TNI-AD, Kemenkes, dan BPOM Sepakat Terkait Kelanjutan Vaksin Nusantara, Riset Sel Dendritik Didanai Sponsor
JAKARTA - Penandatanganan kesepakatan antara TNI-AD, Kemenkes, dan BPOM terkait kelanjutan Vaksin Nusantara mengubah banyak hal. Termasuk soal pembiayaan. Sebab, salah satu isi kesepakatan menyatakan bahwa penelitian berbasis sel dendritik itu tidak boleh dikomersialkan. Hingga kemarin (21/4), tim yang ikut penelitian di Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat (RSPAD) Gatot Soebroto masih menyusun rumusan terkait perubahan penelitian. https://radarbanyumas.co.id/respons-antibodi-vaksin-nusantara-disorot-dinilai-tak-konsisten-dengan-dosis-yang-diberikan/ Kepala RSPAD Gatot Soebroto Letjen TNI Albertus Budi Sulistya mengatakan bahwa selama ini penelitian tersebut dibiayai sponsor. Sama sekali tidak ada uang pemerintah maupun TNI-AD dalam penelitian yang dilaksanakan di Cell Cure Center RSPAD Gatot Soebroto itu. Sesuai penjelasan yang pernah disampaikan eks Menteri Kesehatan (Menkes) Terawan Agus Putranto, sponsor yang mendanai penelitian tersebut adalah PT Rama Emerald dan PT AIVITA Indonesia. Dalam data yang disampaikan BPOM, perusahaan itu juga bekerja sama dengan Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan (Balitbangkes) Kemenkes. Keterlibatan TNI-AD dan RSPAD Gatot Soebroto tidak lebih dari pengerahan personel atau dokter dan fasilitas Cell Cure Center. Sebelum kesepakatan diteken, relawan yang terlibat dalam penelitian sel dendritik tidak dipungut biaya sama sekali. Termasuk para anggota DPR. "Oh iya gratis, namanya penelitian kan," imbuh Budi. Kedepan, tim peneliti belum menentukan apakah relawan tetap digratiskan atau harus membayar. Sebab, mereka juga perlu berbicara terlebih dahulu dengan pihak sponsor yang selama ini mendanai penelitian. "Nanti tentu kami tanyakan kembali, dengan perubahan format (penelitian), apakah mau tetap bekerja sama untuk melanjutkan penelitian," tuturnya. Mereka berharap kerja sama tetap berlanjut karena pemerintah juga sudah memberikan dukungan. Meski demikian, pihaknya tidak bisa memaksa. Perubahan format penelitian sebagaimana kesepakatan yang sudah ditandatangani menyatakan bahwa penelitian itu tidak untuk dikomersilkan. Karena itu, Budi belum bisa menyampaikan banyak hal terkait pembiayaan penelitian tersebut. Perubahan format penelitian, kata dia, mengubah beberapa hal. Terutama yang berhubungan dengan kerja sama. Meski treatment yang dilakukan kepada para relawan serupa, perubahan format penelitian tetap harus dibicarakan. "Ini kami sedang bicara format, kami sedang bicara tentang desain penelitian, ini kan berarti mengubah, ada perubahan," ungkap jenderal bintang tiga TNI AD itu. Yang pasti di luar biaya, ada kriteria inklusi dan eksklusi yang sudah jadi patokan. "Kriteria yang harus dipenuhi para relawan. Jadi, tidak semua bisa diambil (sampel darahnya). Yang memenuhi syarat saja yang bisa diambil," terang dia. Budi juga memastikan, penelitian diawasi secara ketat oleh pihak independen. Selain Kemenkes, ada Komite Etik Penelitian Kesehatan (KEPK) yang mengawasi. Dia menyebut RSPAD Gatot Soebroto sudah memiliki KEPK. Mereka yang mengawasi penelitian tersebut. Dia memang tidak menyebut siapa saja yang ada di balik KEPK RSPAD Gatot Soebroto. Namun, dia memastikan, mereka independen dan memiliki kapasitas sebagai KEPK. "Bagaimanapun, komisi etik itu independen, ia betul-betul mandiri, tidak ada intervensi," tegasnya. Di lain pihak, relawan dari DPR yang dijadwalkan menerima penyuntikan sel dendritik hari ini (22/4) tetap berangkat ke RSPAD Gatot Soebroto. Hingga kemarin terkonfirmasi bahwa penyuntikan bakal berlanjut meski sempat muncul pro dan kontra serta kontroversi akibat penghentian uji klinis terhadap Vaksin Nusantara oleh BPOM. Anggota Komisi IX DPR Saleh Partaonan Daulay menyatakan, tidak ada pungutan apa pun untuk pemberian vaksin itu. Kendati demikian, dia yakin anggota DPR yang menjadi relawan tidak berkeberatan jika kemudian ada biaya yang diperlukan untuk menerima vaksin tersebut. "Kita kebetulan nggak keberatan kalaupun bayar. Gak ada masalah," ungkap Saleh kepada Jawa Pos kemarin. Dia menyatakan, belum ada informasi soal adanya biaya yang dikenakan terkait penyuntikan vaksin tersebut. Lagi pula, lanjut Saleh, jika memang ada biaya yang ditarik, Vaksin Nusantara sudah termasuk dikomersialkan. Padahal, sejauh ini belum ada wacana untuk mengomersialkan vaksin tersebut. Pun tidak ada keterangan soal kompensasi yang diberikan jika nanti muncul efek samping setelah penyuntikan vaksin itu. "Ini kan juga belum komersial, (kalau ada kompensasi) berarti itu sudah komersialisasi. Kuncinya di situ," lanjut Saleh. Menurut dia, sejauh ini Vaksin Nusantara seharusnya diperlakukan sama seperti Sinovac yang juga dibagikan secara gratis kepada masyarakat. Publik pun belum mendapat informasi berapa biaya yang dibutuhkan untuk mendapatkan vaksin impor itu karena memang masih gratis. Hal senada disampaikan Wakil Ketua Komisi IX Emanuel Melkiades Laka Lena. Dia menyatakan tidak ada pembayaran yang diminta, semua masih gratis karena status mereka relawan. Terkait jaminan kesehatan terhadap kemungkinan efek samping, Melki yakin tim sudah menyiapkan prosedur pemeriksaan rutin untuk para relawan nanti. "Semua diperiksa sebelum dan sesudah pengambilan darah. Besok juga sama, terus dikontrol mingguan sesuai penelitian yang dilakukan. Ada aspek keamanan dan efikasinya," jelas Melki. (deb/syn/c7/oni/ilh/JP)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: