menyimpan rasa itu di dalam hatinya. Dia mencoba menyalurkannya lewat layar handphone saja tiap hari. ”Selain tiket yang mahal, biaya tes Covid-19, saya khawatir susah kembalinya (ke Malaysia, Red),” ungkap pria yang sudah 16 tahun merantau di Malaysia itu. (*)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: